Ilustrasi : Edi Wahyono
Pakar sosiologi hukum dan sosiologi agama dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Noryamin Aini, menemukan disparitas mencolok data perkawinan di Indonesia. Dia membandingkan data yang tercatat di dukcapil dengan data di sensus penduduk. Hasilnya, ada kejanggalan yang diduga pola mengakali hukum dan agama bagi perkawinan beda agama.
Temuan Noryamin, pada 2000, tercatat ada 173 ribu pasangan beda agama dari total 49 juta pasangan yang diteliti. Disparitas angka itu semakin jomplang pada 2010, yang mencatatkan sekitar 228 ribu pasangan berbeda agama dari total 47 juta pasangan yang diteliti.
“Saya yakin mereka itu 95 persen atau 99 persen saat menikah agamanya sama. Tetapi, karena itu hanya akal-akalan biar bisa menikah, akhirnya mereka kembali ke agama semula,” kata Noryamin saat dihubungi reporter detikX pekan lalu.
Penelitiannya itu, sebut Noryamin, ingin menegaskan bahwa selama ini aturan negara yang melarang perkawinan beda agama justru hanya melahirkan perilaku hipokrit dalam beragama. Dalam bahasa Noryamin, negara dan institusi agama seolah melenggangkan perilaku yang demikian ini hanya untuk menegakkan hukum negara dan agama yang sebetulnya tidak sesuai dengan hak asasi manusia.
Pengadilan Negeri Surabaya yang mengabulkan permohonan pernikahan beda agama antara RA dan EDS, dipotret pada, Kamis (20/2/2022).
Foto : Amir Baihaqi/detikcom
Jadi, kalau sama orang, dia ngakunya Katolik, tapi kalau sama saya ngakunya Islam tapi sudah lupa cara salat.”
Noryamin mengibaratkan, jika cinta adalah air deras yang mengalir, hukum dan agama adalah bendungan yang menghalangi alirannya. Semakin besar cintanya, semakin kuat daya dobraknya.
Volume cinta, lanjut Noryamin, dapat melampaui bendungan itu mendobrak atawa merembes melalui sela-sela kecilnya. Orang-orang dengan cinta yang besar ini bakal melakukan segala cara demi bisa menikahi orang yang dicintainya.
“Jadi mereka pindah agama karena nggak punya pilihan,” tuturnya.
Dampak negatif aturan yang tidak mengakomodasi HAM dalam konteks perkawinan beda agama ini terjadi juga pada Kristianta Heri Saptono, 52 tahun, dan istrinya Yatmini, 42 tahun.
Satu dekade lalu, keduanya melangsungkan pernikahan secara Islam. Kristianta yang beragama Katolik mengaku terpaksa mengucapkan dua kalimat syahadat—syarat masuk Islam—di depan pemuka agama Islam demi menikahi perempuan yang dicintainya itu.
Sejak awal Kristianta dan Yatmini memang sepakat untuk tetap memegang teguh keyakinan agama masing-masing setelah melangsungkan pernikahan. Keduanya pun bersiasat untuk mengakali aturan perkawinan dengan melangsungkan pernikahan dua kali. Pertama dengan akad secara Islam, setahun kemudian pembaruan pernikahan secara Katolik.
“Jadi selama setahun saya nggak ikut komuni, hanya ikut misa. Setelah pembaruan, baru mengaku dosa. Hukumannya salam Maria, doa Bapa kami berapa kali,” ungkap Kristianta kepada reporter detikX pekan lalu.
Pengalaman serupa dialami oleh pasangan Wisnu, 60 tahun, dan Atik Yus, 48 tahun. Keduanya melangsungkan pernikahan secara Islam pada 1998. Wisnu yang beragama Katolik terpaksa pindah agama karena aturan negara dan tuntutan mertuanya, yang menginginkan anaknya menikah secara Islam.
Mulanya Wisnu masih berupaya mengikuti tuntunan agama Islam. Namun, setelah istrinya melahirkan anak kedua pada 2002, Wisnu merasa tidak bisa lagi membohongi hati nuraninya bahwa dia adalah seorang Katolik karena memeluk agama itu sejak lahir.
“Jadi, kalau sama orang, dia ngakunya Katolik, tapi kalau sama saya ngakunya Islam tapi sudah lupa cara salat,” jelas Atik Yus kepada reporter detikX pekan lalu.
Direktur Program Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) Ahmad Nurcholish memandang aturan diskriminatif negara untuk pasangan beda agamalah yang akhirnya memaksa orang-orang ini untuk seolah bermain-main dengan agama.
Bahkan, dalam beberapa kasus, kata Achmad, UU Perkawinan yang tidak mengakomodasi perkawinan beda agama secara tegas juga seolah memaksa orang melakukan penyelundupan hukum.
