Ilustrasi : Edi Wahyono
Muhamad Ridwan, 41 tahun, masih ingat betul pengalaman buruknya menjadi korban pelecehan seksual ketika menggunakan TransJakarta pada Maret 2022. Bekerja sebagai karyawan swasta di kawasan Tendean, Iwan, sapaan akrabnya, sore itu hendak pulang ke rumahnya di daerah Bogor.
Dia menggunakan TransJakarta dari Halte Tendean menuju Cawang. Transit di Stasiun Cawang, dia kemudian menggunakan moda transportasi KRL Commuter Line. Saat dia masih di Halte Pancoran, sekitar pukul 17.00 WIB, penumpang berjejal karena ramai sekali. Dari sinilah pengalaman buruknya terjadi.
Iwan sengaja berdiri di dekat pintu agar mudah keluar. Sebab, perjalanan dari Pancoran ke Cawang cukup dekat. Di belakang Iwan ada tiga laki-laki tidak dikenal. Bus melaju, Iwan merasa ada yang menyentuh bokongnya. Dia bukan orang yang suka menaruh dompet di kantong belakang. Itu sebabnya, Iwan berpikir positif, tidak sedang dalam upaya pencopetan.
“Mungkin tidak sengaja,” pikirnya kala itu. Dia menuturkannya kembali kepada reporter detikX.
Kampanye stop pelecehan seksual di moda transportasi TransJakarta, Jumat (5/8/2022).
Foto : Silvia/detikcom
Sialnya, pengalaman buruk itu terjadi beberapa saat kemudian. Ketika dia hendak turun di Halte Cawang, para penumpang yang memadati bus mulai bergerak. Beberapa yang duduk kemudian berdiri untuk keluar dan yang berada di dekat pintu keluar membuka jalan.
Kami senang kalau kasus ini sampai ke pengadilan supaya ada efek jera. Karena, kalau tidak ada efek jera, ini akan terjadi lagi, terjadi lagi.”
Iwan, yang sudah di depan pintu, hendak Klangsung keluar dari bus, tetapi langkahnya sempat terhenti beberapa detik ketika menyadari bokongnya disentuh. Kali ini dia yakin, itu bukan sekadar menyentuh tanpa sengaja, melainkan berniat meremas. Dia lalu melihat ke arah tiga laki-laki di belakangnya sebelum akhirnya keluar meninggalkan bus.
“Saya tidak tahu siapa yang melakukan. (Momen) itu cepat sekali. Kalau saya tuduh, nanti takut fitnah,” katanya.
Iwan memilih tidak melaporkan itu. Bukan karena mewajarkan, melainkan lantaran dia tidak punya bukti. CCTV di bus kala itu, menurut Iwan, tidak mampu menangkap momen pelecehan seksual yang dia alami.
“CCTV ada di depan dan di belakang, tetapi kondisi waktu itu padat sekali. Pasti tidak kelihatan,” katanya.
Pelecehan seksual di TransJakarta merupakan kejahatan yang terus berulang. Pada awal November lalu, cerita seorang laki-laki dipegang penisnya saat berada di TransJakarta viral di media sosial. Dalam kasus itu, korban melihat jelas perbuatan pelaku sehingga memberikan pukulan ke wajahnya.
Korban menyebut pelaku sudah dimintai identitasnya oleh petugas TransJakarta. Pihak TransJakarta pun sudah menghubungi korban untuk mendorongnya melaporkan kasus itu ke polisi, tetapi korban tidak mau.
Pada bulan lalu, manajemen TransJakarta mengumumkan telah menangkap dua pelaku pelecehan seksual yang terjadi di bus dan halte TransJakarta, kemudian menyerahkannya ke polisi. Setelah ditelusuri, salah satu pelaku diketahui melakukan kejahatan serupa dua hari sebelumnya.
Saat bertemu dengan Komnas Perempuan pada Agustus 2022, manajemen TransJakarta sempat menyampaikan bahwa ada 12 laporan kasus pelecehan seksual yang terjadi sejak awal tahun hingga saat itu.
Meski begitu, Kepala Divisi Sekretaris TransJakarta Anang Rizkani Noor menyebut belum ada pelaku yang menerima vonis pengadilan karena para korban enggan memproses kasusnya ke polisi. Alasannya, proses hukum akan memakan banyak waktu, biaya, dan tenaga.
“Kalau tidak salah, ada satu yang sudah mau proses di persidangan,” kata Anang kepada reporter detikX pekan lalu. Namun dia tidak menjelaskan detail kasusnya.
Sebenarnya, Anang melanjutkan, TransJakarta menginginkan semua kasus pelecehan seksual diproses hukum. Namun proses hukum kasus ini mensyaratkan pelaporan dari pihak korban, kecuali korban merupakan seorang anak atau penyandang disabilitas, seperti diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Para korban tetap enggan melaporkannya. Anang mengklaim, padahal TransJakarta sudah mendorongnya dan siap membantu prosesnya.
“Kami senang kalau kasus ini sampai ke pengadilan supaya ada efek jera. Karena, kalau tidak ada efek jera, ini akan terjadi lagi, terjadi lagi,” kata dia. “Kami tidak bisa memaksa orang melapor.”
Komisioner Komnas Perempuan Veryanto Sitohang menyatakan lembaganya pernah memberikan masukan kepada TransJakarta untuk menyerahkan seluruh terduga pelaku kekerasan seksual ke polisi. Namun memang itu tidak cukup untuk diproses secara hukum.
“Itu sudah dilakukan, walaupun tantangannya kemudian adalah korban tidak mau melapor,” kata Very kepada reporter detikX.
Menurutnya, TransJakarta memang harus terus melakukan pendekatan kepada korban untuk mendorong pelaporan ke polisi. Very menyebut, kalau tidak punya kapasitas melakukan pendekatan kepada korban yang traumatis, mereka bisa bekerja sama dengan lembaga lain yang lebih kredibel.
“TransJakarta sebenarnya didukung Unit Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak, di bawah Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Anak. Mereka sudah diberi training untuk membantu korban. Jadi memang perlu pembenahan,” ujarnya.
Ilustrasi Halte Harmoni TransJakarta dalam kondisi ramai, Jakarta Pusat, Selasa (10/5/2022).
Foto : Pradita Utama/detikcom
Very menjelaskan, di moda transportasi publik kereta listrik, PT Kereta Api Indonesia pernah mengeluarkan kebijakan blacklist, yakni melarang terduga pelaku pelecehan seksual menggunakan layanan kereta jarak jauh. Jika tidak bisa melakukan ini, TransJakarta seharusnya membuat terobosan lain untuk mencegah pelaku mengulangi perbuatannya.
Ketua Forum Warga Kota Jakarta Azas Tigor Nainggolan memandang TransJakarta tidak bisa melarang seseorang menggunakan layanannya selama orang itu belum dinyatakan bersalah oleh pengadilan. Sebab, TransJakarta merupakan transportasi publik.
Menurut Tigor, manajemen TransJakarta seharusnya mencari solusi masalah teknis yang selama ini menjadi kendala bagi korban untuk melapor ke polisi.
“Tidak bisa serta-merta mem-blacklist,” katanya. “Persoalan teknis mengenai waktu, biaya, dan tenaga korban karena korban juga punya aktivitas sendiri, itu bisa diatur antara manajemen dan polisi. Ini tugas manajemen.”
Reporter: May Rahmadi
Penulis: May Rahmadi
Editor: Dieqy Hasbi Widhana
Desainer: Luthfy Syahban