Ilustrasi : Edi Wahyono
Theresia Kadmiyati masih duduk di bangku sekolah keguruan dan pendidikan saat ditahan. Dia dituduh terlibat dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965 atau G30S. Padahal ia tidak pernah aktif di organisasi politik. Sebelum dia ditahan, kegiatan sehari-harinya adalah mengajar dan ikut dalam sebuah grup ketoprak.
"Saya itu bikin taman kanak-kanak, ngajar. Murid saya ada 25 orang dan tidak saya tarik biaya," kenangnya kepada reporter detikX.
Pada malam hari 10 Oktober 1965, sejumlah tentara menangkap paksa Kadmi. Ia digelandang ke sebuah gedung di dekat Masjid Agung Kota Bantul. Saat ini gedung tersebut dipakai sebagai kantor Bank Rakyat Indonesia.
Dia mendekam di tempat tahanan tersebut selama enam bulan. Selama itu ia terus diinterogasi, dipaksa mengakui tindakan yang tak pernah dilakukan, dan mengalami penyiksaan. Kadmi juga melihat tahanan lain dipukuli hingga mengalami pendarahan.
Kamp Plantungan untuk tahanan Gerwani pada tahun 1965.
Foto : Dok. Sekber65
Dari pemerintah itu bansos itu tidak ada, blas, tidak ada bantuan. Tidak ada perhatian. Harusnya kami mendapat kompensasi karena 14 tahun ditahan tanpa diadili dan vonis. Nama baik kami dipulihkan. Dan sejarah jangan memakai versi Orde Baru lagi."
"Saya masih 18 tahun saat itu. Saya ditanya terkait keterlibatan di Lubang Buaya dan apakah saya juga nyanyi Genjer-Genjer. Harus dijawab iya, kalau tidak, ya dipukul. Ada yang disetrum, jempol ditumpangi kaki meja," tuturnya.
Pada 1966, ia dibebaskan dengan trauma-trauma yang membekas. Dia dan keluarganya merasa takut saat mendengar suara kendaraan bermotor. Kadmi juga tidak berani keluar dari rumah. Begitu juga dengan para tetangganya, takut mendekatinya.Dua tahun setelahnya, Kadmi kembali ditangkap dan ditahan di kantor Kodim. Selama tiga bulan ia diperiksa. Para tentara yang bertugas di Kodim tersebut juga melakukan pelecehan seksual terhadap Kadmi.
Setelah Kadmi bebas, status mantan tahanan politik membuatnya kesulitan mendapatkan pekerjaan. Bahkan untuk sekadar ke luar kota dan bepergian, Kadmi harus melapor.
"Adik saya sekolah di ikatan dinas, tapi baru bisa mengajar kalau dapat membuktikan tidak tersangkut dengan G30S. Panjang prosesnya, harus ke kodim dan beberapa tempat," ujarnya.
Kadmi mengatakan diskriminasi yang ia terima sedikit berkurang saat Gus Dur atau Abdurrahman Wahid menjabat presiden. Menurutnya, sejak era Gus Dur, anak-anak penyintas mulai bisa bekerja.
Walaupun demikian, pada beberapa kesempatan, ia dan rekan-rekannya masih memperoleh sejumlah perlakuan yang tidak adil. Pernah suatu saat pada 2018, ia dan rekan-rekan penyintas berkumpul untuk membuat pupuk kompos. Tidak diduga, acara itu dibubarkan oleh sekelompok orang. Bahkan beberapa orang di pihak penyintas dianiaya.
"Soeharto itu mewariskan kekerasan, yang lain membiarkan kekerasan. Kami tidak dendam. Kami balas dengan cinta kasih," tegasnya.
Diskriminasi juga masih dihadapi oleh Mukir Nadi selepas dibebaskan. Sebelum ditahan, dia merupakan mahasiswa tingkat akhir di Jurusan Pedagogi Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada.
Mukir dibebaskan pada 18 maret 1970 dan memperoleh surat keterangan: orang tersebut tidak ada bukti-bukti menurut hukum tersangkut langsung atau tidak langsung peristiwa G30S, maka perlu dibebaskan.
