INVESTIGASI

Matinya Perlawanan di KPK

Sebanyak 76 pegawai yang terkena rotasi secara sepihak seolah “mati kutu”. Dengan status sebagai ASN dan tanpa Wadah Pegawai KPK, mereka mustahil melakukan perlawanan.


Salasa, 25 Januari 2022

Wregas—bukan nama sebenarnya—kini pegawai KPK yang statusnya aparatur sipil negara (ASN). Dia tak menyangka kabar burung rotasi pegawai KPK menjadi nyata. Dia salah satu orang yang dirotasi dari unit kerja yang telah ia jalani selama 10 tahun. Wregas kecewa berat lantaran, sebelumnya, tak pernah diadakan sosialisasi terkait dengan kebijakan itu.

“Seakan-akan nama-nama kami ini hanya nama di dalam tabel Excel doang, yang bisa dipindah gitu saja tanpa ada dasarnya. Dengan latar belakang yang saya punya, banyak yang mempertanyakan mengapa saya dipindahkan ke unit yang di luar kemampuan saya,” ujarnya kepada reporter detikX.

Wregas merupakan salah satu dari 76 pegawai yang terkena rotasi. Pada Senin, 10 Januari 2022, ia mendapatkan ‘petikan’ Surat Keputusan Sekjen KPK 30/2022. Isinya tak memuat dasar hukum pelaksanaan kebijakan rotasi pegawai. Surat itu ditandatangani Sekjen KPK Cahya Harefa.





Setelah menerima SK rotasi itu, Wregas melaporkan kepada atasannya. Dia dan sebagian besar dari 76 pegawai lainnya merasa demotivasi. Penyebabnya, ada kekhawatiran posisi di unit baru tak sesuai dengan keahlian masing-masing.

Rotasi mendadak seperti ini menandakan tidak adanya perencanaan kepegawaian yang matang dalam organisasi KPK. Penempatannya yang bukan pada tempat yang sesuai dengan keahlian masing-masing pegawai akhirnya menjadi wrong man in wrong place.”

“Saat ini yang kami punya di KPK kan kebanggaan dan passion. Ketika itu diambil melalui rotasi, kebanggaan dan passion kami juga diambil,” katanya.

Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengatakan rotasi pegawai ini berlandaskan aturan Perkom Nomor 7 Tahun 2020 tentang Organisasi dan Tata Kerja KPK. Terdapat kebutuhan pegawai di kedeputian baru, yakni Bidang Pendidikan dan Peran Masyarakat serta Bidang Koordinasi dan Supervisi.

“Jadi unit-unit ini perlu diisi karena masih banyak unit pegawai yang kami pekerjakan sementara. Kita mendorong pegawai yang sudah senior untuk pindah karena prinsipnya rotasi ini untuk pemerataan beban tugas di setiap unit kerja berdasarkan analisis beban kerja yang telah dihitung Sekjen,” jelas Alex kepada reporter detikX akhir pekan lalu.

Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada Zaenur Rohman mengklaim Perkom Nomor 7 Tahun 2020, yang melandasi rotasi pegawai ini, telah melawan hukum. Sebab, tidak sesuai dengan amanat UU Nomor 19 Tahun 2019.

“Dalam UU KPK Nomor 30 Tahun 2002, Pasal 26 mengatur terkait struktur di lembaga antirasuah itu. Dalam UU KPK baru, yakni UU Nomor 19 Tahun 2019, tidak direvisi UU yang lama, sehingga struktur organisasi yang lama masih berlaku,” kata Zaenur.

Rotasi Pegawai KPK Harusnya Tak Instan

Alexander Marwata mengatakan, dalam budaya kerja ASN, pemberitahuan soal rotasi kepada pegawai KPK bukanlah merupakan sesuatu yang penting. Dia berdalih, kebutuhan rotasi pegawai berangkat dari keluhan kedeputian di unit kerja yang baru. Selain itu, perlunya penyegaran pegawai yang telah berkarier selama 10 tahun agar menghindari demotivasi.

“Saat rapat pimpinan, deputi di unit baru mengeluhkan kekurangan SDM. Padahal anggaran 2022 kan naik. Jadi rotasi kita sesuaikan dengan anggaran di masing-masing kedeputian,” kata mantan hakim ad hoc Pengadilan Tipikor Jakarta itu.

Bukan penyegaran, yang terjadi pada pegawai malah sebaliknya. Sebagian besar dari 76 pegawai yang terkena rotasi bertanya-tanya, kesalahan apa yang telah dibuat sehingga mereka dirotasi. Ada pula yang sudah mulai mencari pekerjaan baru. Sebagian lainnya pasrah. Sebab, melalui sistematika UU ASN, tidak dimungkinkan untuk melakukan perlawanan.

