Spotlight

Mata Rantai Pelecehan Seksual di KRL yang Sulit Diputus

Pelecehan seksual di KRL Commuter Line terbanyak terjadi di jalur Jakarta Kota-Bogor. PT KCI dikritik karena tak memiliki tim khusus, tak membekali petugas dengan pelatihan penanganan khusus, dan mempertemukan pelaku dengan korban.

Ilustrasi : Edi Wahyono

Rabu, 16 November 2022

Dua korban pelecehan seksual di KRL Commuter Line berkenan membagi ceritanya kepada detikX. Korban pertama bahkan mengalami pelecehan seksual berulang dalam dua hari berturut-turut.

Pada 24 Oktober 2022, korban tersebut berangkat dari Bekasi menuju kantornya di daerah Jakarta. Dia menggunakan KRL rute Bekasi-Kampung Bandan. Hari itu, seperti biasa, kereta pagi selalu penuh penumpang yang berdesakan.

Dalam kondisi tersebut, pelaku yang berada belakang korban sengaja dan berkali-kali menempelkan penisnya ke pantat korban. Mendapati itu, korban ketakutan sekaligus bingung. Ia tidak bisa berpindah tempat karena gerbong kereta yang berjejal penumpang. Selain itu, karena syok, korban tidak kuasa untuk meminta tolong ataupun menegur pelaku.

Sampai di Stasiun Sudirman, korban akhirnya dapat berpindah tempat karena kepadatan penumpang berkurang. Saat turun di stasiun tujuan, Tanah Abang, korban baru menyadari pelaku melakukan onani di sepanjang perjalanan. Di rok korban terdapat cairan sperma pelaku.

Kampanye Cegah Pelecehan di Kereta di Stasiun Sudirman, Selasa (12/3/2019). 
Foto : Pradita Utama/detikcom

"Sampai di kantor, saya nggak ada stamina untuk cerita ke orang lain. Kalau bawa ganti, saya ingin buang rok itu. Sepanjang jalan pulang, saya nangis, takut," ujar korban kepada reporter detikX.

Aku berharap KCI bisa nambah jam keretanya, jadwal berangkatnya diperbanyak, jadi di dalam kereta kondisinya nggak serame itu."

Esoknya, pada 25 Oktober 2022, korban kembali berangkat ke kantornya seperti biasa. Perjalanan dari rumah menuju kantornya memakan waktu satu setengah jam. Lamanya waktu tempuh memaksanya naik kereta dengan jadwal keberangkatan pukul 07.28 WIB.

Hari itu kondisi kereta penuh sesak oleh penumpang. Korban memilih berdiri bersandar di tiang besi dekat pintu gerbong kereta. Ia sengaja memilih tempat tersebut untuk menghindari terulangnya kejadian sehari sebelumnya.

Tanpa diduga olehnya, tiba-tiba ada seorang laki-laki berumur 40-an tahun mengambil posisi berdiri menghadap korban. Pria itu berperawakan tambun, berambut pendek, memakai kemeja batik yang dilapisi oleh jaket warna biru tua.

"Posisi kami hadap-hadapan dan dekat banget karena kondisi keretanya penuh, mau gerak atau mau ubah posisi saja susah," ujarnya kepada reporter detikX.

Dalam kondisi tersebut, pelaku sengaja menyentuh payudara korban dengan menggunakan punggung tangan kanannya. Seketika itu korban merasa takut dan gemetaran.

"Saya gemetaran, mau teriak sudah tidak bisa," ucapnya.

Saat beberapa penumpang turun, korban berhasil membalikkan badan membelakangi pelaku. Namun pelaku justru memegang-megang bagian belakang badan korban. Setelah itu, pelaku terus mengimpit dan menutup ruang gerak korban agar tidak bisa berpindah posisi.

Saat korban turun di Stasiun Tanah Abang, pelaku meremas pantat korban. Dalam kondisi tersebut, korban memberanikan diri melawan. Korban menarik baju sambil merekam wajah pelaku menggunakan ponsel sebagai bukti.

"Gila ya, Bapak berani-beraninya nyolek-nyolek pantat saya," ujarnya.

