INVESTIGASI

Teror Itu Bernama Pinjol

Pinjol membawa petaka bagi banyak orang. Pola penagihan penuh teror membuat kreditur dipecat dari pekerjaannya. Denda dan suku bunga yang tinggi membuat kreditur terjebak lingkaran setan meminjam ke pinjol lainnya.

Ilustrasi : Luthfy Syahban

Selasa, 2 November 2021

Sudah seharian ponsel Dilla—bukan nama sebenarnya—terus berdering. Hari itu, 20 April 2018, jatuh tempo pembayaran utang kepada jasa pinjaman online (pinjol) bernama Vloan. Sambil bekerja, mantan pegawai swasta itu terpaksa menanggapi panggilan telepon penagih utang yang memakai nomor tak dikenal.

“Kan tadi sudah saya jelaskan, saya minta keringanan waktu selama seminggu. Nggak apa-apa kalau per hari ada bunganya. Saya janji, pasti akan saya bayar,” kata Dilla geram, mengingat apa yang ia katakan waktu itu.

Selama dua hari tak ada lagi teror dari perusahaan fintech peer-to-peer lending itu. Seketika Dilla lega. Dia berpikir, Vloan menyetujui permohonan keterlambatannya. Ternyata Senin, 23 April 2018, malam, mendadak WhatsApp Dilla dipenuhi pesan instan dari teman kantor sampai bosnya. Mereka ramai-ramai memprotes dan mengira Dilla menjadikan kontak mereka sebagai jaminan.

Ini situasi yang membingungkan bagi Dilla. Ternyata diam-diam Vloan menyebarkan foto dan data diri Dilla ke rekan kantor dan bosnya. Vloan juga menekan mereka agar Dilla melunasi utangnya.

“Dil, ini apaan sih? Lu ngutang? Kenapa kontak gue lu jadiin jaminan?” ujar bos tempat Dilla bekerja.

Dilla menjelaskan memang ia telah meminjam uang melalui jasa pinjol, tetapi ia tidak menjadikan rekan-rekan kantor, beserta bosnya, sebagai jaminan. Namun ternyata meminjam melalui pinjol berarti menyetujui seluruh data pribadi yang terdapat dalam ponselnya untuk diserap, termasuk kontak, pesan instan WhatsApp, serta akses ke foto dan video Dilla.

“Rasanya seperti serangan jantung. Malu sekali saya,” katanya lirih kepada detikX.

Namun, karena pada 2018 isu pinjol belum seramai sekarang, rekan-rekan dan bosnya tak percaya. Saat itu juga, melalui panggilan telepon, si bos langsung memecat Dilla. Panggilan telepon langsung diputus tanpa memberikan ruang kepada Dilla untuk membela diri. Setelah itu, nomor Dilla diblokir.

Penggerebekan kantor pinjaman online Ilegal di Tangerang
Foto: Khairul Ma'arif/detikcom

Keesokan harinya, sesampai di kantor, Dilla langsung ke ruangan bosnya bermaksud menjelaskan duduk permasalahan dan memohon supaya dirinya tak jadi dipecat. Namun sayang, belum juga ia memulai bicara, si bos sudah tak sudi menemuinya.

Gimana sih, hari ini jatuh tempo tapi masih juga belum dibayar. Dasar goblok.”

Ibarat sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Dilla akhirnya dikeluarkan secara tidak hormat, tanpa menerima tunjangan hari raya, dan hanya menerima seperempat gaji. Dunia seakan runtuh. Sebab, anaknya yang pertama akan masuk TK. Belum lagi utang beserta bunga yang harus Dilla bayar kepada Vloan, ditambah biaya kebutuhan sehari-hari.

Naik pitam, Dilla akhirnya menghubungi Vloan. Dia tak terima karena cara penagihan Vloan telah membuatnya kehilangan pekerjaan. “Ya, salah Ibu, kenapa belum bayar utang,” ujar Dilla menirukan respons penagih utang pinjol.

Melalui surel, Dilla akhirnya melaporkan perbuatan laknat Vloan kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Yayasan Lembaga Keuangan Indonesia (YLKI). Beberapa hari kemudian, OJK membalas. Dilla bilang OJK tidak bisa menindak permasalahannya, karena perusahaan fintech tersebut tidak terdaftar.

