Ilustrasi : Edi Wahyono
Intan—bukan nama sebenarnya—perempuan berusia 31 tahun, tergeletak tak bernyawa di kamar 110 sebuah hotel di bilangan Menteng, Jakarta Pusat. Saat ditemukan oleh temannya dan seorang karyawan hotel, tubuh Intan sudah kaku dan wajahnya ditutupi bantal. Terlihat beberapa lebam di bagian tubuh dan kepalanya.
“Posisinya masih telanjang,” kata seorang karyawan hotel yang reporter detikX temui pada Jumat, 30 Desember 2022.
Intan merupakan seorang pekerja seks komersial (PSK) online yang tewas di tangan teman kencannya sendiri pada 26 Mei 2021. Dia menjajakan jasa pelayanan seks melalui aplikasi pesan singkat MiChat. Intan bekerja secara individu tanpa bantuan muncikari.
Polres Jakarta Pusat mengungkap, pembunuh Intan adalah seorang sekuriti berinisial AA, berusia 20 tahun, yang bekerja di salah satu bank swasta. AA sejak awal merencanakan pembunuhan tersebut dan merampas barang berharga korban. Dia menargetkan tiga PSK daring yang ditemukannya melalui MiChat. Namun dua di antaranya gagal. Intan yang tertimpa sial.
Baca Juga : Cerita Mereka yang Terjerat Prostitusi Online
Tapi mereka jadi jauh lebih rentan terhadap praktik-praktik kejahatan turunannya. Karena bisa jadi orang yang ingin menggunakan jasa mereka itu orang dengan niat jahat.”
“Kejadian ini bermula dari keinginan melampiaskan nafsu dengan bantuan aplikasi MiChat untuk mendapatkan jasa layanan seks,” tutur AKBP Setyo Koes Heriyanto, yang saat itu masih menjabat Wakapolres Jakarta Pusat.
Nyaris setahun kemudian, peristiwa serupa kembali terulang. Kali ini lokasinya di sebuah kamar indekos di kawasan Cijoho, Kuningan, Jawa Barat. Korban merupakan seorang pekerja seks online yang sehari-hari beroperasi melalui aplikasi MiChat.
Kasus pembunuhan ini sempat menggemparkan media sosial pada pertengahan Maret 2022. Polres Kuningan waktu itu mengungkap korban juga bergerak seorang diri tanpa bantuan muncikari.
"Namun banyak temannya yang mengetahui dia menjual diri dari tetangga-tetangga kosannya,” tulis Kasat Reskrim Polres Kuningan AKP Muhammad Hafid Firmansyah melalui pesan singkat kepada reporter detikX pekan lalu.
Begitu pula kasus pembunuhan kembang latar online yang terjadi di sebuah hotel di bilangan Senen, Jakarta Pusat, pada Oktober lalu. Korban juga beroperasi secara mandiri lewat aplikasi MiChat.
“Info dari penyidik lama dan penyidik begitu. Jadi dia (korban) juga lone wolf (beraksi sendiri),” tutur Kapolsek Senen Polres Metro Jakarta Pusat Kompol David Pratama Purba kepada reporter detikX pekan lalu.
Penelusuran tim detikX melalui mesin pencari Google, didapati sedikitnya 23 kasus pembunuhan pekerja seks online sepanjang 2021-2022. Penelusuran dilakukan dengan metode Open-Source Intelligence (Osint) dengan kata kunci: PSK online, bunuh, dan open BO alias booking online atau booking out.
Dari penelusuran jejak digital ini, tim detikX mendapatkan sebuah pola yang nyaris mirip pada setiap pembunuhan yang terjadi. Sebanyak 16 kasus atau mayoritas pembunuhan terhadap PSK daring diduga bermotif ekonomi. Motif ini dapat teridentifikasi dari aksi terusan yang dilakukan pelaku setelah pembunuhan terjadi.
Umumnya, selain membunuh, pelaku merampok barang berharga korban. Mulai ponsel, uang, hingga perhiasan. Beberapa di antaranya bahkan mencuri bra dan celana dalam korban.
Selain motif ekonomi, tim detikX menemukan kemiripan lain dalam pembunuhan tersebut, yakni aplikasi perkenalan yang digunakan pelaku maupun korban. Sebanyak 13 korban mengenal pembunuhnya melalui aplikasi MiChat, 6 melalui Facebook, 2 melalui WeChat, dan sisanya tidak diketahui.
Pelaku pembunuhan PSK Online di Indramayu, Senin (24/10/2022).
Foto : Ony Syahroni/detikJabar
Bukan rahasia lagi kalau aplikasi MiChat banyak digunakan pekerja seks untuk menjajakan jasanya. Para pengguna dapat dengan mudah mencari pekerja seks melalui MiChat di lingkungan sekitar alias nearby location.
Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Usman Kansong tidak menampik adanya aplikasi pesan singkat yang memuat konten perdagangan orang seperti MiChat. Namun Usman mengaku kewenangan mengawasi aplikasi semacam ini berada di luar jangkauan Kominfo.
“Kalau yang sifatnya privat ini memang di luar jangkauan Kominfo. Karena kan enkripsinya berbeda dia, kami tidak bisa masuk ke situ,” jelas Usman kepada reporter detikX pekan lalu.
