Ilustrasi : Repro foto Dikhy Sasra
Demi menyukseskan Perjanjian Paris, Presiden Joko Widodo (Jokowi) berkomitmen memperbaiki krisis iklim dengan mewajibkan anak buahnya menggunakan mobil listrik. Alih-alih memperbaiki kualitas iklim, produksi kendaraan listrik dianggap malah mengancam keberlangsungan hidup masyarakat yang tinggal di sekitar wilayah PLTU.
Jokowi mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 7 Tahun 2022 tentang Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai. Dia memerintahkan pegawai negeri pusat dan daerah menggunakan kendaraan listrik sebagai kendaraan operasional dinas maupun pribadi.
Itu artinya, sebanyak 189.803 unit kendaraan dinas pemerintah berenergi fosil yang tercatat dalam Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Kemenkeu mesti diganti menjadi kendaraan berbasis energi listrik.
Berdasarkan Sistem Informasi Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, sejak 2021 pemerintah telah mengalirkan dana, setidaknya sebesar Rp 300 miliar, untuk keperluan sewa dan pengadaan kendaraan listrik. Pemenang pengadaan kendaraan listrik ini adalah PT Sun Mega Motor, PT Cahaya Mutiara Perdana, PT ITS Tekno Sains, PT Arya Motor Indonesia, dan PT Bumi Jasa Utama.
Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo mengatakan, hingga kini belum ada pertemuan resmi di Kementerian yang membahas soal inpres yang diteken Jokowi pada 13 September 2022 itu.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) meresmikan Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) di Bali, Jumat (25/3/2022).
Foto : Fikri Yusuf/Antarafoto
Kebijakan itu malah membolehkan untuk membangun PLTU baru hingga 2050. Itu gimana? Terlihat kan pemerintah Indonesia tidak memiliki niat yang serius untuk menghadapi krisis iklim. Yang terjadi malah soal siapa dapat cuan apa.”
“Tugas kami di Kementerian Keuangan kan membuat kebijakan fiskalnya terkait dengan inpres kendaraan listrik ini. Cuma, sejauh ini masih sebatas obrolan normatif karena inpres ini masih didalami perencanaannya oleh teman-teman di Kementerian ESDM,” kata Prastowo kepada reporter detikX.
Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Dadan Kusdiana mengatakan, saat ini lembaganya sedang menyiapkan infrastruktur yang memadai untuk jalannya program penggunaan kendaraan listrik ini. “Kami sedang memastikan infrastruktur untuk penyediaan listrik dan mendorong konversi motor BBM ke listrik,” ujarnya kepada reporter detikX pekan lalu.
Executive Vice President Komunikasi Korporat PT PLN Gregorius Adi Trianto menuturkan, saat ini PLN telah membangun 150 unit stasiun pengisian kendaraan listrik umum (SPKLU). Lokasinya tersebar di 117 titik di seluruh Indonesia.
“Hingga September 2022, dari rencana pembangunan, SPKLU yang telah dibangun saat ini adalah 22 unit SPKLU di Jakarta dan 2 unit SPKLU di Surabaya,” kata Gregorius Adi kepada reporter detikX.
Demi mendukung kebijakan Jokowi itu, Direktur Electrum Pandu Patria Sjahrir mengatakan perusahaannya berambisi untuk nol emisi karbon. Electrum merupakan perusahaan patungan Gojek bersama dengan TBS Energi Utama, yang berfokus pada pembangunan ekosistem kendaraan listrik roda dua di Indonesia.
“2030 kami berambisi untuk menjadi net zero. Kami juga punya ambisi untuk menyelesaikan produksi batu bara kita sebelum 2030. Tidak menggunakan batu bara, kami berinvestasi sekarang lebih ke renewable (energi terbarukan). Kami ada beberapa wind project yang kami kerjakan, ada floating solar power plan,” katanya kepada reporter detikX.
Kebijakan penggunaan mobil listrik ini merupakan langkah nyata Jokowi setelah meratifikasi Perjanjian Paris (Paris Agreement) di Markas Besar PBB, New York, Amerika Serikat, pada 22 April 2016. Perjanjian Paris merupakan kesepakatan global untuk menunjukkan komitmen yang serius terhadap perubahan iklim yang semakin ekstrem.