Dilla akhirnya memberanikan diri mendatangi kantor Vloan. Di daerah Slipi, bilangan Jakarta Barat, sesuai dengan alamat yang tertera di aplikasi, Dilla menyambangi kantor Vloan. Namun ia hanya menemukan kantor kosong, “Iya, Bu. Betul, kantor Vloan di sini, tetapi kosong. Silakan Ibu cek saja,” kata karyawan front desk kantor itu kepada Dilla.

Dilla menghadapi jalan buntu. Dia kehilangan pekerjaan tanpa mengantongi pesangon, OJK menolak memproses laporannya, sedangkan roda kehidupan tetap berjalan. Sementara itu, perjalanan kariernya mandek. Ketika melamar kerja di tempat lain, ia ditolak karena stigma ‘kabur dari jerat utang’.

Akhirnya Dilla bekerja serabutan. Apa pun ia lakoni asalkan menghasilkan cuan, mulai ikut multilevel marketing hingga menjual parsel Lebaran. Penghasilan Dilla yang tak seberapa akhirnya membuat dia terpaksa mengambil kredit kembali ke pinjol resmi bernama Rupiah Plus sebesar Rp 1,2 juta.

Namun pengalaman pahitnya dengan Vloan kembali terulang. Saat jatuh tempo, penagih utang dari Rupiah Plus menelepon sambil memaki Dilla, “Gimana sih, hari ini jatuh tempo tapi masih juga belum dibayar. Dasar goblok,” ujar debt collector Rupiah Plus kepada Dilla. Ditambah Rupiah Plus mengirimkan data pribadi beserta informasi keterlambatan pembayaran kepada orang-orang terdekat Dilla.

Geram, Dilla akhirnya menyelami internet untuk mencari informasi kiat-kiat menghadapi pinjol. Sampai akhirnya ia menemukan forum daring berisi korban pinjol. Di situ ia menceritakan kisah nahasnya meminjam uang kepada Vloan dan pinjol sekelas Rupiah Plus, yang sudah berbadan hukum.

Di forum itu, ia menemukan orang-orang yang bernasib serupa. Dilla akhirnya aktif berkorespondensi melalui surel dengan beberapa korban pinjol. Dari situ, ia membuat grup WhatsApp “FINTECH REVENGE, KORBAN PINJOL” dan berhasil mengumpulkan sekitar 30 anggota. Karena memiliki semangat yang sama, akhirnya mereka bersama-sama bergerilya mendatangi Polda Metro Jaya untuk melaporkan kejahatan pinjol.

Bersama kurang-lebih 20 orang korban pinjol, ia ke Markas Polda Metro Jaya dengan mengantongi bukti-bukti. Namun, bukan pertolongan yang mereka dapatkan, polisi malah menertawakan mereka. “Ya, salah sendiri. Kan kalian memang berutang,” ujar Dilla menirukan sikap tak peduli polisi. Namun, setelah berjam-jam Dilla dan kawan-kawannya mendesak, polisi akhirnya menerima aduan itu. Dilla sebagai inisiator pun menerima surat tanda terima laporan polisi.

Tak sampai di situ, ia kembali menghubungi OJK. Sepenuturan Dilla, saat itu OJK akhirnya menanggapi laporannya. Dia diundang langsung ke kantor OJK untuk membicarakan permasalahannya. Tiga kali ia bertandang ke kantor OJK. Namun keadilan tak kunjung terlihat.

“Jauh-jauh saya ke OJK, bawa anak-anak saya yang masih kecil naik busway, tapi sampai tiga kali OJK kelihatan tidak serius menolong kasus saya,” ujar Dilla mengeluh.

Dilla akhirnya mendatangi beberapa kantor LBH, termasuk LBH Jakarta. Namun, karena saat itu belum banyak aduan pinjol, LBH Jakarta belum menunjukkan niatnya membantu Dilla. Dilla tak menyerah. Ia kemudian berjuang sendiri. Dia kembali menelusuri kantor pinjol.

