INVESTIGASI

Sel Tikus dan 'Apotek' Narkoba di Lapas Tangerang

Sebelum kebakaran, para narapidana di Lapas Kelas I Tangerang masih bisa menggunakan barang elektronik dan narkoba. Jika mereka ketahuan, segepok uang harus dikeluarkan. Kalau tidak, bakal ‘dimenarakan’.

Ilustrasi : istock

Selasa, 21 September 2021

Lima tahun enam bulan vonis yang dijatuhkan hakim Pengadilan Negeri Tangerang kepada Risman—bukan nama sebenarnya—pada akhir 2009. Risman terbukti melanggar Pasal 114 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Atas putusan hakim itu, Risman harus merasakan dinginnya lantai bui Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Tangerang, Jalan Veteran, Tangerang, Banten.

Hari-hari pertamanya di lapas ini menjadi pengalaman yang tidak pernah Rusman lupakan. Dia harus tidur berimpitan dengan sesama warga binaan pemasyarakatan lainnya dalam sebuah kamar sel yang sempit. Rusman memang tidak langsung ditempatkan di sel tahanan begitu dipenjara. Dia harus menjalani masa admisi orientasi terlebih dahulu di Blok Menara Lapas Kelas I Tangerang.

Ketimbang menyebutnya sebagai Blok Menara, para narapidana lebih sering menyebutnya sebagai sel tikus alias selti. Julukan selti ini disematkan oleh para narapidana lantaran ukurannya yang kecil dan pengap. Saking sempitnya sel, para narapidana bahkan harus tidur berdiri atau berjongkok. Ruangan yang hanya seluas 5 x 3 meter persegi itu biasanya diisi tiga orang, tetapi tidak jarang sampai lima orang.

Lapas Kelas 1 Tangerang
Foto : Fajar Yusuf Rasdianto/detikX


Soalnya, kalau ketahuan P2U (Penjaga Pintu Utama), habis. Kan banyak juga, selama saya di dalam (lapas), beberapa petugas jadi napi gara-gara nyelundupin narkoba.”

“Menara itu tempat kayak semacam pengasingan untuk tahanan yang baru banget datang,” terang Rusman kepada detikX pekan lalu. Enam bulan lamanya Rusman harus menghuni selti itu bersama napi lainnya.

Selain buat orang-orang baru, selti diperuntukkan buat tempat hukuman bagi para napi bermasalah. Napi yang tertangkap basah menyelundupkan narkoba dan barang-barang elektronik ke dalam lapas juga bakal ‘dimenarakan’.

Menurut Rusman, selama ia berada di Lapas Kelas I Tangerang, memang banyak menjumpai napi yang menggunakan barang-barang elektronik, seperti telepon seluler, televisi, hingga penyejuk ruangan. Beberapa di antara mereka juga masih menggunakan narkoba.

Barang-barang terlarang itu masuk ke lapas dengan bantuan sipir nakal dan kerabat napi yang datang berkunjung. Khusus narkoba, para napi bisa mendapatkannya dari seorang bandar yang sudah bekerja sama dengan petugas. Mereka menyebut bandar itu sebagai ‘apotek’.

Kendati demikian, mereka tidak bisa menggunakan barang-barang itu secara bebas seperti di luar lapas. Mereka harus bersembunyi-sembunyi dari petugas lapas jika ingin menggunakan barang-barang terlarang itu.

Beberapa petugas, kata Rusman, memang bisa diajak bekerja sama untuk tidak mengadukan penggunaan barang terlarang itu kepada pimpinan. Dengan merogoh sedikit rupiah dari kantong dan menyerahkannya kepada petugas, para napi dapat dengan bebas menggunakan barang terlarang tersebut.

Suasana di dalam Lapas Klas 1 Tangerang
Foto : Istimewa

Namun itu hanya bisa dilakukan di depan sipir bandel. Sebab, ada juga sipir yang emoh diajak bekerja sama dengan narapidana. Mereka menolak mentah-mentah pemberian sejumlah uang dari narapidana.

