Ilustrasi: Fuad Hasim
Rabu, 28 Juli 2021“Sebagai Koordinator PPKM darurat Jawa-Bali, dari lubuk hati yang paling dalam, saya ingin meminta maaf kepada seluruh rakyat Indonesia jika dalam penanganan PPKM Jawa-Bali ini masih belum maksimal,” ujar Menteri Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan pada 17 Juli 2021. Permintaan maaf Luhut ini buntut dari belum maksimalnya PPKM darurat dalam menekan angka laju COVID-19.
Selasa, 20 Juli 2021, seharusnya menjadi hari terakhir pemberlakuan PPKM darurat. Namun, apa daya, jumlah kasus positif COVID-19 masih tinggi. Senin, 26 Juli 2021, kasus terkonfirmasi COVID-19 tembus hingga angka 3,17 juta. Sebanyak 83.279 orang meninggal dunia akibat COVID-19. Koalisi Masyarakat Sipil LaporCovid-19 mencatat 2.641 orang di antara korban itu meninggal saat isolasi mandiri di rumah.
Namun, karena tren kasus harian COVID-19 mulai melandai, Presiden Joko Widodo, dalam keterangannya melalui kanal YouTube Sekretariat Presiden, Selasa, 20 Juli 2021, mengumumkan secara bertahap akan mulai melonggarkan PPKM darurat yang telah berlangsung sejak 2 Juli 2021. PPKM darurat juga berganti nama menjadi PPKM level 3 dan 4. PPKM level 3 dan 4 itu lalu resmi diberlakukan pada 26 Juli hingga 2 Agustus di Jawa-Bali.
Relaksasi diberlakukan dengan melonggarkan kebijakan di sektor informal, seperti toko kelontong, pedagang kaki lima, dan lain-lain, boleh buka dengan durasi waktu makan pengunjung maksimal 20 menit. Pasar rakyat yang menjual kebutuhan nonsehari-hari dapat beroperasi dengan kapasitas 50 persen.
“Dengan mempertimbangkan aspek kesehatan, aspek ekonomi, dan dinamika sosial, saya memutuskan melanjutkan menerapkan PPKM level 4 dari 26 Juli sampai 2 Agustus, namun kita akan melakukan beberapa penyesuaian terkait aktivitas dan mobilitas yang dilakukan secara bertahap dengan pelaksanaan yang ekstrahati-hati,” ujar Jokowi.
Baca Juga : Bingung Jargon Pandemi Jokowi
Presiden Joko Widodo
Foto: dok. Biro Pers Setpres
Luhut menambahkan, selain indikator laju penularan kasus positif COVID-19, perpanjangan PPKM dengan penyesuaian itu juga didasarkan pada respons sistem kesehatan dan panduan dari World Health Organization (WHO). “Total ada 95 kabupaten dan kota yang menerapkan PPKM level 4 di Jawa-Bali,” imbuh Luhut.
Namun, berdasarkan evaluasi LaporCovid-19 pada 22 Juli 2021, ditemukan bahwa PPKM darurat masih kurang optimal, sehingga seharusnya pemerintah belum perlu mengubah kebijakan. LaporCovid-19 masih menerima sekitar 30 laporan per hari dari warga. Laporan terbanyak adalah keluhan mencari rumah sakit dan tempat isolasi, yaitu sebanyak 40 persen.
Disusul kemudian pelanggaran yang dilakukan sektor perkantoran dan sektor non-esensial. Mereka tak menerapkan bekerja dari rumah sesuai dengan yang ditetapkan. Bahkan sejumlah bank menaikkan target yang harus dicapai para karyawan, yakni sebanyak 65 persen. Banyaknya pelanggaran PPKM darurat ini tentunya menunjukkan bahwa kebijakan ini tidak terlalu efektif.
Belum lagi penurunan tren kasus yang dijadikan indikator pengambilan kebijakan ternyata juga berbanding lurus dengan penurunan angka testing spesimen COVID-19. Contohnya pada 17 Juli 2021, angka testing menyasar sebanyak 251.392 spesimen. Jumlah testing menurun empat hari setelahnya, yaitu 192.918 spesimen (18 Juli), 160.686 spesimen (19 Juli), 179.278 spesimen (20 Juli), dan 153.330 spesimen (21 Juli). Angka itu masih jauh dari target Kementerian Kesehatan, yakni 500 ribu spesimen per hari.
Epidemiolog Universitas Airlangga, Surabaya, Laura Navika, juga menilai PPKM darurat belum efektif. Memang angka penambahan kasus COVID-19 harian telah melandai dari 50-an ribu ke angka 30-an ribu belakangan ini. Namun angka 30 ribu itu, menurut Laura, masih tergolong tinggi. Laura juga mencatat, turunnya angka positif COVID-19 lebih karena penurunan angka testing. Sehingga hal itu kurang cocok apabila dijadikan indikator untuk melonggarkan PPKM.
Baca Juga : Diam Lapar, Keluar Terpapar
Komunitas Warung Tegal Nusantara mengkritik aturan makan 20 menit selama PPKM level 4 di sejumlah wilayah.
