Ilustrasi : Luthfy Syahban
Oximeter di jari ibunda Indri, seorang warga Ciledug, Tangerang, tiba-tiba menunjukkan angka tak wajar, Sabtu, 3 Juli 2021, sekitar pukul 21.00 WIB. Pada hari kesembilan isolasi mandiri terkait infeksi COVID-19, kondisi ibu yang tecermin oleh angka oximeter itu membuat Indri dan keluarganya panik. Baru kali itu kadar oksigen di dalam darah ibunya hanya 83 persen. Normalnya, saturasi oksigen dalam tubuh adalah 95 persen.
Sontak saat itu juga Indri bersama kakaknya langsung memasukkan ibunya ke dalam mobil dan membawanya rumah sakit. Indri, kakak, dan ibunya kemudian berhenti di rumah sakit pertama. Namun tak ada tempat bagi ibunya. Dia lalu bergegas pindah ke rumah sakit kedua, tetapi hasilnya juga sama: tidak ada tempat. Begitu seterusnya dia lakukan di tengah kepanikan, sementara ibunya terengah-engah tak berdaya.
“Mungkin sampai puluhan rumah sakit di Tangerang dan Jakarta,” kata Indri kepada detikX, Jumat, 9 Juli 2021. “Dari rumah sakit kecil sampai rumah sakit besar kami datangi, tetapi tidak ada ruangan untuk ibu saya. Itu dari pukul 21.00 WIB sampai pukul 17.00 WIB keesokan harinya. Kami terus mencari tanpa istirahat.”
Baca Juga : Ke Mana Obat COVID-19
Permintaan oksigen di Kota Bandung mengalami peningkatan. Di PT Aneka Gas Industri, pemintaan naik hingga tiga kali lipat.
Foto: Wisma Putra/detikcom
"Mereka memang bukan menolak secara kasar, tapi langsung bilang bahwa IGD penuh, oksigen nggak ada, harus waiting list, atau rumah sakit sedang penuh.”
Indri tahu, ketersediaan tempat tidur di rumah sakit sekitar Tangerang dan Jakarta sudah hampir tak ada. Namun Indri nekat terus mencari rumah sakit untuk ibunya. Seorang dokter di sebuah rumah sakit sempat memeriksa ibunya. Kepada Indri, dokter itu mengatakan ibunya harus segera mendapat rumah sakit, tetapi tidak bisa di rumah sakit itu karena tempat tidurnya tidak tersedia. Setidaknya, ibunda Indri harus menggunakan alat bantu oksigen.
Namun kondisinya tidak semudah itu. Banyak rumah sakit besar juga tidak bisa menerima pasien COVID-19. Indri mengklaim, setidaknya, ibunya sudah dibawa ke Rumah Sakit Fatmawati, RS Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto, dan RS Pusat Pertamina. “Mereka memang bukan menolak secara kasar, tapi langsung bilang bahwa IGD penuh, oksigen nggak ada, harus waiting list, atau rumah sakit sedang penuh,” kata dia.
Walhasil, upaya Indri mencari rumah sakit sejak malam hingga sore keesokan harinya gagal. Namun Indri sedikit beruntung. Di tengah-tengah upaya pencariannya itu, seorang teman kantornya memberi ibunya bantuan oksigen. Dia juga punya satu tabung oksigen lain dari kakak iparnya sebagai cadangan. Indri pun kini merawat ibunya di rumah dengan mengandalkan pinjaman tabung oksigen dari kantor dan obat-obatan yang dia dapat secara berbayar melalui layanan medis dalam jaringan.
Indri tinggal berenam di rumahnya. Empat di antaranya positif COVID-19 dan harus isolasi mandiri. Yang negatif adalah Indri dan keponakannya, yang masih bayi. Indri mengurus sendiri semua kebutuhan perawatan untuk empat orang keluarganya selama isolasi mandiri.
Bukan hanya mencari rumah sakit, Indri mengaku, dia juga sempat kesulitan mencari tabung oksigen. Sebelum akhirnya mendapat pinjaman, Indri sudah mencari tabung oksigen ke puluhan toko. Informasi toko-toko penjual tabung oksigen di sekitar Tangerang dan Jakarta yang dia dapat dari media sosial, sudah dia sambangi. Namun, dia tetap tidak mendapatkannya.
Antrean isi ulang oksigen di salah satu daerah di Ibu Kota Jakarta
Foto : Siti Fatimah/detikcom
Krisis tempat tidur dan oksigen ini memang sedang melanda Indonesia, khususnya di Pulau Jawa. Seperti kisah Indri, di Mojokerto, Jawa Timur, juga ada cerita serupa. Seorang ibu di sana tidak mendapatkan rumah sakit ketika dirinya sudah sangat membutuhkan perawatan. Soni, keponakan ibu itu, mengatakan bibinya mengeluh sakit kepala karena darah tinggi dalam sepekan terakhir. Namun, sejak Senin, 5 Juli, bibinya juga mengalami sesak napas dan saturasi oksigennya berkurang sampai menjadi 62 persen.
Pada pagi keesokan harinya, Soni mengantar bibinya berobat ke rumah sakit menggunakan mobil. Tujuh rumah sakit ia datangi, tapi tak satu pun rumah sakit mau menerima bibinya yang sedang kesulitan bernapas. Tujuh rumah sakit itu adalah RS Citra Medika, RS Emma, RS Kamar Medika, RSI Sakinah, RS Rekso Waluyo, RS Gatoel, serta RSUD dr Wahidin Sudiro Husodo.
