INVESTIGASI

Harga Diri Rp 6.000 dan Disiksa Seperti Monyet

Beberapa orang dikurung dan disiksa di kerangkeng manusia milik Bupati Langkat nonaktif Terbit Rencana Perangin Angin. Mereka diperlakukan seperti monyet dan merasa harga dirinya hanya senilai Rp 6.000.

Ilustrasi : Edi Wahyono

Senin, 7 Februari 2022

Dalam kondisi telanjang di sebuah ruangan berukuran 6x6 meter yang disesaki lebih dari 20 orang, ujung kemaluan Bolang—nama samaran—dibakar. Matanya disemprot biji cabai. Mukanya dihantam beberapa pukulan dan dadanya ditendang. Dia lalu dipaksa tidur di atas daun-daun jelatang, tanaman liar yang mengakibatkan gatal dan rasa terbakar jika terkena kulit.

Bolang masih ingat jelas rasa perih bercampur ngilu pada malam penderitaan dua tahun lalu itu. “Masih ada bekas luka itu,” kata Bolang kepada tim detikX pekan lalu. “Dibakarnya kemaluan saya dan badan saya pun disepak.”

Ruang penyiksaan itu kurungan ilegal yang didirikan Bupati Langkat nonaktif Terbit Rencana Perangin Angin. Tak ada interogasi, tak ada pembuktian kesalahan, tak ada proses hukum di sana. Kurungan manusia itu berada di area lahan sawit milik Terbit. Orang-orang sekitar menyebut ruangan itu kereng. Dalam bahasa Langkat, kereng berarti kerangkeng.

Seorang petugas menyiksa Bolang tanpa ragu-ragu pada malam itu. Dia adalah anak buah kepala kerangkeng berinisial TS. Bolang baru saja ditangkap secara paksa olehnya dan langsung dibawa ke ruangan kerangkeng itu, ruangan yang oleh Terbit diklaim sebagai ‘tempat pembinaan’.

Ini adalah kedua kalinya Bolang masuk ruang penyiksaan itu. Sebelumnya, pada 2020, Bolang menghabiskan waktu sekitar sembilan bulan di sana. Sampai akhirnya ia berhasil melarikan diri ketika petugas jaga dipimpin oleh TS.

Bagian punggung Bolang—bukan nama sebenarnya, korban penyiksaan di kerangkeng manusia. Di punggungnya tampak beberapa bekas luka akibat dilibas memakai selang dan ditidurkan di tumpukan daun jelatang.
Foto : Dok. detikcom

Meski berhasil kabur, Bolang ternyata tidak lepas dari pemantauan para petugas kerangkeng milik Terbit. Anak buah TS kemudian berhasil menangkapnya lagi. “Kebetulan anggota yang jaga di situ adalah sif saat saya melarikan diri waktu itu,” katanya.

Kami setiap hari menggantung tangan di situ (di terali) dan dipukuli tangannya.”

Sampai saat ini, bekas luka siksaan tersebut masih ada. Bolang sudah khatam dengan segala kekerasan di sana. Dua kali berada di ruangan sesak dan kotor itu bahkan membuat dia hafal dengan segala istilah yang dipakai para petugas.

Tiga istilah yang kerap digunakan berkaitan dengan penyiksaan di kerangkeng itu—mos, gas, dan dua setengah kancing—pun bukan kata-kata asing di telinganya. Bolang menjelaskan mos berarti masa orientasi di kerangkeng dengan cara-cara kasar, baik verbal maupun nonverbal. Gas adalah aba-aba untuk menghajar. Sedangkan dua setengah kancing adalah kode sasaran pukul di bagian dada.

Bolang menceritakan penyebab dirinya pertama kali berada di sana. Awalnya, ia punya masalah dengan keluarga. Bolang seorang dewasa yang memakai narkoba. Keluarganya tak suka dan merasa tak sanggup mengatasi Bolang. Akhirnya keluarga Bolang meminta anak buah Terbit menangkapnya.

Bolang pun dijemput paksa. Dia diborgol, dibawa ke mobil, dan diantarkan ke dalam kerangkeng. Sementara itu, petugas memberikan surat perjanjian kepada keluarga Bolang. Isi suratnya menyatakan bahwa bersedia menyerahkan dan merelakan Bolang atas seluruh kemungkinan yang terjadi.

Pihak keluarga, tanpa persetujuan Bolang, menandatangani surat itu di atas meterai. “Harga diri kami cuma dihargai Rp 6.000,” kata Bolang.

Saat Bolang pertama kali tiba di kerangkeng milik Terbit, seorang petugas jaga menyambutnya dengan bentakan. “Kau kenapa sampai di sini?” kata petugas itu, kenang Bolang.

