Ilustrasi : Edi Wahyono
Selasa, 31 Januari 2023Muhammad Dede Solehudin atau kerap dipanggil Dede sejatinya adalah pribadi yang pendiam. Dia tak terbuka terhadap keluarganya. Menurut kakak tertuanya, sejak tahun lalu Dede mulai bersikap aneh. Pria berusia 35 tahun itu makin jarang terlihat pulang ke rumah. Sesekali pulang, ia malah memilih tidur di teras rumah.
"Saya sempat tegur, tidur di dalam saja, dingin di luar. Tetep tidak mau. Kayaknya itu syarat dari gurunya si Wowon itu," kata Adin, kakak kandung Dede, kepada reporter detikX.
Secara administratif, Dede adalah warga kampung Sudimampir, Desa Kademangan, Kecamatan Mande, Kabupaten Cianjur. Anak ketiga dari enam bersaudara itu tinggal di sebuah rumah sederhana bersama ibu dan dua adiknya.
Sepengetahuan keluarga, Dede sehari-hari bekerja di bengkel pembuatan kursi milik tetangganya. Sesekali ia juga menerima pekerjaan sebagai operator mesin pembajak sawah.
Sebuah rumah yang menjadi tempat tinggal Dede, Wowon, Solihin, dan para korban-korbannya di Desa Kertajaya, Ciranjang, Cianjur.
Foto : Ahmad Thovan Sugandi/detikX
Dede sebelumnya menikah dengan perempuan bernama Yeni. Mereka dikaruniai satu anak perempuan yang masih duduk di bangku sekolah dasar. Namun, sejak 2022, Dede dan Yeni bercerai secara agama. Adapun Yeni saat ini masih di luar negeri sebagai pekerja migran dan anak mereka diasuh saudara Yeni yang ada di Bandung.
Saya tiap bulan sudah kirim, itu langsung diminta telepon Dede. Nah, biasanya Dede akan bilang duitnya akan dikirim langsung ke Aki alias Wowon."
Menurut keluarga, Dede hidup serba pas-pasan. Ia tidak pernah membelikan barang-barang maupun memperbaiki rumah yang ia tinggali bersama ibunya.
Dengan kondisi itu, keluarga mengaku kaget saat sejumlah polisi datang mengantarkan surat penangkapan Dede karena terlibat kasus pembunuhan. Selain itu, Dede menjadi bagian dari komplotan penipu yang membidik para perempuan pekerja migran.
"Saya nggak kenal komplotan dia yang namanya Wowon dan Solihin itu. Mungkin duit dia dulu dari mantan istri juga larinya ke Wowon itu," ujar kakaknya.
Dalam skema kejahatannya bersama Wowon dan Solihin, Dede bertugas sebagai orang yang menghubungi calon korban. Ia juga bertugas menghimpun sejumlah uang dari seluruh korban yang beberapa ada di luar negeri. Uang tersebut kemudian diserahkan kepada Wowon sebagai otak kejahatan.
Modus mereka sama, yaitu investasi kekayaan. Para korban diminta mentransfer sejumlah uang dan dijanjikan akan dapat berlipat ganda.
Aslem, salah satu korban, mengaku pertama kali kenal dengan investasi bodong tersebut dari Yeni saat keduanya bekerja di Dubai. Dari sana Aslem diarahkan untuk berkomunikasi dengan Aki Banyu alias Wowon melalui Dede.
Selama bertahun-tahun, Aslem mentransfer uang hasil jerih payahnya ke Dede. Dana lebih dari Rp 3 juta per bulan mengalir ke rekening Dede. Ia berharap transferan uang itu bakal membuat mereka kaya raya sepulang dari perantauan.
“(Ingin) punya mobil, punya rumah, punya sawah,” kata perempuan 43 tahun itu sembari terisak.
Aslem diminta mengirim secara total uang Rp 35-40 juta kepada Wowon melalui Dede. Dengan itu, ia dijanjikan akan mendapat uang hingga Rp 40 miliar.
"Pokoknya 6 tahun saya kerja. Saya ngirim ke orang tua cuma sisanya, selebihnya ke Dede. Kerugian saya mungkin lebih dari Rp 300 juta," ucapnya.
Selain itu, ada Hana, pekerja migran asal Bekasi yang juga menjadi korban penipuan komplotan tersebut. Ia mengenal investasi bodong tersebut dari Siti Fatimah, salah satu korban yang akhirnya meninggal.
Sekitar April hingga Mei 2018, Hana diminta oleh Wowon—memakai peran sebagai Aki Banyu—mengirim uang modal investasi sebesar Rp 38 juta. Saat itu ia keberatan karena hanya menerima gaji setiap bulan sekitar 1.300 riyal atau sekitar Rp 5 juta.
Akhirnya Hana diminta mencicil selama tujuh bulan. Tiap bulan ia mengirim setidaknya Rp 2 jutaan kepada Dede dalam bentuk mata uang riyal.
"Saya tiap bulan sudah kirim, itu langsung diminta telepon Dede. Nah, biasanya Dede akan bilang duitnya akan dikirim langsung ke Aki alias Wowon," ucapnya.
Baca Juga : Dua Topeng Lakon Wowon
Hana terus mengirim uang kepada Dede hingga total Rp 100-an juta. Ia akhirnya berhenti mengirim uang tersebut karena merasa curiga setelah kematian Siti Fatimah pada 2021.
