Ilustrasi : Edi Wahyono
Dinda—bukan nama sebenarnya—perempuan berusia 22 tahun, adalah mahasiswi tingkat akhir di salah satu perguruan tinggi di Jabodetabek. Ia pekerja seks yang memasarkan jasanya melalui aplikasi kencan OkCupid. Melalui platform itu, ia mencantumkan sejumlah foto dan mengaku terbuku untuk melakukan hubungan seksual secara berbayar.
Kepada reporter detikX, Dinda mengaku berasal dari keluarga yang religius, terutama sang ayah. Namun ayahnya justru memilih menikah lagi dan meninggalkan rumah.
Saat menginjak SMA, Dinda juga mengikuti ekstrakurikuler Rohani Islam (Rohis). Melalui berbagai kegiatan, ia berkenalan dan dekat dengan seorang pria yang saat itu berusia 26 tahun. Umur pria itu terpaut 10 tahun lebih tua dari Dinda.
Pria tersebut mengenalkan Dinda pada buku-buku karya para pendakwah terkemuka. Namun pria itu justru mengajak Dinda terus berhubungan seksual. Di sisi lain, Dinda mengaku dikekang, tidak boleh dekat dengan laki-laki, dan diperintah untuk menjalankan salat lima waktu.
"Aku banyak ikuti akun-akun media sosial ustaz waktu itu," ucapnya kepada reporter detikX.
Ilustrasi pekerja seks online.
Foto : Edi Wahyono
Aku nggak tahu dia naruh apa dalam minuman itu. Aku harus selalu waspada karena semua hal bisa terjadi di dalam kamar. Aku pilih-pilih klien juga, nggak semua asal bayar, karena ya itu tadi, waspada."
Menjelang kelulusannya, Dinda ditinggalkan pria tersebut. Sejak itu Dinda mulai aktif menggunakan aplikasi kencan. Mulanya ia menggunakan aplikasi Bee Talk.
Sekitar Juni 2018, ia berkenalan dengan seorang pria di aplikasi kencan. Pria tersebut menawarinya berhubungan seksual dan membayarnya. Sejak itu, Dinda mulai mencoba memasang tarif untuk jasa berhubungan seksual. Ada dua tarif, yaitu Rp 500 ribu untuk tiga jam dan Rp 1 juta untuk waktu satu malam penuh.
Dinda mengaku melakukan pekerjaan tersebut tidak secara rutin. Ia hanya menganggapnya sebagai pekerjaan sambilan pada waktu senggang.
"Kalau match dan ada yang nawarin, ya ayo, gitu. Aku nggak pernah chat duluan. Cuma aku kasih tanda di profil, kalau mau berhubungan seksual, harus bayar," ujarnya.
Dinda memang bekerja secara mandiri. Ia tidak terikat oleh komunitas maupun muncikari atau germo. Dengan itu, ia merasa bebas menentukan sendiri jadwal kerjanya. Sejak 2018 hingga saat ini, ia mengaku telah berhubungan seksual dengan 97 orang. Di sisi lain, berapa orang yang membayarnya justru tidak mau melakukan hubungan seksual. Mereka hanya meminta ditemani ngobrol atau aktivitas lainnya.
"Ada yang langganan tiap minggu juga, cuma kemarin dia libur karena tahun baruan sama keluarganya," ucapnya.
Klien, begitu Dinda menyebut pelanggannya, bukan hanya warga negara Indonesia. Beberapa kliennya merupakan warga negara asing, terutama mereka yang berasal dari Benua Afrika, seperti Mesir.
Dinda mengalami banyak kejadian buruk selama menjadi pekerja seks. Salah satunya saat kliennya merekam secara diam-diam hubungan seksual mereka. Padahal Dinda tidak pernah mengizinkan aktivitas tersebut didokumentasikan.
