Foto: Dok Instagram Puan Maharani
Selasa, 15 Juni 2021Patung Sukarno menunggang kuda di depan kantor Menteri Pertahanan Prabowo Subianto dan pemberian gelar profesor kehormatan kepada Megawati Soekarnoputri menjadi peristiwa politik besar sepanjang pekan lalu. Bagaimana tidak. Dua tokoh yang sebelumnya bersaing kini makin menunjukkan keakraban satu sama lain.
Banyak yang beranggapan pemimpin dua partai besar, Gerindra dan PDIP, tersebut bakal maju pada Pilpres 2024. Anggapan itu tentunya wajar melihat latar belakang keduanya yang kuat. Prabowo dan Megawati pernah berkoalisi saat Pemilihan Presiden 2009 dengan mengikrarkan Perjanjian Batu Tulis, yang menyepakati duet Megawati-Prabowo serta dukungan penuh PDIP kepada Prabowo pada Pilpres berikutnya, 2014.
Namun Megawati mengingkari Perjanjian Batu Tulis dengan menjagokan Joko Widodo. Perubahan sikap PDIP terjadi karena elektabilitas Jokowi saat itu lebih tinggi dibanding Prabowo. Sejak Jokowi jadi presiden, Prabowo dan Megawati sama-sama menjaga jarak. Namun akhirnya ketegangan politik di antara keduanya mencair. Bahkan Prabowo berlabuh di pemerintahan Jokowi dengan menerima mandat sebagai Menteri Pertahanan.
Nah, apakah dua peristiwa yang baru saja terjadi pekan lalu itu benar-benar bakal berujung pada kembalinya duet Megawati-Prabowo atau sebaliknya, Prabowo-Megawati? Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya kepada detikX pekan lalu menilai duet keduanya hampir tidak mungkin terwujud. Hal tersebut disebabkan oleh banyaknya hambatan teknis di antara kedua belah pihak untuk kembali mengulang sejarah koalisi 2009.
Baca Juga : Diplomasi Patung Mas Bowo
Megawati (tengah) saat peresmian patung Sukarno di Kemenhan
Foto: Istimewa
Yunarto menjelaskan faktor utama yang menentukan keputusan partai untuk berkoalisi dalam pilpres adalah posisi yang didapatkan dalam bursa pencapresan. Sudah tentu sebuah partai bakal berjuang untuk mendapatkan posisi calon presiden. Sebab, berdasarkan teori efek ekor jas atau coattail theory effect, kader partai yang dicalonkan sebagai presiden akan membangun perolehan suara partai berdasarkan popularitas figur.
Masalahnya adalah Gerindra sudah menetapkan Prabowo sebagai harga mati capres 2024. Di sisi lain, PDIP adalah partai dengan elektabilitas paling tinggi pada saat ini. “Problemnya adalah dalam konteks elektabilitas partai PDIP jauh di atas Gerindra. Jadi apa untungnya untuk PDIP ketika partainya jauh lebih besar, lebih memiliki elektabilitas tinggi, tapi hanya untuk menjadi cawapres?” kata Yunarto.
Duet Prabowo dengan Megawati terulang kembali seperti 12 tahun silam, lanjut Yunarto, lebih muskil lagi. Sudah tentu di antara dua tokoh itu tidak akan mau menjadi orang nomor dua. Dulu Prabowo menjadi cawapres karena baru pertama kali maju dalam pemilihan eksekutif. Gerindra juga masih sangat kecil. Dengan dua kali menjadi capres (2014 dan 2019), tidak masuk akal kalau dia mau menjadi cawapres mendampingi Megawati.
Menariknya, kata Yunarto, PDIP menghadapi problem cukup kompleks tentang siapa kader internal yang bakal diusung sebagai capres. Ganjar Pranowo disebut oleh banyak survei memiliki peluang elektoral yang tinggi. Mengacu pada survei Y-Publica pada Mei lalu, elektabilitas Ganjar, Gubernur Jawa Tengah, itu, bahkan mengungguli Prabowo, yaitu 20,2 persen melawan 16,7 persen.
Direktur Eksekutif Charta Politika, Yunarto Wijaya
Foto: Ari Saputra/detikcom
Namun belum jelas hingga sekarang apakah ‘darah biru’ partai tidak bakal mendapat tempat istimewa dalam pencapresan PDIP. Sebab, pada saat ini nama putri Megawati, Puan Maharani, juga disebut-sebut bakal dicalonkan menjadi orang nomor satu di Indonesia oleh PDIP. Kondisi rumit di PDIP ini juga menjadi hambatan teknis koalisi PDIP-Gerindra.
Sementara ini, lanjutnya, yang bisa terbaca dari kebersamaan Prabowo-Megawati adalah upaya Prabowo membangun hubungan emosional di antara keduanya. Prabowo, yang banyak menggunakan simbol-simbol Sukarno, berusaha menjalin komunikasi yang erat dengan Megawati. Bisa saja kemudian Megawati luluh dengan cara-cara Prabowo tersebut. Tapi Megawati adalah tokoh politik yang memperhitungkan banyak hal.
“Terbukti, pada 2014, Perjanjian Batu Tulis tidak diikuti, walaupun mereka pernah jadi capres dan cawapres bareng. Karena, menurut survei, kadernya, Jokowi, memiliki potensi lebih tinggi untuk menang. Lalu apa untungnya kesempatan berkuasa ini diberikan kepada partai lain atau kepada capres lain hanya karena romantisme-romantika masa lalu?” cetus Yunarto.
Sementara itu, pakar politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Wasisto Raharjo mengatakan pembuatan patung Sukarno dan pemberian gelar profesor sebatas rekonsiliasi simbolis di antara kedua tokoh. Di lain sisi, kedua hal itu merupakan bentuk pengakuan Prabowo, yang merupakan patron penting dalam pemerintahan saat ini. Megawati, menurut Wasisto, ada dalam setiap kebijakan dan politik Jokowi saat ini.
Puan Maharani dan Ganjar Pranowo
Foto : Credit By
“Yang ketiga, merupakan bagian upaya dari kedua belah pihak untuk merangkul purnawirawan TNI. Kita tahu SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) masih aktif berpolitik. Ini untuk menutup peluang SBY jika ia masih ingin bermanuver pada Pemilu 2024. Adanya rekonsiliasi kedua tokoh penting ini seolah menutup peluang SBY untuk naik ke kekuasaan karena dua tokoh ini telah mengunci satu sama lain,” katanya.
Penulis: Rani Rahayu
Editor: Irwan Nugroho
Desainer: Fuad Hasim