Spotlight

Rugi Lahir Batin Konser Musik

Euforia penonton jadi kue manis bagi para promotor konser musik setelah puasa pada masa pandemi. Namun geliat industri pertunjukan tidak dilengkapi dengan standar mutu dan keamanan penonton.

Ilustrasi : Edi Wahyono

Kamis, 10 November 2022

Andin—bukan nama sebenarnya—sempat terjebak dan tidak bisa bergerak di tengah kekacauan festival musik Berdendang Bergoyang yang digelar di kawasan Istora Senayan, Jakarta, Jumat, 28 Oktober lalu. Menurutnya, jauh sebelum itu, keanehan sudah terlihat sejak proses pembelian tiket.

Tiket untuk acara yang digelar tiga hari tersebut ia beli melalui serangkaian langkah yang cukup rumit. Anehnya, uang pembelian tidak ditransfer ke rekening resmi perusahaan atau vendor tiket, melainkan ke rekening pribadi seseorang seharga Rp 350 ribu pada April lalu.

Saat memasuki area festival pada hari pertama, Andin diarahkan ke jalur memutar dan naik turun tangga. Menurutnya, itu akan sangat menyulitkan bagi penonton dari kalangan disabilitas. Tidak hanya itu, Andin juga kesulitan bergerak menuju panggung pertunjukan. Kerumunan massa membuatnya harus sesekali berhenti berjalan.

Salah satu panggung festival musik Berdendang Bergoyang, Minggu (30/10/2022).
Foto : Wilda/detikcom

"Padet banget, setiap 2-3 langkah berhenti. Akhirnya macet tidak bergerak dan orang mulai saling dorong, marah-marah," ucapnya kepada reporter detikX.

Harusnya ada spesialis pengurai atau pengontrol kerumunan, itu nggak ada. Panitia nggak terlalu kelihatan. Berantakan banget, nggak layak."

Kerumunan makin tak terkendali pada hari kedua. Saat Andin hendak menuju panggung yang berada di dalam ruangan Istora Senayan, ruangan tersebut ternyata ditutup. Para penonton yang memadati area depan mulai menggedor-gedor pintu. Saat pintu dibuka, orang-orang berebut ingin masuk sembari berdesakan dengan mereka yang ingin keluar.

Setelah ia berada di dalam, penampilan beberapa artis ternyata tertunda sekitar satu jam. Ketika acara dimulai, penampilan para penyanyi juga dipersingkat. Mereka hanya menyanyikan empat sampai lima lagu. Pada hari kedua festival musik tersebut, lebih dari 50 penonton pingsan. Inilah yang membuat kepolisian meniadakan pertunjukan hari ketiga festival itu.

"Kecewa. Kami beli tiket dan luangkan waktu, tapi pengalamannya tidak menyenangkan. Hari ketiga dateng, eh udah pada dibongkar," ujarnya.

Karena pertunjukan hari ketiga dibatalkan, sejumlah uang pembelian tiket dikembalikan kepada penonton. Namun, menurut Andin, proses pengembalian dana agak berbelit karena bukti konfirmasi pembayaran harus disertakan.

"Padahal banyak yang beli dari 2020, itu udah pada nggak nyimpen. Dan pengembalian itu 30 hari kerja, jadi ya lama," tuturnya.

Vino—bukan nama sebenarnya—bernasib serupa dengan Andin. Ia mengatakan, saat penonton masuk, panitia tidak memeriksa tiket maupun barang bawaan penonton. Mereka hanya menanyakan apakah penonton sudah membawa tiket atau tidak. Barcode pada tiket juga tidak diperiksa ataupun diregistrasi.

Vino mengaku sulit beranjak dari satu panggung ke panggung lain. Ia sempat melihat beberapa penonton memanjat pagar pembatas agar bisa keluar dari kerumunan yang tak kunjung terurai. Keadaan itu diperparah oleh sampah yang berserakan dan kerumunan penonton yang marah.

"Harusnya ada spesialis pengurai atau pengontrol kerumunan, itu nggak ada. Panitia nggak terlalu kelihatan. Berantakan banget, nggak layak," ucap Vino kepada reporter detikX.

