Ilustrasi : Edi Wahyono
Senin, 08 Agustus 2022Richard Eliezer Pudihang Lumiu alias Bharada E merasa terpojok. Kegelisahannya memuncak pada Sabtu, 6 Agustus 2022, sekitar pukul 10 malam di Rumah Tahanan Bareskrim, Mabes Polri, Jakarta Selatan.
Kala itu, rentetan pemeriksaan dijalaninya dengan status tersangka atas kasus pembunuhan Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir Yosua. Dua kuasa hukumnya, Deolipa Yumara dan Muhammad Boerhanuddin, hanya bisa mengajaknya berdoa dan memasrahkan diri kepada Tuhan.
Menurut Deolipa, kondisi Eliezer saat itu membuatnya tak bisa lagi memendam informasi mengenai apa yang sebenarnya terjadi pada Jumat, 8 Juli 2022, ketika rekannya, Yosua, meninggal dunia di rumah dinas bosnya, Inspektur Jenderal Ferdy Sambo. Eliezer lantas menuliskan segala kegelisahannya di dalam surat tertulis setelah berdoa bersama.
"Dia berada di bawah tekanan, kemudian dia membuat surat itu," kata Deolipa kepada reporter detikX, Minggu, 7 Agustus 2022.
Beredar kabar, dalam surat itu, Eliezer menulis bahwa dirinya sedang berada di lantai dua ketika peristiwa pembunuhan Yosua. Awalnya, dia mengetahui ada yang tidak biasa di lantai satu. Eliezer kemudian menuju tangga dan, dari tangga, dia melihat Yosua sudah terkapar bersimbah darah. Dia juga melihat bosnya, Ferdy Sambo, sedang berdiri sambil memegang pistol di dekat Yosua.
Deolipa tidak membantah kabar itu. Namun ia enggan menjelaskan lebih lanjut mengenai isi surat kliennya. "Ya, begitu," katanya. "Itu wilayah penyidikan. Sudah menjadi alat bukti."
Salah satu surat yang ditulis Bharada E alias Richard Eliezer Pudihang Lumiu ketika mendekam di ruang tahanan Bareskrim Mabes Polri, Minggu (7/8/2022).
Foto : Deolipa Yumara/Pengacara Bharada E
Yang jelas, menjelang tengah malam setelah menulis surat tersebut, Eliezer kembali menjalani pemeriksaan. Kepada penyidik, ia memberikan surat tersebut sekaligus mengganti seluruh kesaksian sebelumnya yang tertulis dalam berita acara pemeriksaan (BAP).
Penyidik memberikan sekitar 60 pertanyaan kepada Eliezer pada pemeriksaan itu. Kepada penyidik, Eliezer memang tetap mengaku dirinya menembak Yosua, tetapi ia bukan pelaku tunggal.
Deolipa mengatakan penembakan yang dilakukan kliennya terhadap Yosua adalah sebuah perintah. Namun ia enggan menjelaskan detail kronologi mengenai perintah penembakan itu.
"Dia diperintah oleh atasannya. Atasan langsung, atasan yang dia jaga. Ya, perintahnya, ya, untuk melakukan tindak pidana pembunuhan," kata Deolipa.
Kuasa hukum Eliezer lainnya, Muhammad Boerhanuddin, menyatakan kliennya memang memberikan kesaksian yang sama sekali berbeda dengan informasi-informasi yang sudah beredar sebelumnya. Selain menegaskan bahwa tidak ada peristiwa tembak-menembak, Eliezer juga menyebut nama-nama pelaku pembunuhan Yosua.
"Dia membeberkan bahwa inilah fakta hukum yang sebenarnya," kata Boerhanuddin. "Yang selama ini berseliweran, sebenarnya, tidak begitu."
Selama ini, menurut Boerhanuddin dan Deolipa, Eliezer berada di bawah tekanan. Itu sebabnya, Eliezer tidak memberikan kesaksian yang sebenarnya. Namun dua pengacara itu tidak menyebut nama yang menekan kliennya.
"Dia di bawah tekanan. Dia di-brainstorm harus begini, harus begitu. Tetapi, karena di bawah tekanan, akhirnya dia nge-blank. Ingin mengikuti, tetapi susah juga," kata Deolipa.
Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Dedi Prasetyo tidak membantah, tetapi juga tidak mengkonfirmasi mengenai pencabutan BAP dan kesaksian Richard melihat Sambo memegang pistol di dekat jasad Yosua. Dia meminta untuk menunggu informasi dari tim penyidik. "Tunggu dari tim khusus saja," kata Dedi.
Setelah mengubah kesaksian, Eliezer berencana menjadi justice collaborator atau pihak yang akan membantu pengungkapan kasus ini. Eliezer mengatakan ingin membuat peristiwa pembunuhan terhadap rekannya menjadi terang.
Eliezer juga berharap bisa meringankan hukuman yang mengancamnya. Sebelumnya, Eliezer ditetapkan sebagai tersangka pembunuhan Yosua dengan Pasal 338 juncto Pasal 55 dan 56 KUHP. Ancaman hukumannya maksimal kurungan penjara 15 tahun. "Dia ingin hukumannya diringankan seandainya dianggap bersalah," kata Deolipa.
Dalam kesaksian sebelumnya, Eliezer mengaku kepada para penegak hukum bahwa Yosua tewas seusai baku tembak dengannya. Kejadian bermula ketika Eliezer mendengar suara istri Ferdy Sambo berinisial PC berteriak meminta tolong karena dilecehkan oleh Yosua di lantai satu. Kemudian, dari lantai dua, Eliezer melihat ke bawah dan menegur Yosua. Dari situlah terjadi peristiwa tembak-menembak. Berdalih membela diri, Eliezer melontarkan tembakan karena Yosua menembaknya terlebih dahulu.
Kesaksian Eliezer itu diragukan pelbagai pihak, salah satunya Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Mereka mendapat permintaan perlindungan dari Eliezer beberapa hari setelah peristiwa pembunuhan Yosua. Sebelum memenuhi permintaan itu, mereka melakukan penilaian terhadap Eliezer sekaligus mengecek sejumlah fakta.
Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi mengatakan kronologi yang disampaikan Eliezer ke lembaganya sudah meragukan sejak awal. Salah satunya terkait dengan posisi tembak. Menurut LPSK, posisi menembak yang diklaim Eliezer tidak sesuai dengan luka tembak di tubuh Yosua.
"Arah dan jarak tembak (yang diklaim Eliezer) tidak sesuai dengan luka tembaknya," kata Edwin. "Keterangan Bharada E tidak dapat meyakinkan kami."
Sumber detikX di LPSK lainnya menambahkan, LPSK juga meragukan informasi tentang kepemilikan pistol Glock 17 dan keahlian menembak Eliezer. Menurut sumber ini, tidak mungkin pangkat bhayangkara dua bisa memiliki pistol jenis tersebut dan kemampuan menembaknya lebih baik daripada Yosua, yang berpangkat delapan tingkat lebih tinggi. Itu sebabnya, narasi tembak-menembak yang diklaim Eliezer menjadi tidak bisa dipercaya.
Irjen Ferdy Sambo usai memenuhi panggilan pemeriksaan di Bareskrim Polri, Kamis (4/8/2022).
Foto : Rifkianto Nugroho/detikcom
Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi menduga Eliezer memberikan kesaksian yang tidak sesuai dengan fakta karena adanya tekanan. Eliezer diduga mendapat jaminan dirinya akan lolos jerat hukum. "Kemungkinan ada janji-janji," kata Edwin.
Penangkapan Ferdy Sambo yang Menghalangi Proses Hukum
Puluhan personel Brimob mendatangi Mabes Polri pada Sabtu, 6 Agustus 2022. Dengan mengenakan seragam lengkap dan senjata laras panjang, mereka naik ke lantai atas, bagian Bareskrim Polri. Di sekitar Mabes Polri, tiga kendaraan taktis disiagakan.
Tak ada penjelasan dari Polri kala itu. Padahal, beberapa jam kemudian, Mabes Polri kedatangan lagi sejumlah personel Brimob lainnya.
Belakangan diketahui, peristiwa itu merupakan upaya membawa Irjen Ferdy Sambo ke Markas Korps Brimob Kelapa Dua. Saat para personel Brimob datang, Ferdy Sambo sedang menjalani pemeriksaan inspektorat khusus.