Setelah itu, pada 2 Desember 2022, Hana mencoba menagih uangnya dengan datang langsung ke kediaman Dede. Saat itu ia bertemu langsung dengan Dede dan keluarganya.
"Saya langsung tanya dikemanakan uang saya. Dia cuma diam saja," ucapnya.
Saat ditanya lagi, Dede justru menjawab tidak tahu. Ia beralasan hanya ditugasi mengambil uang di ATM, lalu dikirimkan kembali ke Abu Dhabi, ke rekening istrinya.
"Di situ saya curiga, kok uang ditransfer ke sini kok malah ditransfer balik ke luar negeri," tegasnya.
Sepulang dari sana, pada 5 Desember, Dede mengirim pesan singkat kepada Hana. Ia meminta Hana datang ke Cianjur dan dijanjikan masalah uangnya akan terselesaikan. Hana mengaku bingung karena, jika sudah ada, seharusnya uang tersebut bisa langsung ditransfer ke rekeningnya tanpa perlu ke Cianjur. Sejak itu, nomor telepon Dede tidak aktif dan pesan melalui WhatsApp dari Hana hanya dibaca.
Karena kendala cuaca dan kesibukan, Hana akhirnya baru bisa ke Cianjur pada 8 Januari 2023. Saat itu ia tidak lagi menemukan Dede di rumahnya. Setelah itu, ia justru melihat berita komplotan tersebut telah ditangkap.
Belakangan diketahui, bersama komplotannya, Dede telah menipu sedikitnya 11 perempuan pekerja migran untuk mentransfer sejumlah uang ke rekeningnya. Kerugian para korban ditaksir mencapai Rp 1 miliar.
Dede ternyata bukan hanya sebagai perantara dan penerima uang dari para korban. Ia juga mengambil peran dalam pembunuhan yang dilakukan di sebuah rumah kontrakan di Desa Kertajaya, Ciranjang, Cianjur.
Dedi Sumantri mengaku rumahnya disewa oleh Solihin dan Wowon. Namun rumah itu ditempati oleh setidaknya delapan orang. Delapan orang itu adalah Dede, Wowon, Solihin, Parida (perempuan yang mengaku sebagai Rina), seorang balita, dan satu perempuan bersama anaknya yang masih kelas 4 SD.
Menurut Dedi, mereka menempati rumah tersebut tanpa membawa barang-barang yang memadai. Bahkan, untuk tidur, mereka hanya beralaskan tikar.
Selain Dede, menurut pria usia 39 tahun tersebut, penghuni lain terkesan tertutup dan menghindari interaksi dengan warga sekitar. Solihin bahkan selalu mengenakan topi dan masker saat keluar dari rumah.
Saat Dedi bertandang ke rumah itu, ia hanya disambut di depan teras oleh Dede. Sedangkan penghuni lain hanya menunggu di dalam. Minuman yang disuguhkan juga hanya diantar sebatas pintu depan.
"Saya seringnya ngobrol dengan si Dede itu, yang lain tertutup. Bahkan dia pernah ngajaksaya bisnis rangka kursi," ujar Dedi.
Surat penetapan status Dede sebagai tersangka kasus pembunuhan berencana.
Foto : Istimewa
Saat diminta melapor kepada ketua RT setempat, Dede menyerahkan selembar fotokopi kartu keluarga. Kartu tersebut sudah lusuh dan sulit terbaca. Di KK itu tertera tiga orang, yaitu Dede sebagai suami, Parida sebagai istri, dengan seorang anak. Adapun Solihin ia akui sebagai ayah Parida atau mertua Dede.
"Belakangan saya tahu itu KK palsu. Saya juga curiga kok rumah selalu gelap dan penghuni banyak," ujar Rahmad, ketua RT setempat.
Kecurigaan itu memuncak ketika terdapat warung sekitar yang menjadi korban pencurian.
Dilihat dari CCTV, pelaku pencurian mengenakan topi dan masker. Dengan itu, saat malam hari ketika ronda, ketua RT berniat menggerebek rumah tersebut. Saat disambangi, rumah dalam kondisi gelap dan hanya tampak Solihin berzikir di kamar yang gelap.
"Dia hadap ke pintu, bukan ke kiblat itu," ucap Rahmat.
Di sisi lain, keberadaan Dede di sana tidaklah lama. Sekitar Mei 2021, tiga orang, yaitu Rina, Parida beserta anaknya, dan Dede tiba-tiba menghilang dari kontrakan tersebut. Belakangan diketahui Parida telah dibunuh dengan cara dicekik dan dikubur di ruang tengah rumah tersebut.
Walaupun begitu, Solihin dan Wowon baru pergi dari rumah tersebut sekitar pertengahan Juli. Dua minggu menjelang mereka pergi, warga sekitar bersaksi bahwa hampir tiap malam selalu ada mobil hitam yang berhenti di depan rumah tersebut.
Selain itu, salah satu warga mendapat dua buah koper besar berwarna pink dari Solihin dam Wowon. Koper itu diberikan persis sebelum mereka berangkat meninggalkan rumah kontrakan itu.
"Kopernya satu wangi, satunya banyak garamnya, kayak air laut yang kering gitu," ucap salah satu tetangga kepada reporter detikX.
Reporter: Ahmad Thovan Sugandi, Fajar Yusuf Rasdianto
Penulis: Ahmad Thovan Sugandi
Editor: Dieqy Hasbi Widhana
Desainer: Luthfy Syahban