Polisi menemukan unsur pidana terkait kasus kericuhan konser musik Berdendang Bergoyang tersebut. Panitia hanya mengajukan izin untuk 3.000 penonton. Namun tiket yang dijual sembilan kali lipat dari itu. Sedangkan kapasitas Istora Senayan hanya sekitar 10 ribu orang.

"Kalau kita lihat data di (penjualan tiket) online itu sampai 27 ribu untuk keseluruhan. Itu fakta-fakta terbaru yang kami temukan," kata Kapolres Metro Jakarta Pusat Kombes Komarudin saat dihubungi pada Kamis, 3 November 2022.

Festival Berdendang Bergoyang di Istora Senayan, Jakarta Pusat, Sabtu (29/10/2022).
Foto : Dok. Istimewa

Kepolisian menetapkan HA dan DP sebagai tersangka kasus kerumunan festival musik Berdendang Bergoyang tersebut. Dua inisial tersebut adalah penanggung jawab dan direktur acara itu.

Konser musik K-Pop yang menghadirkan boy band asal Korea, NCT 127, juga berujung kericuhan pada Jumat, 4 November 2022. Konser yang digelar di Indonesia Convention Exhibition, BSD, Tangerang, itu terpaksa dihentikan karena 30 penonton pingsan akibat berdesakan.

Luna—bukan nama sebenarnya—adalah salah satu saksi dalam kericuhan konser NCT 127 tersebut. Dia telah membeli tiket NCT dengan harga Rp 3 juta. Karena datang dari Yogyakarta, ia juga harus menghabiskan sekitar Rp 2 juta untuk transportasi dan penginapan.

"Saya sedih tapi tidak bisa salahin promotor atau artisnya, karena ini dari penonton juga yang rusuh. Sampai saat ini belum ada kabar dari promotor terkait pengembalian dana," ungkapnya kepada reporter detikX.

Karin—bukan nama sebenarnya—yang juga berasal dari Yogyakarta, merogoh kocek Rp 2,5 juta untuk menonton NCT 127. Ia mengatakan, saat pecah kerusuhan di bagian depan panggung, para personel NCT 127 sempat marah dan meminta penonton tenang.

Saat konser dihentikan, Karin mengira sedang kena prank dan bagian dari gimik konser. Kebetulan saat itu salah satu personel NCT 127 berulang tahun.

"Menurut aku, yang paling bikin sedih itu, member pergi tanpa pamit. Nggak ada foto bareng, tiba-tiba selesai. Bahkan foto bareng di medsos NCT 127 tidak ada, cuma hari kedua yang ada. Kayak nggak dianggap konser dan kesempatan ini nggak ada lagi," ujarnya.

Untung Rugi di Industri Festival Musik

Ketua Umum Asosiasi Promotor Musik Indonesia (APMI) Dino Hamid mengatakan, seiring dengan perkembangan teknologi, kontrol kerumunan dan ticketing seharusnya lebih mudah. Sistem digital memungkinkan promotor untuk mengetahui secara pasti jumlah tiket terjual, tiket tersisa, lalu membandingkannya dengan kapasitas lokasi.

Selain itu, menurut Dino, dipicu kasus festival Berdendang Bergoyang, saat ini Asosiasi sedang menjalin komunikasi dengan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif serta kepolisian. Tujuannya untuk membuat satu standard operating procedure (SOP) terkait penyelenggaraan konser dan festival musik. Namun, masalahnya, masih ada banyak promotor baru yang belum bergabung dengan Asosiasi.

"Asosiasi ini bisa untuk saling kontrol, termasuk kami di Asosiasi juga ingin bareng-bareng menjadikan konser atau festival musik itu nyaman, aman, dan menyenangkan," ucapnya saat berbincang dengan reporter detikX.


Saat ini APMI beranggotakan lebih dari 20 promotor. Menurutnya, sejumlah promotor mulai sadar pentingnya Asosiasi setelah kejadian dicabutnya izin Berdendang Bergoyang.