Banyak juga orang yang terpaksa melakukan perkawinan di luar negeri. Mereka melakukan ini sebagai alternatif untuk mengakali hukum di Indonesia yang tidak melegalkan perkawinan beda agama. Mereka meminta pengesahan perkawinannya di luar negeri dan kembali ke Indonesia untuk meminta pencatatan pernikahannya ke dukcapil.
“Tapi seharusnya kita malu sebagai bangsa dan negara. Masa soal pernikahan saja harus difasilitasi negara lain,” tegas Ahmad saat berbincang dengan reporter detikX pekan lalu.
Di samping itu, penafsiran abu-abu Mahkamah Agung (MA) soal pernikahan beda agama juga melahirkan utak-atik tafsir pada sebagian kalangan. MA pada 2019 melalui surat panitera kepada Dirjen Dukcapil menyebut bahwa pernikahan hanya sah apabila ‘seseorang menundukkan diri pada ketentuan salah satu agama’.
Sebagian orang, kata Ahmad, menafsirkan bahwa pernikahan beda agama boleh dilakukan jika dilakukan dengan dua tradisi agama. Banyak kasus pasangan beda agama yang difasilitasi ICRP melangsungkan pernikahan dengan cara ini. Total, sejak 2005-2022 ini, sudah ada 1.468 pasangan yang menikah beda agama dengan cara tersebut.
Itu juga yang terjadi pada pasangan RA dan EDS, yang belakangan ramai diperbincangkan karena permohonannya untuk menikah dimenangkan oleh Pengadilan Negeri Surabaya. Keduanya menikah secara Islam dan Katolik pada Maret 2022. Namun dukcapil menolak mencatat pernikahan keduanya karena berbeda agama.
Penolakan itu dibawa ke PN Surabaya untuk meminta penetapan pengadilan. Dalam UU Adminduk memang ada peraturan yang menyebutkan pernikahan harus dicatatkan oleh dukcapil jika sudah mendapat penetapan dari pengadilan.
Penelusuran detikX melalui laman resmi MA menemukan fakta pernikahan beda agama melalui penetapan pengadilan ini memang banyak terjadi di Indonesia. Sepanjang 2021 saja, ada tujuh permohonan nikah beda agama yang semuanya disetujui. Demikian juga pada 2022, dengan tiga permohonan yang juga semuanya disetujui.
Namun ahli tata negara dari Sekolah Hukum Jentera Bivitri Susanti memandang banyaknya kasus pernikahan yang ditetapkan pengadilan ini justru menunjukkan adanya ketidakpastian hukum bagi pasangan beda agama. Ini mempertontonkan adanya bias keputusan hakim terkait tafsir hukum pernikahan beda agama yang sudah ditetapkan negara ataupun melalui fatwa MA.
Baca Juga : Jalan Tengah Larangan Kawin Beda Agama
Ahli hukum tata negara perempuan dan salah satu pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Bivitri Susanti saat menjadi ahli untuk menjadi saksi dalam sidang lanjutan Uji Formil UU KPK, Rabu (19/2/2020).
Foto : Ari Saputra/detikcom
Bivitri menuturkan RA dan EDS cukup beruntung karena mungkin saja hakim tunggal yang menyidangkan permohonannya menganut tafsir yang memperbolehkan nikah beda agama. Tapi belum tentu dengan hakim-hakim lainnya.
“Mungkin di daerah lain, kalau hakimnya percaya pada tafsir yang strict banget, bisa saja nggak boleh dan nggak dikabulkan,” jelas Bivitri kepada reporter detikX pekan lalu.
Alasan ini pulalah yang akhirnya dibawa aktivis HAM asal Papua, Elias Ramos Petege, ke Mahkamah Agung pada Februari 2022. Ramos mengajukan peninjauan kembali UU Perkawinan, yang melarang pernikahan beda agama. Ramos mengajukan tuntutan itu lantaran dia juga merupakan korban gagal menikah dengan mantan pacarnya yang beragama Islam karena terhalang oleh aturan negara.
Ramos bilang bisa saja dia melakukan pernikahan di luar negeri seperti pasangan beda agama lainnya. Namun langkah itu tidak diambil lantaran, sebagai aktivis HAM, ia tidak ingin mengangkangi hukum hanya untuk kepentingan pribadinya.
“Kami taat hukum, sehingga sesuatu yang tidak dijamin konstitusi dan aturan turunan undang-undang ya kami upayakan,” tukas Ramos kepada reporter detikX pekan lalu.
Reporter: Rani Rahayu, Fajar Yusuf Rasdianto, May Rahmadi
Penulis: Fajar Yusuf Rasdianto
Editor: Dieqy Hasbi Widhana
Desainer: Luthfy Syahban