INVESTIGASI

Setelah Turunnya Harga PCR

Pemerintah memangkas harga tes PCR dari Rp 900 ribu menjadi Rp 495 ribu. Laboratorium mengaku selisih harga Rp 405 ribu tidak membuat mereka rugi.

Foto: Pradita Utama/detikcom

Senin, 23 Agustus 2021

Butuh waktu lebih dari satu tahun bagi pemerintahan Joko Widodo untuk menurunkan harga tes polymerase chain reaction atau PCR sampai di kisaran Rp 500 ribu. Pekan lalu Jokowi mengumumkan pemerintah membuat harga tes PCR menjadi lebih murah, yaitu maksimal Rp 495 ribu untuk wilayah Jawa-Bali dan Rp 525 ribu untuk di luar Jawa-Bali.

Hal tersebut tercantum dalam Surat Edaran Kementerian Kesehatan Nomor: HK.02.02/I/2845/2021, yang berlaku mulai 17 Agustus. Pada Oktober 2020, pemerintah menetapkan harga PCR seharga Rp 900 ribu. “Saya sudah berbicara dengan Menteri Kesehatan mengenai hal ini,” kata Jokowi pekan lalu. “Saya minta agar biaya tes PCR berada di kisaran Rp 450 ribu sampai Rp 550 ribu.”

Jokowi pun meminta agar pemeriksaan tes PCR dipercepat, maksimal satu hari. Keputusan tersebut pemerintah ambil dengan dalih bahwa Indonesia perlu memperbanyak testing dalam rangka penanganan COVID-19. Jokowi mengatakan salah satu cara meningkatkan jumlah testing adalah menurunkan harga tes PCR.

Keputusan Jokowi itu tidak lepas dari adanya desakan menurunkan harga tes PCR. Publik mengetahui harga PCR di Indonesia sangatlah mahal dibanding harga di negara-negara lain.

Data Indonesia Corruption Watch menunjukkan, harga PCR Indonesia (Rp 900 ribu) lebih mahal daripada di Malaysia (Rp 509 ribu), Sri Lanka (Rp 470 ribu), Vietnam (Rp 470 ribu), dan India (Rp 96 ribu). Setelah harga diturunkan menjadi Rp 495 ribu pun, harga PCR di Indonesia masih lebih mahal daripada Sri Lanka, Vietnam, dan India.

Presiden Joko Widodo
Foto : Biro Pers Setpres

Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi mengatakan kebijakan Jokowi tersebut diambil pascarapat terbatas kabinet yang membicarakan mengenai penanganan COVID-19. Jokowi, kata Nadia, sudah melihat berbagai aspek sebelum memutuskan penurunan harga tes PCR.

“Sudah berkonsultasi dengan berbagai pihak, kemudian memerintahkan Bapak Menkes untuk melihat kembali harga batas atas pemeriksaan PCR,” kata Nadia kepada detikX pekan lalu.

Nadia menjelaskan harga Rp 900 ribu yang ditetapkan pemerintah pada Oktober 2020 dipengaruhi oleh masih terbatasnya komponen-komponen yang dibutuhkan untuk melakukan tes PCR. Karena itu, harganya masih cukup tinggi. Sedangkan saat ini komponen-komponen tersebut sudah mulai banyak tersedia.

Kita berusaha menekan cost APD. Hazmat kita kan mendapat harga yang lumayan tinggi."

“Waktu itu bulan Oktober mungkin masih terbatas jumlah reagen, mesin, APD, dan lain-lain, sehingga tentu otomatis, kalau kondisi terbatas, sementara kebutuhannya banyak, tentu lebih mahal,” kata dia.

Ke depannya, Nadia melanjutkan, pengawasan terhadap harga tes PCR akan dilakukan oleh pemerintah daerah, dalam hal ini dinas kesehatan. Sebab, kendati alat-alat kesehatan yang digunakan laboratorium harus mendapat izin edar dari Kemenkes, izin operasional laboratorium dikeluarkan oleh Dinas Kesehatan.