Menandatangani perjanjian Paris berarti Indonesia siap mewujudkan penurunan emisi karbon sebesar 29 persen, dan 41 persen (jika ada bantuan dari luar negeri) hingga 2030. Karena itu, dalam dokumen perencanaan pembangunan nasional 2020-2014, Indonesia mempertegas komitmennya dengan menjadikan penanganan perubahan iklim sebagai salah satu agenda prioritas nasional.
Tak mudah bagi Indonesia mewujudkan komitmen ini. Penyebabnya, Indonesia merupakan negara urutan keenam penyumbang emisi paling besar di dunia, yakni 2,37 miliar ton CO2e pada awal tahun kepemimpinan Jokowi.
Indonesia perlu menunjukkan keseriusannya demi menurunkan emisi. Namun, menurut Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Melky Nahar, Jokowi tidak serius menunjukkan komitmennya.
Sebab, realitasnya, kata Melky, dalam waktu yang bersamaan, Jokowi juga menerbitkan Peraturan Presiden RI Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik.
Padahal, menurut BPS, produksi batu bara Indonesia naik signifikan pada 2021, yakni 606,22 juta ton. Jumlah itu meningkat 7,2 persen dibandingkan pada 2020 yang sebesar 565,69 juta ton.
“Kebijakan itu malah membolehkan untuk membangun PLTU baru hingga 2050. Itu gimana? Terlihat kan pemerintah Indonesia tidak memiliki niat yang serius untuk menghadapi krisis iklim. Yang terjadi malah soal siapa dapat cuan apa,” kata Melky kepada reporter detikX.
Melky menuturkan terobosan kebijakan ini merupakan solusi palsu atas buruknya kualitas iklim. Sebab, pemerintah tidak memperhitungkan daya kerusakan dari proyek mobil listrik ini yang memiliki risiko besar bagi masyarakat sekitar wilayah PLTU.
"Jauh lebih parah daya rusaknya. Kendaraan listrik ini seperti solusi palsu atas krisis iklim karena tidak jelas sasarannya apa," ujarnya.
Pertama, fase produksi massal kendaraan listrik ini, kata Melky, memiliki dampak kerusakan yang parah, seperti penghancuran wilayah hutan ekstraksi yang kemudian dijadikan wilayah PLTU. Hal itu berujung pada deforestasi hutan.
Kedua, PLTU yang beroperasi menggunakan batu bara dalam skala besar tentunya menyebabkan pencemaran air dan udara. Ini berdampak buruk terutama bagi warga yang bermukim di sekitar pabrik.
Data Jatam mengungkap, sejak 2020, di kawasan industri, terdapat 26 ribu buruh yang mengidap infeksi saluran pernapasan. Bagi Melky, pemerintah mengklaim emisi rendah karena hanya melihat produk kendaraan listrik yang sudah jadi.
Baca Juga : Pemain Bisnis Mobil Listrik di Lingkaran Jokowi
Pabrik baterai kendaraan listrik milik PT HKML Battery Indonesia di Karawang, Jawa Barat, diresmikan Presiden Joko Widodo (Jokowi), Rabu (15/9/2022).
Foto : Dok. Kemenko Perekonomian
“Mereka sama sekali tidak peduli pada proses yang terjadi sebelum mobil listrik itu jadi, yang ketika kita akumulasikan justru lebih besar risikonya daripada manfaatnya,” tuturnya.
Jika Jokowi memang serius ingin membenahi kualitas udara, Melky menyarankan, sebaiknya dimulai dari pembenahan transportasi publik. Sebab, kendaraan listrik itu mahal dan yang dominan mampu membelinya adalah kalangan elite di perkotaan.
“Kenapa nggak menyasar ke transportasi publik yang mesti dibenahi? Justru pemerintah menjadi propaganda dari kendaraan listrik. Yang untung siapa? Industri otomotif, industri elektronik, perusahaan batu bara, dan nikel,” tutupnya.
Sedangkan menurut Dirjen Ketenagalistrikan Dadan Kusdiana, langkah yang diambil Jokowi ini efektif bakal menurunkan emisi.
“Mobil listrik lebih efisien, sehingga memerlukan energi yang lebih sedikit. Pada akhirnya emisinya lebih sedikit. Emisi akan semakin berkurang apabila menggunakan listrik yang rendah karbon,” jelasnya kepada reporter detikX.
Reporter: Rani Rahayu, Fajar Yusuf Rasdianto
Penulis: Rani Rahayu
Editor: Dieqy Hasbi Widhana
Desainer: Luthfy Syahban