"Bebas tapi pulang juga diapelkan, masih disuruh wajib lapor. Lalu surat ini buat apa," kenang Mukir kepada reporter detikX.
Dalam setiap apel wajib lapor tersebut, Mukir dan para penyintas disumpah untuk mengutuk peristiwa G30S. Selain itu, penyintas dan keluarganya diminta mendukung serta memilih Partai Golkar dalam pemilu.
Suasana di makam massal tragedi 1965, Kampung Plumbon, Kelurahan Wonosari, Ngaliyan, Semarang, Rabu (24/8/2022).
Foto : Afzal Nur Iman/detikJateng
"Pada 1992, saya pernah usul sama Pak Camat, mbok sekarang, daripada kita sering repot-repot dikumpulkan, yang punya suara sudah semua nyoblos Golkar. Sekalian diberi TPS khusus keluarga tapol. Masak kita masih dicurigai terus," ujarnya.
Walaupun selalu menurut pada kebijakan pemerintah, anak-anak Mukir tetap didiskriminasi dan kesulitan mendapat pekerjaan. Padahal mereka merupakan jebolan perguruan tinggi. Selain itu, anak-anaknya dilarang menikah dengan aparatur sipil negara.
Sementara itu, Yosephina Endang Lestari selama 14 tahun ditahan di daerah Ambarawa dan Plantungan. Saat ditahan, Endang masih berusia 20 tahun dan berstatus sebagai mahasiswa IKIP Yogyakarta.
Saat akhirnya dilepaskan pada 1979, Endang merasa segala gerak-geriknya terus diawasi. Akhirnya ia memutuskan pindah dari Yogyakarta dan mencari pekerjaan di Jakarta.
"Cari surat pindah itu susah sekali, dari kelurahan sampai di Semarang sana. Di Jakarta saya juga harus lapor ke Kodim," kenang Endang kepada reporter detikX.
Endang menuturkan, setelah bebas, sebulan sekali para penyintas dikumpulkan di kantor kecamatan setempat dan diberi pengarahan. Kegiatan tersebut di Yogyakarta disebut sebagai wajib lapor Santiaji, yang digelar setiap tanggal 17. Mereka diwajibkan hadir, termasuk yang bekerja di luar kota. Jika tidak, mereka akan dijemput oleh pihak koramil. Rutinitas itu berakhir saat Gus Dur menjabat presiden.
"Dari pemerintah itu bansos itu tidak ada, blas, tidak ada bantuan. Tidak ada perhatian. Harusnya kami mendapat kompensasi karena 14 tahun ditahan tanpa diadili dan vonis. Nama baik kami dipulihkan. Dan sejarah jangan memakai versi Orde Baru lagi," tegasnya.
Koordinator Kiprah Perempuan (Kipper) Pipit mengatakan hingga saat ini di beberapa daerah di Yogyakarta masih banyak penyintas yang mengalami diskriminasi dari pemerintah desa. Para penyintas tidak pernah dilibatkan dalam program-program pemerintah, termasuk pemberian sembako hingga asuransi kesehatan (BPJS). BPJS justru didapat penyintas dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
"Mereka ini dikucilkan, tidak diperhatikan, terutama (oleh) pengurus desanya yang generasi tua. Kalau pengurus desanya anak muda, mereka relatif lebih diperhatikan," ujar Pipit kepada reporter detikX.
Pipit mengisahkan ada salah satu cucu penyintas yang diterima sebagai pegawai negeri sipil di daerah Gunungkidul. Namun, sehari sebelum pelantikan, ia mendapat surat pembatalan dan dinyatakan tidak diterima karena masih keluarga dari tahanan politik 1965.
Kipper merupakan komunitas yang menaungi keluarga penyintas 1965. Menurut Pipit, Kipper rutin menggelar pertemuan dua bulan sekali. Di sana para anggota menggelar arisan, koperasi simpan pinjam, dan bertukar dagangan.
"Kami saling nglarisi dagangan, karena mayoritas ini kan kerjanya tidak formal, ya usaha kecil-kecilan," tuturnya.