Mendengar itu, pelaku justru menantang korban untuk menunjukkan bukti dan melaporkannya. Reaksi tersebut membuat korban yakin bahwa pelaku sejak awal memang berniat melakukan pelecehan seksual. Pada momen itu, korban mengaku bingung dan tidak tahu harus melapor ke mana. Sementara itu, petugas hanya membawa pelaku tanpa meminta keterangan kepada korban.

"Karena ngelihat kami berdua ribut-ribut, petugas datang, terus bawa bapak itu buat diperiksa. Saya lanjut ke kantor walaupun sudah syok banget," tuturnya.

Sepulang ke rumah, korban memberanikan diri menceritakan pengalamannya melalui media sosial. Setelah postingannya menuai banyak tanggapan publik, barulah PT KCI menghubungi korban. Kepada KCI, korban tidak meminta kejadian tersebut diproses lebih lanjut.

"Karena aku tahu bakal ribet, aku tahu ujungnya akan seperti apa. Aku cuma minta untuk lihat rekaman CCTV waktu kejadian. Diminta menunggu, tapi sampai sekarang belum ada update lagi," jelasnya.

Petugas Commuter Line berbusana kebaya memberikan sosialisasi tentang pelecehan seksual dalam transportasi umum saat perjalanan kereta dari Stasiun Djuanda menuju Stasiun Gondangdia, Jakarta, Jumat (20/4/2018).
Foto : Agung Pambudhy/detikcom

Gara-gara kejadian tersebut, hingga kini korban enggan naik KRL lagi. Akhirnya ia rela menempuh jarak jauh dengan mengendarai motor untuk berangkat ke kantor. Jika naik kereta, korban takut akan berjumpa dengan pelaku. Bahkan ia tidak berani mengenakan tas yang ia gunakan saat kejadian karena takut dikenali pelaku.

"Aku berharap KCI bisa nambah jam keretanya, jadwal berangkatnya diperbanyak, jadi di dalam kereta kondisinya nggak serame itu," pinta korban.

Adapun korban kedua yang bercerita kepada detikX, dalam kesehariannya juga menggunakan KRL untuk pergi dan pulang bekerja. Pada 28 Oktober 2022, pukul 17.10-17.50 WIB, seorang pria usia 30-an tahun melecehkan korban di kereta rute Jakarta-Bogor.

Korban naik KRL di Stasiun Kalibata. Saat itu ia mengambil tempat di dekat pintu. Adapun pelaku berdiri persis di belakang bagian sebelah kanan korban.

Di dalam gerbong kereta yang penuh tersebut, pelaku memegang-megang paha kanan korban. Merasakan itu, korban berteriak menegur pelaku. Pelaku sempat mengelak sebelum didorong dan dijauhkan dari korban oleh penumpang lain. Sebelum pelaku turun di Stasiun Pondok Cina, korban sempat memotret pelaku.

"’Pak, tolong ya tangannya, saya berasa lo dari tadi. Jangan macem-macem sama saya’. Saya bilang begitu sambil saya pelototin dia," teriak korban kepada pelaku yang dituturkan kepada reporter detikX.

Saat kejadian tersebut, korban tidak melihat seorang pun petugas keamanan datang untuk menghampirinya.

"Padahal saya teriak kenceng," ujarnya.

Pengalaman itu bukan pertama kali dialami korban. Sebelumnya, dia mendapat beberapa kali tindak pelecehan seksual di kereta, terutama saat perjalanan pulang dari Jakarta menuju Bogor.

Korban pun mengutarakan pengalaman buruknya di media sosial. Setelah postingan itu mendapat banyak atensi publik, PT KCI akhirnya menghubungi korban. Melalui sambungan telepon, petugas PT KCI menanyakan kronologi kejadian. Selain itu, PT KCI mengatakan korban seharusnya melapor langsung ke petugas di lapangan.

"Tidak ada form laporan yang mereka sodorkan. Tidak ada tindak lanjut sampai hari ini. Mereka cuma minta maaf dan turut prihatin," ucapnya.

Korban meminta agar pelaku dapat diidentifikasi dan diberi sanksi oleh PT KCI. Hal itu didukung oleh foto pelaku yang diambil korban menggunakan kamera ponsel.