Wakil Ketua KPK Alexander Marwata memberi pernyataan pers terkait operasi tangkap tangan (OTT) Bupati Sidoarjo Saiful Ilah di Gedung KPK, Rabu (8/1/2019).
Foto : Ari Saputra/detikcom

“Sudah mulai nyari-nyari kerjaan baru, misal nanti di unit yang baru nggak sesuai dengan passion-nya, bisa cabut. Karena jelas, saya dibuat nggak nyaman dipindahkan ke unit yang nggak sesuai sama bidang saya,” ujar salah satu pegawai yang terkena rotasi kepada reporter detikX.

Sedangkan Karlo—bukan nama sebenarnya—pegawai ASN KPK lain yang tidak terkena rotasi, dihantui bayang-bayang akan dipindahkan sewaktu-waktu. Terlebih, selain tanpa sosialisasi, rotasi pegawai ini diduga bergelombang atau dilakukan secara bertahap, sepanjang Februari hingga Maret 2022. Ini diduga akan menyasar sekitar 250 pegawai KPK.

“Mulai selesaikan pekerjaan. Jadi misalnya kami digeser, kami nggak ngeberatin kawan. Sembari mikir, nanti mau ngapain ya di posisi yang baru,” kata Karlo.

Semenjak alih status menjadi ASN, yang termaktub dalam UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK, memang memungkinkan atasan merotasi pegawainya sewaktu-waktu. Sayangnya, rotasi dilakukan tanpa aba-aba kepada pegawai.

Eks pegawai KPK Farid Andhika mengatakan, ketika UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK masih berlaku, terdapat dua jenis rotasi pegawai di KPK: alih tugas yang bersifat permanen dan surat perintah tugas yang bersifat sementara. Keduanya disesuaikan berdasarkan kebutuhan masing-masing unit.

Formasi alih tugas akan dibuka ketika suatu unit kekurangan pegawai. Formasi ini berlaku bagi setiap kalangan internal dan eksternal KPK yang memenuhi kriteria melalui serangkaian tes.

“Yang dinyatakan lulus pindah. Kalau tidak, kembali lagi ke posisi semula. Jadi yang memegang peran untuk pindah itu pegawai. Atasan cukup mengetahui. Jadi nggak ada direktur memaksa pegawai pindah atau tidak karena faktor like or dislike itu ya nggak bisa,” ujar Farid.

Bagi yang dinyatakan lulus tes pun, mesti melaksanakan on job training (OJT) selama tiga bulan. Apabila pegawai dinyatakan lulus OJT, SK alih tugas akan terbit. Jika tidak, pegawai yang bersangkutan akan dikembalikan ke unit semula.

Adapun alih tugas yang tidak melalui tes ditujukan kepada pegawai-pegawai yang terbukti bermasalah dan terbukti melanggar kode etik. “Dulu pemegang kekuasaan tertinggi dalam rotasi ya pegawai. Jadi atasan tidak bisa memindahkan tanpa persetujuan pegawai,” tuturnya.

Farid menambahkan penyegaran di lingkup internal KPK memang diperlukan, tetapi ada cara selain rotasi pegawai secara sepihak. Cara itu antara lain mengikuti pelatihan, beasiswa, atau pemindahan dalam kurun waktu tertentu ke unit kerja lain.

Wadah Pegawai KPK (WP KPK) mendeklarasikan 11 April sebagai Hari Teror Terhadap Pemberantasan Korupsi dan Pembela HAM di Indonesia. Novel Baswedan turut hadir. 
Foto : Ari Saputra/detikcom

Ketua Indonesia Memanggil (IM) 57+ Institute Praswad Nugraha mengatakan, dulu saat ia masih menjadi pegawai KPK, terdapat jaminan kenyamanan pekerjaan. Sebab, rotasi pegawai tidak akan terjadi secara sepihak.

“Rotasi dan mutasi sepihak ini bisa membuat teman-teman internal KPK terpenjara. Misalnya ada perintah yang nggak mematuhi atasan karena nggak sesuai UU, posisinya akan terancam. Mereka bisa saja dirotasi oleh atasan sewaktu-waktu,” kata mantan penyidik itu.

Mati Suri Wadah Pegawai KPK

Rotasi pegawai ini seakan menjadi jalan buntu bagi kalangan internal KPK. Mulai kabar rotasi yang senyap hingga manajerial ASN yang tak memungkinkan pegawai melakukan perlawanan. Wadah Pegawai (WP) KPK, yang biasanya mengadvokasi hak-hak pegawai, dan pimpinan pun tengah mati suri.

Sebelumnya, WP memiliki peran signifikan dalam mengadvokasi pegawai. Legitimasi keberadaannya didukung Pasal 16 ayat (2) PP Nomor 63 Tahun 2005 tentang Sistem Manajemen SDM KPK. Isinya berbunyi: Wadah Pegawai dibentuk guna menampung dan menyampaikan aspirasi kepada Pimpinan Komisi.