Kemudian hari, pria tersebut menghubunginya melalui akun Instagram palsu. Pria itu tiba-tiba juga mengikuti banyak akun media sosial teman kuliah Dinda. Ia mengancam akan menyebarkan video tersebut jika Dinda tidak mau berhubungan seksual secara gratis.
"Aku takut dia nyebarin soal profesiku dan video itu ke teman-temanku," ujarnya.
Setelah itu, Dinda memutuskan melapor ke Komnas Perempuan dan LBH Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK). Di sana ia memperoleh dukungan dan pendampingan. Ditemani pendamping, ia diminta membuat surat peringatan dan memblokir akun media sosial pelaku.
"Di Komnas dan LBH, laporanku diterima dengan baik, nggak di-judge sama sekali. Mereka fokus untuk memastikan keadaan dan kondisiku," ucapnya.
Ilustrasi pekerja seks online.
Foto : Edi Wahyono
Menurut Dinda, belum lama ini pelaku kembali melakukan teror dan ancaman. Pria tersebut melakukan panggilan berulang dan mengirim pesan melalui aplikasi Telegram. Dinda memilih mengabaikan teror tersebut.
Sejak saat itu, Dinda mulai mencatat semua nama kliennya. "Aku catat nama aslinya. Kalau ada apa-apa, setidaknya aku tahu identitas aslinya," ucapnya.
Selain diancam, Dinda pernah ditipu oleh salah satu kliennya. Saat itu ia dijanjikan uang Rp 50 juta untuk menjalin hubungan selama satu bulan. Di tengah jalan, klien tersebut kabur dan tidak pernah membayar.
Sebenarnya Dinda pernah mengurangi dan mencoba berhenti menjajakan jasanya. Saat itu ia dekat dengan seorang pria. Sayangnya, pria tersebut meminjam uang cukup besar kepada Dinda tanpa dikembalikan. Pada waktu bersamaan, ada kebutuhan mendesak yang harus dibayar Dinda. Dengan itu, Dinda akhirnya mulai bekerja kembali dan mencari klien baru untuk menopang kebutuhan hidupnya.
Walaupun demikian, Dinda selalu waspada dalam menjalankan pekerjaannya. Ia selalu membawa minuman sendiri saat bekerja. Ia sengaja menolak air minum pemberian kliennya.
"Aku nggak tahu dia naruh apa dalam minuman itu. Aku harus selalu waspada karena semua hal bisa terjadi di dalam kamar. Aku pilih-pilih klien juga, nggak semua asal bayar, karena ya itu tadi, waspada," jelasnya.
Dinda juga mengaku secara berkala memeriksakan kesehatannya. Tiga bulan sekali ia melakukan tes guna menghindari bahaya HIV/AIDS. Ia melakukan tes di puskesmas dengan menggunakan asuransi BPJS Kesehatan.
Di sisi lain, Dinda ingin ada wadah pengaduan yang aman bagi pekerja seks seperti dirinya. "Penginnya, minimal, kalau sesuatu yang buruk terjadi, kami ini bisa mengadu. Jadi ada pusat pengaduan gitu yang aman," ucapnya.
Serupa dengan Dinda, Rahma—bukan nama sebenarnya—juga menjadi pekerja seks yang menjaring pelanggan via online. Dia mengaku kliennya kerap memaksa untuk merekam hubungan seks dan dia selalu menolaknya. Dia mempromosikan jasanya melalui akun Twitter. Saat ditemui reporter detikX, foto yang dia tampilkan di Twitter palsu.
"Iya itu dia teman aku. Dia lagi nggak bisa makanya diserahin ke aku," kata Rahma.
Tim detikX berupaya menjangkau beberapa pekerja yang menawarkan jasanya di dua aplikasi kencan, yaitu Bumble dan OkCupid. Dari lima pekerja seks yang dihubungi, hanya dua yang bersedia diwawancarai.