Dino menambahkan, Berdendang Bergoyang jelas melanggar aturan. Hal itu karena promotor memaksakan jumlah penonton hingga melebihi kapasitas atau daya tampung lokasi. Harusnya, 30-40 persen kapasitas lokasi dialokasikan untuk panggung, jalur evakuasi, pedagang, dan fasilitas umum lainnya. Adapun sisanya, 60 persen dari kapasitas itu, hanya boleh dipakai sekitar 80 persen.

Selain itu, untuk keamanan, paling tidak jumlah personelnya sekitar 10 persen dari penonton. Sedangkan tim medis sebaiknya dilengkapi dengan 3 dokter dan 1-3 ambulans.

"Mereka (promotor Berdendang Bergoyang) sudah datang ke kami dan meminta maaf. Sebenarnya tiga tahun lalu mereka bikin acara tidak ada masalah. Mungkin terbawa euforia saja, jadi tidak sesuai dengan rasionya, termasuk hitungan kapasitas. Kenapa izinnya 3.000, ya itu saya juga bingung," ungkapnya.

Dino memaparkan bisnis promotor memang berisiko tinggi mengalami kerugian yang besar. Meski begitu, bisnis ini juga bisa meraup keuntungan yang besar pula. Keuntungan diperoleh jika target sponsor dan penjualan tiket tercapai.

"Kalau menemukan penyanyi mana yang laku, itu sekarang lebih mudah, tinggal lihat Spotify misalnya. Oh, artis ini kuat di daerah ini, bisa kelihatan. Kalau dulu cuma dari insting dan jumlah request di radio," ujarnya.

Permasalahannya, menurut Dino, tiket yang habis terjual hanya mampu menutupi biaya produksi konser atau festival musik. Sold out tiket sebelum acara dapat digunakan untuk menarik dan meyakinkan para sponsor atau iklan. Dari sanalah keuntungan yang diperoleh promotor.

Dino menjelaskan ada yang berbeda pada festival musik dibandingkan dengan konser tunggal. Pada tahun pertama hingga kedua, promotor biasanya belum menerima keuntungan. Masa dua tahun itu dihabiskan untuk membangun brand atau citra festival tersebut. Dengan itu, keuntungan baru diperoleh pada tahun ketiga atau keempat.

"Istilahnya, promotor itu tekor tapi tersohor. Acara rame, keren, padahal rugi," tuturnya.

Permasalahan akan muncul jika festival musik gagal akibat kesalahan promotor. "Kalau UMKM atau partner yang jualan di dalam lokasi, misalnya batal acaranya, ya ikut merugi, rugi sama-sama. Kayak Berdendang Bergoyang, itu pasti rugi lahir batin," terangnya.

Pengamat musik Idhar Resmadi mengatakan, selama pandemi, promotor musik harus puasa. Bagi para konsumen, konser virtual juga bukan jawaban. Dengan itu, ketika keran izin dibuka pada akhir 2021, konser dan festival musik mulai bermunculan.

Meningkatnya daya beli dan antusiasme penonton seharusnya diimbangi oleh keberadaan standar mutu dan keamanan konser maupun festival musik. Tujuannya, mencegah praktik nakal seperti penjualan tiket berlebih. Selain itu, kemampuan kontrol dan manajemen kerumunan juga dapat mencegah adanya korban pelecehan seksual atau korban luka maupun meninggal dunia.

"Perlu edukasi ke pelaku industri untuk membentuk satu aturan dan standar baku terkait keamanan dan manajemen kerumunan. Ini tugas pemerintah dan asosiasi," ucap Idhar kepada reporter detikX.

Selain itu, menurut Idhar, jika harus ada pembatalan, promotor wajib menyampaikan prosedurnya jauh hari sebelum acara. "Jangan mendadak. Biasanya izin belum turun sampai H-2, tapi promotor tetep lanjut tanpa pemberitahuan. Itu harusnya diinfokan saja," ujarnya.


Reporter: Ahmad Thovan Sugandi
Penulis: Ahmad Thovan Sugandi
Editor: Dieqy Hasbi Widhana
Desainer: Luthfy Syahban

***Komentar***
[Widget:Baca Juga]
SHARE