Setelah keluarnya keputusan pemerintah itu, diketahui, ada selisih harga tes PCR sekitar 41 persen atau Rp 405 ribu antara harga baru dengan harga lama. Namun ternyata selisih harga ini tidak menjadi masalah bagi sejumlah laboratorium. Salah satunya adalah Laboratorium Helix.

Ilustrasi petugas mengambil sampel tes PCR 
Foto : Pradita Utama/detikcom

Business Development Manager Helix Laboratorium Fitri Evita mengaku Helix tidak mengalami kerugian ketika pemerintah memutuskan menurunkan harga PCR dari Rp 900 ribu menjadi Rp 495 ribu. Walaupun harganya Rp 405 ribu lebih rendah dari harga sebelumnya, Helix tetap meraup keuntungan. “Rugi, sih, tidak. Namun (keuntungannya) hanya tipis jadinya. Karena cost kita bukan hanya reagen, tetapi juga ada APD, biaya operasional, dan SDM,” kata Vita.

Dia menjelaskan Helix menggunakan reagen dengan harga Rp 250 ribu per satu spesimen. Helix harus menyiasati turunnya harga PCR itu dengan menekan biaya belanja APD, salah satunya hazmat. “Kita berusaha menekan cost APD. Hazmat kita kan mendapat harga yang lumayan tinggi. Rp 75 ribu,” kata dia.

Penggunaan hazmat sangat bergantung pada lokasi tenaga medis. Jika di Wisma Atlet, petugas Laboratorium Helix hanya membutuhkan satu sampai dua hazmat selama delapan jam. Namun, untuk di hotel-hotel, tenaga medis Helix harus selalu berganti hazmat setiap satu kali pemeriksaan.

“Kalau di hotel yang pasiennya berganti-ganti, itu langsung ganti juga setiap kedatangan. Hazmat betul-betul sekali pakai,” kata dia. Kendati demikian, Helix memastikan sudah menurunkan harga PCR setelah pemerintah membuat surat edaran mengenai penetapan harga PCR yang baru.

Sebelumnya, harga PCR terendah sekitar Rp 700 ribu.
Foto: Antara Foto 

Menurut pakar epidemiologi dari Griffith University, Australia, Dicky Budiman, jika pemerintah ingin memperbanyak testing dan tracing, seharusnya tes PCR digratiskan. Dia menegaskan tidak semua tes PCR perlu digratiskan. Menurutnya, jika tes PCR diperlukan untuk keperluan testing dan tracing, harus dilakukan secara gratis.

“Jadi, kalau PCR yang dilakukan atas dasar intervensi publik, misal dari klaster atau dalam rangka testing, tracing, ada kasus terus datang ke faskes, ya, itu harus ditanggung pemerintah, harusnya gratis,” kata Dicky.

Namun, dia melanjutkan, harga gratis tidak perlu diberlakukan bagi orang-orang yang melakukan tes PCR untuk kebutuhan pribadi. Kebutuhan pribadi, misalnya, syarat perjalanan atau keperluan pekerjaan. “Jangan menganggap semua harus bisa gratis, ya, nggak gitu,” katanya. “Kalau untuk keperluan sendiri, misalnya perjalanan luar negeri, luar kota, keperluan kantor, ya, itu bayar.”


Koreksi

Tulisan ini telah dikoreksi pada 29 Agustus 2021. Pernyataan Esa Tjatur Setiawan yang dikutip sebagai Direktur Marketing Hamera Lab dicabut. Sebelumnya, redaksi mendapatkan kontak dua orang narasumber Hamera Lab untuk diwawancara. Belakangan, Hamera Lab menyatakan bahwa Esa Tjatur Setiawan sudah tidak lagi mewakili perusahaan untuk berbicara kepada media. Atas kekeliruan tersebut redaksi meminta maaf.


Penulis: May Rahmadi
Editor: Irwan Nugroho

***Komentar***
[Widget:Baca Juga]
SHARE