"Saya ingin dia di-blacklist dari KRL. Tidak boleh dia naik KRL lagi," tegasnya.

Korban mengaku trauma dan takut setelah kejadian tersebut. Namun, baginya, tidak ada pilihan lain dan harus menggunakan KRL untuk mobilitas kerjanya. Ke depan, ia ingin petugas ada di tiap gerbong KRL.

"Petugas harus ada di sana, harus berdiri dan dapat dilihat oleh para penumpang lain. Jangan ngumpet atau nggak kelihatan," ujarnya.

Prosedur yang Tak Memihak Korban

Manajer External Relations & Corporate Image Care KAI Commuter Leza Arlan mengatakan, pihaknya telah memiliki prosedur untuk menangani laporan kekerasan seksual. Dia mengklaim pelaku akan langsung ditindak jika korban langsung melaporkan di stasiun.

"Jika korban langsung lapor di stasiun sesaat setelah kejadian dan ada terduga pelaku, kami ada prosedurnya. Kebanyakan itu di medsos lapornya. Kalau laporan langsung di stasiun tepat setelah kejadian, kita akan cari pelakunya," ucapnya kepada reporter detikX.

Menurutnya, saat ada pelaporan langsung, petugas akan menyisir stasiun dan kereta untuk mencari terduga pelaku. Setelah itu, pelaku dan korban akan dipertemukan di pos keamanan untuk dimintai keterangan oleh petugas terkait kronologi kejadian. Setelah itu, korban akan ditanya, apakah akan berdamai di tempat atau melanjutkan ke proses hukum.

Jika korban ingin melanjutkan ke proses hukum, petugas akan mengantar mereka ke kantor polisi terdekat. Setelah itu, petugas KRL menyerahkan urusan tersebut kepada korban dan pelaku. Hal itu dianggap sesuatu yang menjadi tanggung jawab korban dan pelaku serta bukan menjadi urusan PT Kereta Commuter Indonesia (KCI) sebagai pengelola.

"Setelah kami antar, ya itu sudah urusan korban dan pelaku dong. Itu merupakan pendampingan hukum yang kami maksud, mengantar ke kepolisian," ucapnya.

Leza mengatakan, di pos keamanan, pelaku akan diminta membuat surat pernyataan tidak mengulangi tindak kekerasan seksual. Selain itu, profil pelaku akan dimasukkan ke pangkalan data CCTV analytics. Dengan sistem tersebut, wajah pelaku akan terekam dan dapat diidentifikasi. Petugas dapat memantau pergerakan pelaku melalui CCTV secara lebih ketat.

"Itu untuk semua jenis tindak kriminal, jadi bisa kami awasi jika masuk stasiun lagi. Dari Januari sampai Oktober, kami baru masukkan database dua orang pelaku kekerasan seksual," ujarnya.

Berdasarkan data laporan atau aduan kasus PT KCI, mayoritas pelecehan seksual atau sebanyak 40 persen terjadi di jalur KRL Jakarta Kota-Bogor. Di urutan kedua, terdapat jalur dari Stasiun Tanah Abang menuju Rangkasbitung. Lalu di posisi ketiga dan keempat ditempati jalur KRL yang berasal dari Jakarta Kota menuju Bekasi serta jalur Jakarta Kota menuju Tangerang.

Walaupun demikian, Leza mengaku pihaknya tidak memiliki tim khusus untuk penanganan pelecehan atau kekerasan seksual. Selain itu, para petugas keamanan diakui belum mendapat pelatihan atau pembekalan secara khusus terkait penerimaan aduan dan penanganan kasus tersebut.

"Ke depan, kami akan gandeng Komnas Perempuan untuk penanganan yang lebih serius. Termasuk nanti ada pendampingan bagi korban yang trauma," tuturnya.

Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi mengatakan mempertemukan korban dengan pelaku untuk dikonfrontasi merupakan kesalahan dalam penanganan kekerasan seksual.

Hal itu karena korban tidak akan merasa aman dan nyaman dalam menceritakan kronologi kejadian. Selain itu, dalam prosesnya, sangat mungkin pelaku menyangkal, menyerang balik, dan mengintimidasi korban.