Foto: Grandyos Zafna/detikcom
Menurut Laura, yang bisa menjadi acuan untuk perubahan kebijakan terkait COVID-19 seharusnya positivity rate atau rata-rata jumlah positif COVID-19 dalam sebuah populasi. Jika semakin tinggi positivity rate, penyebaran COVID-19 di sebuah populasi juga makin tinggi. Hingga saat ini kapasitas pemeriksaan belum menjangkau sasaran yang luas, hanya terhadap masyarakat yang bergejala COVID-19, sehingga tingkat positivity rate masih tinggi. Karena itu, pemerintah harus meningkatkan kapasitas pemeriksaan untuk mencapai indikator penurunan positivity rate.
“Jadi indikator itulah yang seharusnya dilihat, bukan kasus harian. Seperti yang telah dikatakan oleh Pak Jokowi, telah terjadi penurunan kasus. Tapi itu kan berbanding lurus dengan penurunan testing, kecuali kalau testing-nya konstan atau bahkan lebih tinggi. Kenyataannya kan nggak,” tutur Laura dalam perbincangan dengan detikX. Berdasarkan data Senin, 28 Juli 2021, positivity rate COVID-19 di Indonesia di angka 38,13 persen dengan spesimen yang diperiksa pada hari itu sebesar 168.589.
Kedua, Laura juga mengamati bed occupancy rate (BOR) atau tingkat keterisian tempat tidur rumah sakit masih tergolong tinggi. Orang datang ke rumah sakit masing belum bisa langsung diterima pada saat itu juga. Rumah sakit belum bisa maksimal melayani semua penderita COVID-19 yang dirujuk. Mereka yang dilayani oleh rumah sakit adalah pasien COVID yang bergejala sedang disertai sesak napas dan saturasi oksigen rendah. Serta mereka yang datang dengan gejala berat. Dengan masih tingginya BOR, dapat dikatakan PPKM darurat belum optimal.
“Ketiga, terkait mobilitas masyarakat sejauh ini yang saya lihat penurunan mobilitas tidak terlalu signifikan, hanya di angka 20 persen. Itu sebetulnya tidak berdampak banyak terhadap penurunan COVID-19. Ini seharusnya target-target yang dapat dicapai segera dievaluasi. Kalau melihat situasi yang belum menunjukkan dampak yang signifikan, ya tentunya berat dengan perpanjangan lima hari,” ungkapnya.
Epidemiolog Universitas Hamka Mouhamad Bigwanto mengaku bisa memahami langkah pemerintah untuk merelaksasi PPKM darurat. Sebab, kebijakan itu telah banyak diprotes, bahkan sebagian warga melakukan aksi turun ke jalan. Banyak juga yang mengalami dampak langsung PPMK darurat. Sehingga pemerintah akhirnya mengambil kebijakan untuk mengurangi pengetatan di beberapa segi PPKM.
Baca Juga : Terengah di Tengah Krisis O2
Penyekatan di Jakarta tetap berlaku di tengah pelonggaran sejumlah aturan setelah PPKM diperpanjang. Antrean kendaraan terlihat di pos penyekatan PPKM Kalimalang.
Foto: Agung Pambudhy/detikcom
Namun Mouhamad merasa tidak yakin relaksasi itu bakal membuat pandemi COVID-19 terkendali. Hal itu terbukti dengan meningkatnya angka penularan COVID-19 beberapa hari terakhir. Karena itu, pemerintah harus berani mengambil kebijakan yang tak populer. Jika tidak begitu, urusan pandemi ini tidak akan selesai. Sebaiknya pemerintah juga tidak sering membentur-benturkan antara kepentingan ekonomi dan kesehatan.
“Jadi kalau kali ini pemerintah tidak berani mengambil keputusan yang tidak populer dan lebih mementingkan elektoral dibanding advice epidemiolog, kita nggak akan selesai-selesai urusan ini. Dengan cara mitigasi, kasih bantuan langsung, dan sebagainya,” kata Bigwanto kepada detikX.
Sementara itu, Darul Siska, anggota Komisi IX DPR, yang membidangi kesehatan dan ketenagakerjaan, menilai penerapan PPKM darurat belum signifikan hasilnya. Sejauh ini, PPKM darurat, menurutnya, hanya efektif mengurangi mobilitas masyarakat. Karena itu, Siska menyarankan kepada pemerintah untuk menjalankan lockdown di tingkat RT, RW, atau kelurahan untuk menurunkan angka positivity rate COVID-19.
“Saya juga bingung dengan program kebijakan PPKM yang selalu berganti. Pengambilan kebijakannya bagaimana, karena tidak membuat masyarakat mendukung program ini tetapi malah bingung. Apa pun kebijakan yang diterapkan pemerintah, sejauh tidak didukung penuh oleh masyarakat, bahkan masyarakat banyak yang tidak mengerti dengan penuh kesadaran, kecil kemungkinannya untuk berhasil,” kata dia.
Penulis: Rani Rahayu
Editor: Irwan Nugroho
Desainer: Fuad Hasim