Kepala Divisi Humas Mabes Polri Irjen Dedi Prasetyo mengatakan, inspektorat khusus telah menetapkan Ferdy Sambo diduga melakukan pelanggaran saat olah TKP pembunuhan Yosua di rumahnya. Ketetapan tersebut didapat dari sejumlah bukti dan pemeriksaan sekitar 10 saksi.
"Irjen FS diduga melakukan pelanggaran terkait menyangkut masalah ketidakprofesionalan dalam olah TKP," kata Dedi Prasetyo, Sabtu, 6 Agustus 2022, malam.
Sebelumnya, inspektorat khusus juga sudah menetapkan 25 orang, dengan tiga di antaranya berpangkat perwira tinggi, diduga melakukan pelanggaran prosedur dalam penanganan perkara pembunuhan Yosua. Pelanggaran tersebut mengakibatkan proses penyidikan menjadi terhambat. Salah satunya berkaitan dengan pengambilan CCTV di sekitar TKP.
Ferdy Sambo saat ini berada di Mako Brimob. Dedi mengklaim Ferdy Sambo ditahan bukan berkaitan dengan kasus pidana yang saat ini sedang berproses, melainkan karena kasus etik. Kasus etik itu pun saat ini belum selesai.
Istri Ferdy Sambo yang berinisial P mendatangi Mako Brimob, Depok untuk menjenguk suaminya, Minggu (7/8/2022).
Foto : Dwi/detikcom
“Yang bersangkutan langsung ditempatkan di tempat khusus, yaitu di Korps Brimob Polri. Ini masih berproses," katanya.
Kabar Ferdy Sambo dibawa ke Mako Brimob juga langsung mendapat respons dari Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md. Mahfud mengisyaratkan bahwa pemeriksaan etik Ferdy Sambo bisa dibarengi dengan proses pelanggaran pidana.
"Artinya, kalau dijatuhi sanksi etik, bukan berarti dugaan pidananya dikesampingkan. Pelanggaran etik diproses, pelanggaran pidana pun diproses," kata Mahfud.
Menurut Ketua Indonesia Police Watch Sugeng Teguh Santoso, Ferdy Sambo memang diduga kuat terlibat dalam pelanggaran prosedur yang dilakukan 25 anggota Polri. Apalagi tiga di antaranya adalah jenderal bintang satu yang jabatannya berada di bawah Ferdy Sambo.
Jika Ferdy Sambo berperan aktif, kata Sugeng, berarti memerintahkan bawahannya untuk merusak TKP dan menghilangkan barang bukti. “Tapi, kalau perannya pasif, sementara bawahannya inisiatif merusak TKP dan dia mengetahui lalu membiarkan perbuatan bawahannya, itu juga merupakan kesalahan,” kata Teguh.
Hal tersebut, Teguh melanjutkan, berarti ada unsur pidana menghalang-halangi proses hukum atau obstruction of justice, yaitu menghilangkan barang bukti atau alat bukti. Aturan pidana itu tertuang dalam Pasal 221 dan 233 KUHP.
Baca Juga : Tembakan Penghabisan untuk Brigadir J
Sementara itu, mengenai keterlibatan Ferdy Sambo dalam kasus pembunuhan Yosua, ini akan sangat bergantung pada keterangan saksi-saksi kejadian. Para saksi itu adalah Eliezer, Brigadir Kepala Ricky, dan seorang bernama Kuwat.
Ricky sudah menjadi tersangka saat ini. Berbeda dengan Eliezer, yang disangkakan Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan, Ricky disangkakan Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana. Temuan detikX dalam investigasi sebelumnya, Ricky mengklaim bersembunyi di balik kulkas dan melihat langsung bagaimana Yosua ditembak mati.
“Ini perlu dicari apa peran dia (Ferdy Sambo), apakah menyediakan senjata atau ada keterangan dari Bharada E bahwa Sambo terlibat?” katanya. “Jadi Sambo bisa dikenai dua perbuatan pidana, yaitu menghalangi penyidikan dan tindak pidana pembunuhan.”
Reporter: May Rahmadi, Rani Rahayu, Ahmad Thovan Sugandi, Fajar Yusuf Rasdianto
Penulis: May Rahmadi
Editor: Dieqy Hasbi Widhana
Desainer: Luthfy Syahban