“Ingin dibina,” jawab Bolang dengan rasa takut.

“Dibina apa dibinasakan?” lanjut petugas itu dan diiringi instruksi, “Buka bajumu!”

Bolang menuruti perintahnya dan tak lama kemudian dia mendapat siksaan pertama.

Psat! Psat! Buk!” selang kompresor dilibas ke tubuhnya diiringi sepakan si petugas. Bolang hanya bisa menjerit, tak berdaya.

Disiksa Seperti Monyet

Kekerasan di kerangkeng manusia milik Terbit terjadi setiap hari. Ini rata menimpa seluruh penghuni kurungan liar itu. Eks penghuni lain yang juga melarikan diri, Impal—bukan nama sebenarnya—mengisahkan, setiap pagi sebelum dipekerjakan di perkebunan ataupun pabrik sawit milik Terbit, seluruh penghuni dipaksa berdiri sambil memegang terali besi. Lalu petugas memukul tangan para penghuni dengan selang kompresor.

“Kami setiap hari menggantung tangan di situ (di terali) dan dipukuli tangannya,” kata Impal. “Disuruh pegang besi itu seperti monyet.”

Bukan cuma oleh petugas kerangkeng, Impal melanjutkan, pemukulan itu juga dilakukan oleh para pemuda setempat. Setelah dipukuli, para penghuni kemudian dibawa ke perkebunan ataupun pabrik untuk bekerja dari pagi hingga sore hari, tanpa kontrak kerja, bahkan upah.

Bagi mereka yang baru menghuni kerangkeng, petugas tidak langsung mempekerjakan mereka. Mereka baru mulai dipekerjakan setelah beberapa bulan mendekam di kerangkeng manusia dan bisa dipercaya.

Selama mereka di kurungan ilegal itu, petugas membuat beberapa aturan. Mereka di antaranya tidak boleh merokok dan tidak boleh menyimpan ponsel. Para penghuni juga dilarang bertemu dengan keluarga selama tiga bulan.

“Supaya keluarga tidak tahu ada (luka) bekas disiksa,” kata Impal.

Pembunuhan di Kerangkeng Manusia

Rumah Bupati Langkat nonaktif Terbit Rencana Perangin Angin berdiri di atas lahan lebih dari 15 ribu meter persegi atau 1,5 hektare. Dua ruangan kerangkeng terletak di sekitar rumah Terbit, dengan dikelilingi perkebunan kelapa sawit. Tak ada rumah warga di sekitarnya.

Informasi mengenai kerangkeng manusia di rumah Terbit muncul mengiringi berita penangkapannya oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Tim KPK menemukan kerangkeng tersebut secara tidak sengaja ketika hendak menangkap Terbit. Saat ini KPK menahan eks Ketua DPRD Langkat itu atas kasus dugaan suap pengadaan barang dan jasa di Pemerintah Kabupaten Langkat tahun anggaran 2020-2021.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) serta Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menindaklanjuti kabar tentang kerangkeng manusia itu. Dua lembaga itu menemukan indikasi adanya penyiksaan hingga menghilangkan nyawa orang di sana, selama 10 tahun kerangkeng itu berdiri.

Penampakan kerangkeng manusia yang didirikan Terbit Rencana Perangin Angin.
Foto : Dok. detikcom

Beberapa korban dan saksi diperiksa. Dari pemeriksaan dan temuan data-data di lapangan, Komnas HAM dan LPSK menduga telah terjadi sejumlah tindak pidana serius di sana, di antaranya, penghilangan nyawa orang, penyiksaan, penghilangan kemerdekaan orang, pelanggaran ketenagakerjaan, dan bahkan perdagangan orang.

Temuan senada disampaikan Kabareskrim Mabes Polri Komjen Agus Andrianto. Dia berjanji akan mengusut tuntas beberapa kasus kematian korban dalam kerangkeng besi yang sudah ditemukan.

"Tadi laporan ada tiga kalau nggak salah. Ada tiga kasus. Ada yang kejadian tahun 2015, ada kejadian yang tahun 2021. Namun, pada prinsipnya, kami arahkan kepada penyidik untuk mengusut tuntas semua kejadian itu," ujar Agus saat ditemui reporter detikX pekan lalu.

Agus juga menegaskan para korban dalam kerangkeng manusia ini dirampas hak asasinya. Mereka dikirimkan oleh keluarganya ke kurungan ilegal tersebut secara sepihak. Padahal korban tak menyetujuinya.

"Nggak boleh orang memiliki hak pribadi, dia cakap membuat perjanjian, diwakili oleh orang lain, sehingga dia kehilangan hak asasinya, sehingga menjadi korban," tegas Agus.