"Itu juga akan memperburuk kondisi atau dampak yang diterima korban. Bahkan di kepolisian juga tidak boleh dikonfrontasi begitu. SOP dan panduan standar untuk meminta keterangan dari korban," jelasnya kepada reporter detikX.

Siti juga menuturkan, dalam penerimaan aduan, harus dipastikan bahwa petugas telah terlatih secara khusus. Pemeriksa harus memiliki perspektif serta pengetahuan gender yang baik dan jenis kelaminnya sama dengan korban yang diperiksa. Lalu pemeriksaan juga harus dilakukan secara terpisah, antara pelaku dan korban.

"Selama ini kami belum digandeng oleh KCI untuk memberikan pelatihan terkait penanganan dan penerimaan aduan kekerasan seksual bagi petugas," ujarnya.

Sementara itu, Siti melihat PT KCI perlu menggandeng lembaga penyedia layanan pendampingan psikologis, termasuk rumah sakit. Hal itu agar korban dapat mengakses bantuan yang dibutuhkan untuk pulih.

Di luar itu, Siti menilai PT KCI perlu mengkampanyekan bahwa pengguna KRL juga memiliki daya untuk mencegah dan membantu korban. Misalnya dengan mau bersaksi bila kasus dibawa ke ranah hukum.

"Terungkapnya banyak pelecehan seksual ini juga bisa dimaknai sebagai meningkatnya kesadaran korban dan masyarakat untuk melaporkan pelecehan seksual yang terjadi," ucapnya.

Senada dengan Siti, founder perEMPUan Rika Rosvianti mengecam prosedur penanganan kekerasan seksual yang mempertemukan korban dengan pelaku. Hal itu menjadikan prosedur penanganan tersebut tak berpihak pada korban.

"Kalaupun mau ada pencatatan, bisa dilakukan terpisah prosesnya," jelasnya.

Menurutnya, PT KCI juga harus memahami bahwa tidak semua korban ingin memproses ke ranah hukum. Hal itu karena proses yang panjang dan melelahkan. PT KCI tetap bisa memberlakukan sanksi sendiri tanpa perlu menunggu semacam putusan hukum, yakni dengan mencatat nomor KTP dan kartu tap pelaku dan melarangnya naik selama 3 bulan, misalnya.

Di sisi lain, ia menilai PT KCI tidak cukup hanya berkampanye, tapi juga harus memiliki standard operating dan procedure yang baik. SOP itu meliputi pemenuhan hak dan pemulihan korban seta kejelasan sanksi bagi pelaku. Jadi tidak boleh hanya berfokus pada pencegahan, tetapi juga penanganan yang benar. Salah satunya dengan memberi pelatihan khusus kepada petugas lapangan terkait respons dan penanganan kasus kekerasan seksual.

Video : 20DETIK

Direktur Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Jakarta Siti Zuma mengatakan PT KCI harus bertanggung jawab dan memastikan KRL aman bagi semua pihak, terutama perempuan yang tidak punya pilihan selain menggunakan KRL.

"Kita muak dengan segala imunitas para pelaku kekerasan seksual hanya karena kasusnya tidak dianggap sebagai kejahatan yang serius, sehingga banyak kasus yang hanya sampai di tahap pelaporan ke petugas," kata Zuma kepada reporter detikX.

Menurut Zuma, selama ini publik tidak bisa memantau apakah benar KCI melakukan upaya atau proses hukum terhadap pelaku. Kasus yang viral di media sosial dan diklaim akan ditangani juga tidak terdengar perkembangan kasusnya. Dia menilai perlu adanya laporan publik secara berkala oleh PT KCI.

"Misalnya, ada kasus berapa, itu ditangani sejauh mana dan sebagainya, agar masyarakat bisa kontrol, sejauh mana mereka serius menangani kasus," tegas Zuma.


Reporter: Ahmad Thovan Sugandi, Melisa Mailoa
Penulis: Ahmad Thovan Sugandi
Editor: Dieqy Hasbi Widhana
Desainer: Luthfy Syahban

***Komentar***
[Widget:Baca Juga]
SHARE