“Soalnya, kalau ketahuan P2U (Penjaga Pintu Utama), habis. Kan banyak juga, selama saya di dalam (lapas), beberapa petugas jadi napi gara-gara nyelundupin narkoba,” ujar Rusman.

Cerita serupa disampaikan Haris—bukan nama sebenarnya—mantan napi Lapas Kelas I Tangerang, kepada detikX. Haris menjalani hukuman di lapas itu sejak 2016 dan menghirup udara bebas pada 2019. Haris menyebut kehidupan di lapas itu memang cukup bebas. Segala jenis narkotika hingga minuman keras bisa didapatkan di dalam lapas dengan mudah.

Haris bahkan mengaku sempat menjadi kurir narkoba untuk seorang bandar besar. Dia tidak hanya mengantarkan barang-barang itu kepada narapidana di dalam, tapi juga kepada pecandu narkoba lainnya di luar.

Haris bilang bosnya sudah memiliki ‘bapak’ di lapas. ‘Bapak’ yang dimaksud Haris adalah seorang petinggi di Lapas Kelas I Tangerang. Setiap bulan si bos bakal memberikan uang kepada si bapak dengan jumlah yang disesuaikan dengan total berat narkoba yang masuk. Seingat Haris, untuk 1 gram sabu, si bos bakal memberikan Rp 1 juta kepada si bapak.

“Tapi kalau sekarang nggak tahu dah, orang bos gue juga udah bebas,” ungkap Haris kepada detikX, Jumat, 17 September 2021.

Walau cukup bebas, kehidupan di Lapas Kelas I Tangerang tetap tidak mudah. Menurut Haris, tinggal di lapas rupanya membutuhkan lebih banyak uang ketimbang hidup di luar. Segala bentuk kenyamanan di lapas harus dibayar dengan rupiah, bahkan untuk sekadar urusan kamar. Kondisi lapas yang sudah kelebihan penghuni membuat sebagian petugas memanfaatkannya dengan meminta bayaran kepada narapidana.

Kepala Lapas Kelas 1 Tangerang Victor Teguh Prihartono 
Foto : Fajar Yusuf Rasdianto/detikX

Pada 2018, kata Haris, untuk satu kamar berukuran kecil, narapidana harus membayar Rp 3 juta. Nilainya naik pada 2019 menjadi Rp 8 juta. Sedangkan untuk kamar yang berukuran lebih besar, narapidana harus merogoh kocek Rp 13 juta.

Kenyamanan untuk kamar ini, kata Haris, hanya dimiliki orang-orang berduit. Rerata mereka yang memiliki kamar berukuran besar dengan fasilitas mewah adalah narapidana korupsi. Mereka berada di Blok G, yang memang diperuntukkan khusus bagi narapidana tindak pidana korupsi. Sementara itu, mereka yang tidak memiliki cukup uang harus tidur berimpitan di kamar sempit. Tidak sedikit juga mereka yang justru tidur di serambi atau aula dengan hanya beralaskan matras.

Selain untuk urusan kamar, narapidana harus menyiapkan dana cadangan jika sewaktu-waktu mereka ketahuan menggunakan barang elektronik. Meski beberapa petugas lapas sudah berkongkalikong dengan warga binaan, jika ada perintah langsung atasan, barang-barang itu tetap akan disita. Kalau itu terjadi, napi harus menyelipkan sejumlah uang ke saku petugas supaya barang itu kembali lagi. Istilah mereka ‘86’.

Gue sering kena kok waktu masih di Blok A. HP ada di samping gue waktu tidur. Ada petugas langsung diambil HP gue. Tapi ‘86’, Rp 500 ribu buat dua HP. Satu HP Android, HP lipat satu,” kata Haris.

Kepala Lapas Kelas I Tangerang Victor Prihartono mengakui memang masih banyak penggunaan barang elektronik dan narkoba di dalam lapas. Sewaktu pertama kali menjabat Kepala Lapas Kelas I Tangerang pada Desember 2020, dia sempat melakukan pengecekan barang-barang itu di kamar lapas. Hasilnya, dia menemukan banyak barang elektronik, saset sabu, dan bong.