Tim detikX menyambangi kerangkeng milik Terbit pekan lalu. Kini tak ada lagi kehidupan di sana dan tampak gelap. Garis polisi terpasang mengitari dua ruang kerangkeng itu.

Salah satu pengawas kerangkeng, Suparman, membantah tudingan penyiksaan dan perbudakan. Suparman mengklaim, awalnya, Terbit selaku pimpinan ormas Pemuda Pancasila (PP) Langkat prihatin terhadap para anggotanya yang aktif mengkonsumsi narkoba. Karena itu, ia membangun kerangkeng di dekat rumahnya sebagai tempat pembinaan.

Seiring dengan berjalannya waktu, Suparman melanjutkan klaimnya, warga kemudian meminta tolong agar anak-anak mereka yang bukan anggota ormas PP tetapi bermasalah juga mendapat pembinaan di sana. Atas dalih tempat itu sebagai ruang pembinaan, bukan tempat rehabilitasi, Terbit merasa tidak memerlukan izin.

“Kami tahu bahwa tempat rehabilitasi itu kan memerlukan izin,” kata Suparman. “Makanya, ini selalu kami bilang tempat pembinaan sosial dari ketergantungan narkoba.”

Kerangkeng manusia itu, menurut Suparman, dibutuhkan agar orang-orang yang dibina di sana tidak melarikan diri. Sebab, area lahan milik Terbit itu sangat luas dan tidak dibatasi tembok. Sementara itu, para orang tua penghuni sudah menitipkan anak-anaknya kepada mereka secara sepihak.

“Jadi kalau kami nggak buat itu tempat, ya, takutnya lari. Nanti yang dimintai pertanggungjawaban dari keluarga, kan, kita,” lanjutnya.

Suparman mengaku tidak memiliki prosedur standar dalam sistem pembinaannya. Seluruh orang yang dititipkan di sana dibina secara kekeluargaan. “Ya, selayaknya kita mendidik anak kita,” katanya.

Bupati Langkat Terbit Rencana Perangin Angin di Gedung KPK.
Foto : Azhar Bagas Ramadhan/detikcom

Karena alasan pembinaan itulah, Terbit merasa tidak perlu membayar para penghuni yang dipekerjakan di kebun dan pabrik kelapa sawit miliknya. Sebab, Suparman mengatakan, pembinaan di sana pun tidak dipungut biaya.

Suparman juga membantah adanya penyiksaan di kerangkeng milik Terbit mengacu pada foto yang tersebar di media sosial, sebuah foto korban hidup dengan memar di bagian mukanya. Dia mengklaim memar di wajah laki-laki itu disebabkan kekerasan yang terjadi sebelum masuk ke kerangkeng manusia.

“Mereka itu mengantarkan anaknya kemari posisinya sudah seperti itu (memar). Jadi itu foto di hari dia baru dua hari di dalam (kerangkeng),” dalihnya.

Selama 10 tahun kerangkeng milik Terbit itu beroperasi, sebenarnya bukan tanpa pengawasan. Pada 2017, Badan Narkotika Kabupaten Langkat sempat mendapatkan informasi itu saat tengah melakukan pendataan mengenai tempat rehabilitasi.

Menurut Kepala Badan Narkotika Kabupaten Langkat Rosmiyati, waktu itu adik Terbit, Sri Bana Perangin Angin, membenarkan ada tempat pembinaan orang ketergantungan narkotika di rumah Terbit. Sri Bana mengaku dirinya berperan sebagai pengelola.

Kepada Rosmiyati, Sri Bana menyebut tempat tersebut bukan untuk umum. “Waktu itu dia bilangnya itu tempat pembinaan keluarga,” kata Rosmiyati kepada detikX pekan lalu.

Tim detikX berupaya mengkonfirmasi Sri Bana melalui panggilan telepon dan pesan singkat sejak pekan lalu. Namun hingga hari ini dia tidak memberikan respons. Sri Bana saat ini menjabat Ketua DPRD Langkat, jabatan yang diduduki kakaknya sebelum menjabat Bupati Langkat. Sri Bana memiliki suami seorang perwira Polri.

Di sisi lain, Kepala BNNP Sumut Brigjen Toga Habinsaran Panjaitan menegaskan, pada tahun 2017, pihaknya telah melakukan imbauan untuk pengurusan izin. Namun hingga kini Terbit belum melaksanakannya."Kami gak punya kewenangan untuk mengecek lagi setelah tahun 2017 karena itu kan kewenangan pemda," kata Toga kepada reporter detikX, pekan lalu.


Reporter: Tim detikX
Penulis: May Rahmadi
Editor: Dieqy Hasbi Widhana
Desainer: Luthfy Syahban

***Komentar***
[Widget:Baca Juga]
SHARE