Selama pandemi COVID-19, Kipper tidak bisa melakukan rutinitas tersebut. Pertemuan baru digelar kembali pada Agustus 2022. Namun jumlah penyintas berkurang karena sebagian telah meninggal dan dalam kondisi sakit. Sebelum pandemi, satu kali pertemuan dapat dihadiri oleh 50-an penyintas. Saat pertemuan Agustus lalu, jumlahnya tidak sampai 20 orang.
"Kami intinya ingin membantu dan menyediakan ruang aman bagi para penyintas untuk berbagi cerita," terangnya.
Sejalan dengan itu, Koordinator Forum Pendidikan dan Perjuangan Hak Asasi Manusia, Andon, mengatakan keberadaan komunitas penting bagi pemulihan psikologi para penyintas. Sekaligus sebagai ruang aman untuk saling memberi dukungan sosial-ekonomi.
"Akibat diskriminasi, penyintas dan keluarganya ini hanya mampu mengakses pekerjaan-pekerjaan kasar dengan gaji yang relatif rendah. Selain itu, dampak psikologis dan traumanya besar sekali," ucapnya kepada reporter detikX.
Menurutnya, selama ini bantuan dan layanan yang diberikan LPSK dan Komnas HAM sudah cukup membantu para penyintas. Namun tetap harus dievaluasi karena keluarga penyintas yang juga terdampak, banyak yang tidak bisa mengakses bantuan tersebut, baik kesehatan maupun psikologis.
Andon mengatakan surat keterangan korban pelanggaran HAM seharusnya juga diberikan kepada anak dan keluarga dekat dari penyintas. Hal itu karena keluarga terdekat juga terdampak oleh berbagai kekerasan dan diskriminasi dari negara maupun masyarakat.
"Layanan dari LPSK itu juga masih kurang memadai karena istri penyintas yang menikah di atas 1979 tidak mendapat layanan kesehatan," ujarnya.
Di sisi lain, menurut Andon, di DIY saat ini terdapat lima paguyuban penyintas 65. Anggotanya berjumlah sekitar 400 orang. Jumlah itu merupakan penyintas yang telah mendapat surat keterangan sebagai korban pelanggaran HAM masa lalu dari Komnas HAM.
Ketua YPKP 1965 Bedjo Untung menyerahkan sejumlah temuan terkait tragedi 1965-1966 ke Komnas HAM, Kamis (3/10/2019).
Foto : Alfons/detikcom
Adapun baru-baru ini, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menandatangani Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 17 Tahun 2022 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia (PPHAM) yang Berat Masa Lalu. Termasuk di dalamnya adalah peristiwa 65 dan serangkaian kekerasan setelahnya.
Menko Polhukam Mahfud Md menjadi ketua tim pengarah dan Makarim Wibisono menjadi ketua tim pelaksana. Keppres Nomor 17 Tahun 2022 itu diteken Jokowi pada 26 Agustus 2022. Tim PPHAM ini berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada presiden.
Tim detikX sempat menghubungi salah satu anggota tim PPHAM sekaligus dosen Fakultas Hukum UGM, Zainal Arifin Mochtar atau kerap disapa Uceng.
Uceng menuturkan PPHAM bukan merupakan pengadilan tipikor maupun Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. PPHAM hanya akan membantu negara untuk mengakui bahwa memang terjadi pelanggaran HAM. Selain itu, akan membantu mengidentifikasi korban untuk mendapatkan hak-hak tertentu sesuai dengan yang ada di dalam Keppres PPHAM.
Dia menyampaikan, terkait peristiwa 1965, Komnas HAM telah menyatakannya sebagai pelanggaran HAM. Namun proses yudisial terkait itu masih mandek di kejaksaan.
"PPHAM ini, karena non-yudisial, jadi bukan menggantikan pengadilan HAM. Kalau ditanya kenapa tidak yudisial, tanya itu ke negara, ke Presiden, kenapa mengambil jalan ini," ucapnya kepada reporter detikX.
Reporter: Ahmad Thovan Sugandi, May Rahmadi, Jauh Hari Wawan Setiawan (detikJateng), Adji G Rinepta (detikJateng)
Penulis: Ahmad Thovan Sugandi
Editor: Dieqy Hasbi Widhana
Desainer: Luthfy Syahban