Selain instrumen perkenalan, tim detikX mendapati satu kemiripan pola kerja para korban. Rupanya sebagian besar korban pekerja seks ini bekerja individual. Mereka tidak terafiliasi dengan jaringan prostitusi tertentu. Skema ini terkonfirmasi dari beberapa sumber kepolisian yang tim detikX wawancarai.
Berdasarkan data yang tim detikX himpun, korban yang bergerak secara mandiri mencapai 20 orang dari 23 kasus. Sementara itu, tiga lainnya menjadi bagian dari jaringan prostitusi. Ketiganya dibunuh oleh muncikarinya sendiri.
Pengamat sosial dari Universitas Indonesia, Devie Rahmawati, menilai kemungkinan maraknya pembunuhan terhadap pekerja seks online mandiri terjadi lantaran hilangnya ekosistem yang ada dalam prostitusi konvensional. Seperti muncikari, preman, dan tempat lokalisasi yang membentuk suatu ‘sistem pengamanan’ tersendiri dalam bisnis prostitusi bagi para pekerja seks. Kondisi ini, kata Devie, membuat pekerja seks online mandiri menjadi jauh lebih rentan menjadi korban kekerasan hingga pembunuhan.
Meski begitu, kata Devie, faktanya, masih banyak pekerja seks online yang justru lebih memilih bekerja individual. Mereka tergiur oleh keuntungan yang besar. Sebab, dengan bekerja mandiri, mereka tidak perlu membagi penghasilannya dengan muncikari atau preman-preman lokalisasi yang menjaganya.
“Tapi mereka jadi jauh lebih rentan terhadap praktik-praktik kejahatan turunannya. Karena bisa jadi orang yang ingin menggunakan jasa mereka itu orang dengan niat jahat,” tutur Devie saat berbincang dengan reporter detikX pekan lalu.
Penelitian Department of Criminology Universitas Leicester pada 2017 terhadap 641 pekerja seks di Inggris menunjukkan justru transformasi bisnis prostitusi konvensional ke online membuat pekerja seks lebih aman. Dalam riset bertajuk ‘Beyond the Gaze: Summary Briefing on Internet Sex Work’ itu disebutkan tindak kekerasan terhadap pekerja seks menurun drastis ketika bisnis prostitusi memasuki era digital.
Sekitar 80 persen menyebut mereka merasa jauh lebih aman menjajakan seks melalui platform online. Sebagian besar pekerja seks mengaku tidak pernah mendapatkan kekerasan fisik, perampokan, dan ancaman pembunuhan dalam periode 2012-2017. Hanya 5-10 persen yang mengaku pernah mendapatkan perlakuan demikian.
Salah satu faktor yang membuat pekerja seks daring di Inggris jauh lebih aman adalah adanya forum komunikasi antarpekerja seks. Melalui forum itu, mereka dapat menyaring terlebih dahulu calon klien yang ingin menggunakan jasanya.
“Internet memungkinkan saya untuk memfilter calon klien, berkomunikasi dengan sesama pekerja seks, dan memberi tahu keberadaan terakhir saya,” kata seorang pekerja seks yang diwawancarai peneliti dalam studi tersebut.
Di Indonesia, forum yang demikian itu tidak ada. Sebab, selain tabu, prostitusi terlarang dalam aturan hukum di Indonesia. Kriminolog dari Universitas Indonesia Arthur Josias Simon Runturambi memandang aturan dan budaya ketimuran inilah yang akhirnya turut membuat pekerja seks semakin rentan menjadi korban kekerasan maupun pembunuhan.
Sebab, umumnya, kata Josias, para pekerja seks bekerja dalam ‘ruang gelap’ untuk bersembunyi dari stigma masyarakat yang terbentuk oleh budaya ketimuran dan menghindari jeratan hukum.
“Dan akhirnya terjadi pasar gelap atau kasarnya pasar yang diam-diam, dan ini baru sekarang yang ini membuat kerentanan adalah hal itu,” jelas Josias saat dihubungi reporter detikX pada Kamis, 29 Desember 2022.
Kriminolog dari Universitas Budi Luhur, Chazizah Gusnita, mengatakan, tanpa menjadi pekerja seks sekalipun, perempuan sebetulnya sudah berada di posisi yang rentan terhadap tindak kejahatan. Apalagi bagi para perempuan pekerja seks, yang notabene masih menjadi pekerjaan yang terlarang di Indonesia.
Rekonstruksi pembunuhan PSK di Palembang, Kamis (18/3/2021).
Foto : Syahbana/detikcom
Situasi ini membuat pelaku tindak kejahatan merasa bahwa pekerja seks layak mendapatkan kekerasan. Sebab, kata Chazizah, para pelaku bakal berpikir bahwa pekerja seks tidak akan berani melapor ke kepolisian lantaran mereka juga tergolong sebagai pelanggar hukum.
“Kalaupun berani melaporkan, si PSK atau siapa pun yang melaporkan, perempuan ini tentu saja yang akan mendapat victim blaming. Masyarakat mungkin tidak membela atau berempati. Sebaliknya, justru menyalahkan korban,” pungkas Chazizah.
Reporter: Fajar Yusuf Rasdianto, Ahmad Thovan Sugandi
Penulis: Fajar Yusuf Rasdianto
Editor: Dieqy Hasbi Widhana
Desainer: Luthfy Syahban