Dua pinjol tempatnya meminjam ternyata memiliki beberapa kantor ‘gaib’. Rupiah Plus, misalnya, mencatatkan alamatnya di aplikasi berada di Grand Slipi Tower, Jakarta Barat. Namun di tempat itu hanya kantor kosong yang Dilla temui. Dia pun mengadukan ke OJK. Kemudian OJK memastikan memang kantornya pindah ke daerah Central Park.

Lagi-lagi itu kantor bodong. Dilla mendapati kantor itu sewaan yang belum siap dipakai.

Bayangin,kosong melompong kantor itu, cuma ada gorden tergantung. Padahal itu alamat yang sudah didaftarkan di OJK,” ujarnya kepada detikX.

Dilla akhirnya memprotes Rupiah Plus sambil mengirimkan foto kantor ‘gaib’-nya. Akhirnya Rupiah Plus pun mengirimkan alamat aslinya, yang terletak di Neo Soho, Jakarta Barat. Di situ akhirnya ia berdialog dengan empat petinggi Rupiah Plus.

Setelah berdiskusi, Rupiah Plus akhirnya setuju meringankan beban Dilla. Pada saat itu juga, Dilla langsung melunasi utangnya. Perlahan-lahan perempuan berusia 40 tahun itu menemukan titik terang.

Selang tiga bulan setelah laporan awal, pada Agustus 2018, pengacara LBH Jakarta, Nelson Nikodemus Simamora, menghubungi Dilla, setuju untuk mengadvokasi kasusnya dengan Vloan. “Saya pikir LBH Jakarta nggak mau mendampingi saya. Ternyata mereka memang sedang melakukan riset pinjol dan kebetulan tren kasusnya saat itu mulai naik,” ujar Dilla.

Setelah beberapa kali berunding dengan pihak Vloan, akhirnya pinjol ilegal itu setuju membayarkan biaya ganti rugi kepada Dilla. “Walaupun hanya separuh dari total tuntutan saya, masih mending daripada nggak sama sekali,” kata Dilla.

Tak lama, walau sempat menghilangkan jejak, permainan kotor Vloan terendus juga. Polisi menggerebek kantor Vloan. Sejumlah karyawannya ditangkap dan Kominfo memblokir aplikasi pinjol ilegal itu.

Senasib dengan Dilla, Debi—bukan nama sebenarnya—telah mengeluarkan kocek Rp 20 juta karena utangnya di pinjol. Perempuan 28 tahun yang baru saja melahirkan anak keduanya itu membutuhkan biaya tambahan untuk kebutuhan sehari-hari. Uang kiriman dari suaminya, yang merupakan sopir di Jakarta, tidak cukup untuk menutupi kebutuhan harian.

Para karyawan pinjol ilegal di Sleman pasca digerebek pada 15 Oktober 2021
Foto: Dony Indra Ramadhan/detikcom

Kawan Debi datang menyodorkan solusi: meminjam duit di pinjol. Dengan iming-iming persyaratan yang mudah, awalnya Debi tak percaya. Namun ternyata pinjamannya dengan mudah disetujui oleh Easy Cash.

“Eh, tahu-tahu 10 menit kemudian ada pemberitahuan ada uang masuk ke rekening saya,” ujar Debi kepada detikX.

“Saya pinjam Rp 1,5 juta, tetapi yang dikirimkan hanya Rp 1 juta. Katanya karena terpotong biaya admin,” imbuhnya.

Debi kaget karena ternyata tenor pinjamannya hanya seminggu. Duit pinjamannya telah terpakai untuk kebutuhan. Dia tak mampu melunasi tepat waktu.

Perempuan asal Cileunyi, Bandung, Jawa Barat, itu terpaksa meminjam kepada pinjol lain bernama Pinjam Yuk dengan nilai nominal yang sama. Dengan sistem peminjaman yang serupa, Debi akhirnya kembali terperosok dalam kejamnya pinjol. Dia tak memiliki alternatif lain.

Mata rantai utang itu terus bertambah hingga Debi memiliki pinjaman di sembilan pinjol sekaligus. “Kayak gali kubur, tutup kubur. Setiap hari saya nggak bisa tidur nyenyak,” ujarnya.