Baca Juga : Musabab Pembunuhan Para Kembang Latar
Peneliti isu perempuan dan anak Any Sundari mengatakan banyak perempuan yang menjadi korban dengan tidak bisa lepas dari prostitusi. Kebanyakan dari mereka dijerat oleh utang dan ancaman kekerasan. Salah satu bentuk ancaman paling lazim adalah penyebaran video.
Di sisi lain, adanya aplikasi online memudahkan orang mengakses dan menjajakan jasa prostitusi. Namun, sejak kawasan prostitusi ditutup di beberapa daerah dan beralih ke online, risiko aktivitas tersebut menjadi sulit dikontrol, terutama risiko yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi.
"Saat ini polanya tersebar dan risiko penyebaran penyakit kurang bisa dikontrol. Secara kesehatan dan keamanan, mereka yang beroperasi secara individu melalui aplikasi lebih berisiko," ucapnya kepada reporter detikX.
Any juga mengatakan, selama ini belum ada sistem pelaporan dan pengaduan yang memadai bagi para perempuan yang terjerat prostitusi. Beberapa lembaga pemerintah berhenti di penerimaan laporan saja, tak memberikan sistem dukungan serta pendampingan setelahnya. Menurutnya, sulit bagi para perempuan tersebut melapor ke lembaga pemerintah, seperti kepolisian, tanpa memperoleh diskriminasi.
Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi mengatakan pihaknya menggunakan istilah ‘perempuan yang dilacurkan’ (pedila) untuk menyebut prostitusi perempuan atau pekerja seks perempuan di Indonesia. Istilah tersebut dipandang lebih sesuai dengan gambaran kondisi struktural yang memaksa seorang perempuan masuk ke industri prostitusi. Para pedila ini merupakan korban kekerasan struktural yang menempatkan perempuan sebagai objek seksual.
Penanganan prostitusi selama ini masih bermasalah. Komnas Perempuan mencatat, pada 2019, terdapat tujuh kasus pelecehan seksual dengan pelaku Satpol PP. Korbannya tujuh perempuan, terjadi saat razia dan penangkapan pedila di Jakarta Timur.
Siti menjelaskan, dalam perundang-undangan Indonesia, istilah prostitusi atau perempuan yang dilacurkan belum memiliki konseptualisasi yang jelas. UU yang digunakan sebagai dasar hukum dalam kasus-kasus prostitusi, yaitu Pasal 296 dan Pasal 506 KUHP, juga tidak secara langsung menggunakan kata ‘prostitusi’ atau ‘pelacuran’, tetapi menggunakan istilah ‘perbuatan cabul’.
Terkait dengan prostitusi online, Siti mengatakan, dasar hukum yang sering digunakan selain Pasal 296 KUHP adalah Pasal 27 ayat 1 juncto Pasal 45 ayat 1 UU RI Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Meskipun begitu, penggunaan UU ITE untuk kasus-kasus prostitusi online dapat bermasalah karena memiliki risiko kriminalisasi bagi perempuan yang dilacurkan.
Dalam hal ini, Siti memaparkan, pedila bisa terkena pelanggaran Pasal 27 ayat 1 UU ITE karena, untuk melakukan pekerjaannya, mereka juga menyebarkan konten online yang bersifat asusila. Dalam konteks ini, pedila dapat diancam pidana bukan karena terlibat dalam prostitusi, melainkan menyebarkan informasi atau dokumen yang dipandang asusila melalui media elektronik.
Adapun yang dimaksud prostitusi online menurut Komnas Perempuan mencakup transaksi booking out, video call sex (VCS), phone sex atau call sex (CS), live show, dan streaming live aktivitas seksual.
"Bagaimana mengatasinya, khususnya terhadap perempuan muda yang terlibat dalam prostitusi? Pendekatan hukum, dibutuhkan pendekatan ekonomi, sosial, dan budaya untuk mengatasi akar masalah dari prostitusi itu sendiri," ucap Siti kepada reporter detikX.
Reporter: Tim detikX
Penulis: Tim detikX
Editor: Dieqy Hasbi Widhana
Desainer: Luthfy Syahban