Victor kemudian mengevaluasi hasil temuannya itu dengan membentuk Satuan Tugas Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba (P4GN). Tim ini tidak hanya bertugas melacak peredaran narkoba di lapas, tetapi juga mencari barang-barang terlarang lainnya, termasuk elektronik. Setiap bulan, kata Victor, tim bakal melakukan penggeledahan sebanyak lima hingga enam kali.

Dalam pelaksanaannya, Satgas P4GN tidak langsung menyita barang-barang tersebut. Tindakan preventif dilakukan terlebih dahulu dengan meminta para narapidana mengembalikan barang-barang itu kepada keluarga masing-masing. Papan pengumuman atas pelarangan penggunaan barang-barang itu juga telah dibuat sebagai langkah preventif lain. “Ini strategi. Jangan sampai kita mengambil barang-barang tapi menimbulkan masalah baru. Apa masalahnya? Keributan, resisten terhadap petugas,” imbuh Victor kepada detikX, Sabtu, 18 September 2021.

Paviliun C2 yang habis dilumat api, dua pekan lalu
Foto : Istimewa

Victor menyebut, enam bulan semenjak dibentuknya Satgas P4GN, tim telah menyita ratusan ponsel, kabel, saset sabu, bong, dan barang elektronik lain. Sejumlah narapidana telah diberi sanksi atas penggunaan barang-barang terlarang tersebut. Salah satu sanksi yang diberikan adalah dengan mengasingkan mereka ke Blok Menara atau selti. Hal ini, kata Victor, sudah sesuai dengan Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 6 Tahun 2013 tentang Tata Tertib Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan. Aturannya menyebut warga binaan pemasyarakatan yang melanggar ketentuan bakal diasingkan selama 12 hari. Pada praktiknya, pengasingan itu bisa dilakukan lebih dari 12 hari, tergantung hasil evaluasi.

Namun, meski sudah ada peraturan tersebut, nyatanya masih ada narapidana yang membandel. Mereka kerap menyembunyikan barang-barang elektronik dan narkoba di tempat yang tidak bisa ditemukan petugas. Untuk menyalakan barang-barang elektronik itu, para narapidana mencuri listrik dengan mengambil arus dari kabel lampu dan kipas angin di kamar. Pihak lapas sengaja menyediakan kipas angin, kata Victor, untuk memanusiakan para narapidana karena kondisi kamar yang pengap.

Tetapi sikap manusiawi itu justru menjelma pisau bermata dua bagi Lapas Kelas I Tangerang. Pada Rabu, 8 September 2021, sekitar pukul 01.45 WIB, terjadi kebakaran hebat di Paviliun C2, Blok C alias Chandiri Nengga. Kebakaran itu menewaskan 49 orang serta mengakibatkan 2 orang mengalami luka berat dan 71 lainnya luka ringan. Blok C2 terdiri atas 19 kamar dengan kapasitas maksimum 60 orang. Namun, pada saat terjadi kebakaran itu, Blok C2 diisi 122 orang. Secara keseluruhan, lapas mengalami kelebihan kapasitas sebesar 245 persen. Total tujuh blok dengan 21 paviliun, yang mestinya diisi oleh 600 orang, ternyata diisi 2.069 orang.

Dugaan sementara pihak kepolisian, kebakaran terjadi karena korsleting listrik. Polda Metro Jaya menduga api pertama kali tepercik dari kamar nomor 4 di Blok C2. Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya Tubagus Ade Hidayat mengatakan pihaknya tengah menyelidiki kasus tersebut. Hasil penyidikan, kata Tubagus, bakal disampaikan pekan ini. Dalam perkembangannya, polisi menetapkan tiga tersangka dalam kejadian itu akibat kelalaian. Mereka adalah tiga petugas sipir yang bertugas pada malam kebakaran maut.


Reporter: Fajar Yusuf Rasdianto, May Rahmadi, Rani Rahayu
Penulis: Fajar Yusuf Rasdianto
Editor: Irwan Nugroho
Desainer: Luthfy Syahban

***Komentar***
[Widget:Baca Juga]
SHARE