Setelah dua bulan Debi memendam utangnya, akhirnya Agus, suaminya, mendapat pesan peringatan dari nomor tak dikenal agar istrinya segera melunasi utang.

Seperti mendadak tertiban gajah, dada Agus menjadi sesak mendengar jumlah pinjaman istrinya yang sudah menggelembung. Akhirnya, demi keselamatan keluarganya, Agus terpaksa menjual sawah dan tanah peninggalan orang tuanya di Tegal, Jawa Tengah, demi melunasi utang Debbi.

“Sebenarnya mah kapok mau pinjam pinjol lagi. Tapi waktu itu nggak ada pilihan selain pinjem lagi sama pinjol. Mau minjem orang kan juga nggak enak, nilai nominalnya gede banget,” tutur Debi.

Lewat setahun setelah permasalahannya selesai. Debi mengaku kini hubungannya dengan Agus tak lagi seharmonis dulu. "Iya, dia kadang masih sering marah, simpanannya habis, nyinggung kenapa saya pinjam ke pinjol. Tapi mau gimana lagi, saya terima saja," kata dia.

Kebiadaban pinjol terus memakan korban. Andi—bukan nama sebenarnya—ketika itu sedang asyik menonton pertandingan bola Liga Eropa di warkop dekat rumahnya. Dia ditawari rekannya meminjam di pinjol bernama Akulaku.

Rekannya itu ternyata tenaga pemasaran Akulaku. Setiap kali berhasil mendapatkan kreditur baru, ia akan mendapatkan komisi. Walau sebetulnya tidak berniat meminjam, Andi diminta berutang. Sebab, target kreditur bulanannya belum tercapai. Merasa iba, Andi akhirnya terpaksa mengunduh aplikasi Akulaku.

Bekas kantor sebuah pinjol di Surabaya 
Foto: Amir Baihaqi/detikcom 

Tak lama, dana Rp 600 ribu masuk ke rekening Andi. Dia langsung ditodong rekannya untuk memberi komisi Rp 200 ribu. Namun lelaki asal Madiun, Jawa Timur, itu tak mau. Akhirnya Andi dan rekannya cekcok dan adu pukul.

Tak lama, Andi menerima pesan singkat melalui WhatsApp. Pemuda 26 tahun itu harus melunasi utang dalam jangka waktu seminggu sebesar Rp 700 ribu. Seminggu kemudian, teror pinjol Akulaku memberondong Andi. Tetapi ia tak acuh. Dia juga menyampaikan kepada teman-teman dan keluarganya agar tak menghiraukan teror yang masuk.

Selang dua bulan, rumahnya didatangi oleh seorang pria paruh baya yang menagih utang. Andi akhirnya menyerahkan duit Rp 600 ribu dan tak mau membayar bunganya.

Nek gelem, iki Rp 600 ewu gowonen. Nek ora gelem yo ngaliho (kalau mau, ini Rp 600 ribu silakan dibawa. Kalau tidak mau, silakan pergi),” ujarnya. Akhirnya, dengan muka masam, si penagih utang menyetujuinya dan pergi meninggalkan rumah pria yang bekerja sebagai kurir itu.

Melalui surel dan pesan WhatsApp, detikX telah mengirimkan permohonan wawancara ke perusahaan fintech Akulaku serta Easy Cash terkait prosedur penagihan mereka yang dianggap semena-mena. Namun, hingga laporan ini dirilis, belum ada respons dari mereka.

Hingga awal 2021, LBH Jakarta telah menerima 5.000 laporan pengaduan terkait masalah pinjol. Sepanjang 2018 hingga 2021, OJK telah menghentikan aktivitas 3.516 entitas pinjol ilegal.

“Jangan pernah pinjam ke pinjol. Saya sudah berkali-kali pinjam ke pinjol. Mau legal atau nggak legal, cara nagihnya sama: sama-sama tidak manusiawi,” tegas Dilla.


Reporter: May Rahmadi, Rani Rahayu
Penulis: Rani Rahayu
Editor: Dieqy Hasbi Widhana
Desainer: Luthfy Syahban

***Komentar***
[Widget:Baca Juga]
SHARE