Walhasil, Soni terpaksa merawat bibinya di rumah hanya dengan mengandalkan obat-obatan serta tabung oksigen dan regulatornya, yang dia beli seharga Rp 3 juta. “Bingung saya, rumah sakit tak mau menerima semua. Alasannya, kamarnya sudah penuh,” kata Soni, Selasa, 6 Juli 2021.
Semakin tingginya kebutuhan masyarakat terhadap oksigen berdampak pada kelangkaan. Kelangkaan tersebut membuat harga jual di pasar menjadi tidak wajar. Komisi Pengawas Persaingan Usaha menemukan harga oksigen portabel dan oksigen tabung di DKI Jakarta bahkan melonjak tinggi.
Kepala Kantor Wilayah III KPPU Aru Armando mengatakan besaran harga tersebut disimpulkan berdasarkan hasil survei yang dilakukan di 11 toko penjual oksigen melalui e-commerce. Hasil survei tersebut, kata Aru, menunjukkan harga oksigen portabel dengan merek Oxycan 500 cc dijual di kisaran harga Rp 58-450 ribu, sehingga rata-rata harganya Rp 275 ribu. Ada pula dua toko yang menjual oksigen portabel merek Senos Pure 800 ml di kisaran harga Rp 118-200 ribu. Diperoleh rata-rata harga oksigen portabel merek tersebut saat ini Rp 159 ribu.
Kelangkaan oksigen kian menjadi, di tengah pendemi corona kali ini. Akibatnya, harga melambung karena banyaknya permintaan dengan keterbatasan stok yang ada.
Foto: Robby Bernardi/detikcom
Tabung oksigen pun dijual dengan harga yang juga tak wajar. Di sebuah marketplace, ada 11 toko yang berada di wilayah DKI Jakarta menjual tabung oksigen dengan ukuran 1 meter kubik dengan troli dan regulator full set dengan kisaran harga Rp 800 ribu sampai Rp 1,5 juta (harga rata-rata Rp 1.045.000). “Meskipun dijual dengan harga tinggi, itu masih ada konsumen yang membeli. Ya, maklum, ya, mungkin saking butuhnya sehingga harga berapa pun tetap dibeli,” kata Aru kepada detikX.
Aru menjelaskan sebenarnya oksigen-oksigen dengan harga tinggi itu dijual ke rumah sakit. Namun pasien-pasien yang tidak terlayani di rumah sakit berinisiatif mencari tabung oksigen sendiri. Inilah yang kemudian dimanfaatkan pihak-pihak untuk menaikkan harga jual secara tidak wajar. Ke depannya, Aru memastikan akan membawa perkara kenaikan harga jual yang tak wajar tersebut ke ranah pidana. KPPU bakal memanggil pihak-pihak yang terlibat dalam penjualan dengan cara kotor itu.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi membenarkan bahwa kebutuhan akan oksigen kini meningkat pesat. Dia bilang, biasanya, kebutuhan oksigen nasional itu rata-rata hanya 6 ton per hari. Sekarang rata-rata mencapai 3.000-4.000 ton per hari dan 2.400 ton di antaranya untuk kebutuhan di Pulau Jawa-Bali.
Dengan kondisi seperti itu, pemerintah pun menggenjot kemampuan produksi oksigen. Nadia mengklaim, secara kapasitas produksi, Indonesia mampu memenuhi kebutuhan nasional. “Kita mengutamakan kebutuhan oksigen untuk fasilitas layanan kesehatan terlebih dahulu,” katanya.
Bagi para penyintas COVID-19 yang sedang melakukan isolasi mandiri, Nadia menegaskan pemerintah tidak menganjurkan melakukan terapi oksigen sendiri di rumah. Sebab, orang yang membutuhkan terapi oksigen itu adalah orang yang saturasi oksigennya di bawah 95 persen. Artinya, itu adalah orang dengan gejala sedang.
Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr Sardjito, Sleman, DI Yogyakarta (DIY), kehabisan stok oksigen pada Sabtu (3/7). Akibatnya, 33 pasien dilaporkan meninggal dunia
Foto: ANTARA FOTO/Hendra Nurdiyansyah
Masyarakat yang membutuhkan oksigen itu seharusnya tidak melakukan isolasi. Masyarakat kalau sesak napas diminta segera datang ke fasilitas kesehatan. Kalau saturasi sudah kurang dari 95 persen, masyarakat diminta datang ke fasilitas kesehatan. Kita tidak mendorong masyarakat melakukan terapi oksigen sendiri di rumah. “Kalau sesak napas, itu orang sudah gejala sedang, dan gejala sedang dan berat itu harus dirawat,” kata Nadia.
Orang dengan saturasi oksigen di bawah normal, Nadia menjelaskan, ada kemungkinan akan mengalami pemburukan secara cepat. Karena itu, seharusnya orang tersebut mendapat perawatan di rumah sakit. “Kalau (masyarakat) sudah kritis baru dibawa ke rumah sakit, itu nakes tidak punya waktu untuk menolong kasus-kasus seperti ini,” katanya. “Kita semua nggak ingin ada kasus isoman yang kemudian meninggal di rumah.”
Saat ini, bed occupancy rate atau angka keterisian tempat tidur di rumah sakit semakin tinggi. Banyak kasus rumah sakit tidak bisa merawat pasien yang butuh pertolongan nakes. Namun, Nadia menekankan, rumah sakit itu tidak boleh menolak pasien dalam keadaan emergency. “Sampai saat ini, berita mengenai nama rumah-rumah sakit yang menolak pasien itu tidak pernah muncul. Harus dimunculkan supaya kita punya bukti untuk menegur rumah-rumah sakit tersebut,” katanya.
Reporter: May Rahmadi, Fajar Yusuf Rasdianto
Penulis: May Rahmadi
Editor: Irwan Nugroho
Desainer: Luthfy Syahban