UU Nomor 14 Tahun 2015 telah menghilangkan eksistensi WP dengan menggantinya menjadi Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri). Namun, pada praktiknya, peneliti Pukat UGM Zaenur Rohman menjelaskan Korpri tidak bisa menggantikan fungsi WP KPK. Sebab, Korpri berdiri sebagai identitas pegawai ASN, bukan advokator pegawai.

“Korpri bukan organisasi yang bisa memperjuangkan hak-hak anggota secara keseluruhan dan mengadvokasi anggotanya. Apalagi dulu WP kan salah satu anggota majelis pertimbangan pegawai. Itu yang membuat Korpri tidak bisa mereplikasi fungsi WP,” jelas Zaenur.

Manajerial pegawai, yang diatur oleh PP Nomor No 17 Tahun 2020 tentang Manajemen ASN, menugasi Sekjen sebagai pejabat pembina kepegawaian (PPK), sehingga memiliki kewenangan penuh terhadap pegawai. Hal ini menyebabkan pegawai tak punya posisi tawar terhadap pimpinan KPK.

“Rezim UU ASN ini menutup kesempatan pegawai untuk melakukan perlawanan karena Sekjen sebagai PPK. Tapi harus diingat bahwa dalam menjalankan tugasnya, Sekjen harus berdasarkan asas-asas pemerintahan yang baik sesuai PP Manajemen ASN,” ujarnya.

Padahal, jika berkaca pada kisruh pemecatan 57 pegawai KPK dengan dalih tes wawasan kebangsaan (TWK), para pegawai kompak menjalin protes. Itu dilakukan melalui WP KPK yang memegang komando menolak keras muatan TWK sebagai indikator alih status. WP KPK juga berhasil mengumpulkan solidaritas 600 pegawai KPK lain yang dinyatakan lolos untuk mendesak pimpinan agar menunda pelantikan alih status ASN.

Meski berujung kegagalan, upaya-upaya penyingkiran pegawai melalui TWK ini masif dilakukan sepanjang 2021, dari pelaporan ke Komnas Perempuan, Komnas HAM, hingga ke Ombudsman.

Koalisi Masyarakat Sipil bersama pegawai KPK mengelar aksi teatrikal pemakaman, sebagai simbol matinya KPK akibat disahkannya revisi UU KPK. 
Foto : Ari Saputra/detikcom

Rotasi pegawai memang merupakan hal yang sah dalam kepegawaian ASN. Tetapi, menurut Zaenur, rotasi pegawai menjadi hal yang tak biasa apabila tak berdasarkan analisis beban kerja yang transparan. Ditambah tidak adanya sosialisasi kepada pegawai KPK secara menyeluruh.

“Rotasi mendadak seperti ini menandakan tidak adanya perencanaan kepegawaian yang matang dalam organisasi KPK. Penempatannya yang bukan pada tempat yang sesuai dengan keahlian masing-masing pegawai akhirnya menjadi wrong man in wrong place,”  terangnya.

Zaenur menaksir KPK akan mengalami kerugian jangka panjang lantaran penempatan rotasi pegawai yang tidak berdasarkan keahliannya. Ini juga akan menyebabkan munculnya ketidakseimbangan internal. Kebijakan ini, menurutnya, tidak berdasarkan asas umum pemerintahan yang baik, sehingga terjadi unprofessional conduct.

Hilangnya WP KPK telah menihilkan upaya perlawanan pegawai. Kepada reporter detikX, seorang pegawai ASN KPK senior mengaku kesulitan mengumpulkan perlawanan pegawai semenjak tak adanya WP KPK. Mereka kerap dihantui oleh kecemasan rotasi yang dapat menimpanya sewaktu-waktu.

“Sekarang WP nggak ada. Kalau kita bingung ada masalah, mau nanya ke siapa?” ujar seorang pegawai yang enggan disebutkan identitasnya tersebut.

Padahal sebelumnya, WP KPK memenangkan gugatan rotasi 15 pegawai. Gugatan menyasar SK Pimpinan KPK 1426/2018 tentang Tata Cara Mutasi di Lingkungan KPK ke Pengadilan Tata Usaha Negara pada 19 September 2018. Kemudian di tingkat Mahkamah Agung, pada 8 Agustus 2019, gugatan dikabulkan. Hasilnya, majelis hakim memerintahkan pimpinan KPK mengembalikan 15 pegawai ke jabatan sebelum diberlakukan mutasi atau rotasi.


Reporter: May Rahmadi, Rani Rahayu 
Penulis: Rani Rahayu
Editor: Dieqy Hasbi Widhana
Desainer: Luthfy Syahban
Foto Cover: Ari Saputra

***Komentar***
[Widget:Baca Juga]
SHARE