Ilustrasi: Edi Wahyono
Rabu, 5 Mei 2021Seorang penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi berbicara kepada Ketua Dewan Pengawas KPK Tumpak Hatorangan Panggabean pada awal April lalu. Penyidik itu gusar. Kepada Tumpak, dia melaporkan adanya permasalahan serius dalam proses penyidikan.
Para penyidik KPK baru saja gagal melakukan penyitaan dalam penggeledahan di dua lokasi terkait kasus dugaan suap pajak kala itu. Dua lokasi tersebut adalah kantor PT Jhonlin Baratama dan sebuah lokasi di Kalimantan Selatan. Diduga, ada yang membocorkan rencana penggeledahan tersebut sehingga barang bukti yang dicari tim penyidik sudah ditiadakan.
“Bagaimana itu?” kata Tumpak kepada penyidik, menceritakan kembali kepada detikX, Rabu, 28 April 2021. “Kok bisa terjadi?”
Baca Juga : Bopeng-bopeng Penyidik KPK
Ketua Dewan Pengawas KPK Tumpak Hatorangan Panggabean
Foto: Akbar Nugroho Gumay/ANTARA Foto
Penyidik tersebut kemudian menjelaskan kronologinya panjang-lebar. Namun Tumpak tak bisa berbuat banyak. Dia menindaklanjuti laporan penyidik itu dengan berbicara kepada pimpinan KPK. Tumpak meminta pimpinan KPK memastikan penyebab gagalnya penyitaan barang bukti tersebut.
Karena semestinya Dewas bergerak tanpa harus menunggu laporan dari masyarakat.”
“Apakah ini kebocoran informasi ataukah memang yang mau digeledah itu sudah tahu?” katanya. “Makanya dilarikannya barang-barang itu.”
Saat itu tim KPK mencari barang bukti suap pajak dengan menggeledah tiga perusahaan. Penggeledahan itu dilakukan tidak secara serentak. Menurut Tumpak, karena itulah ada kemungkinan perusahaan yang terakhir itu sudah melakukan persiapan agar, saat penggeledahan, para penyidik KPK tidak menemukan apa pun. Dia pun meminta, jika ada kasus serupa lain waktu, para penyidik KPK melakukan penggeledahan secara serentak.
Kendati demikian, Tumpak mengatakan penyidik yang melakukan penggeledahan tersebut menjalani pemeriksaan di Direktorat Penyidikan. Pemeriksaan itu untuk mendalami kronologi dan mencari indikasi-indikasi terkait dugaan adanya kebocoran informasi.
Jika dalam pemeriksaan itu ditemukan adanya indikasi kebocoran informasi, Dewas KPK akan melakukan pemeriksaan lanjutan. Sebab, hal tersebut dapat dikenai sanksi etik. Namun Dewas belum mendapatkan hasil pemeriksaan tersebut sampai saat ini. “Kalau ada indikasi kebocoran, ya, kami lakukan pemeriksaan,” kata dia.
Sikap Dewas terhadap kasus itu sama dengan sikapnya terhadap dugaan pelanggaran etik komisioner KPK Lili Pintauli Siregar. Dewas tidak meminta klarifikasi kepada Lili karena belum mendapat indikasi atau bukti yang mengarah pada pelanggaran etik.
Dugaan pelanggaran etik Lili sebelumnya muncul dari keterangan Koordinator Masyarakat Anti KorupsiIndonesia Boyamin Saiman. Boyamin mengklaim mendapat informasi bahwa Syahrialsempat beberapa kali menghubungi Lili karena Syahrial mengetahui KPK tengahmenyelidiki suatu perkara di wilayah Tanjungbalai.
Boyamin Saiman (kanan)
Foto: Samsudhuha Wildansyah/detikcom
Syahrial kini menjadi tersangka kasus dugaan penerimaan hadiah atau janji oleh penyelenggara negara. Syahrial diduga memberi uang kepada penyidik KPK dari kepolisian AKP Stepanus Robin Pattuju, dengan tujuan mengamankan perkara yang tengah diselidiki KPK.
Robin sudah berstatus tersangka dan KPK telah mendapatkan bukti-bukti perbuatannya mengarah pada tindakan korupsi. Anggota Dewas KPK Harjono mengatakan, karena sudah ada bukti, Dewas nantinya tinggal melakukan pemeriksaan etik. “Karena sudah ada kejelasan,” kata Harjono kepada detikX, Selasa, 27 April 2021.
Namun, Harjono melanjutkan, kasus Robin berbeda dengan Lili. Sampai saat ini, dia mengatakan, Dewas belum mendapatkan bukti atau indikasi bahwa Lili telah melanggar etik.
Dewas KPK pun mencoba berupaya mencari indikasi dugaan pelanggaran etik itu. Tumpak mengaku sudah mengirim surat elektronik kepada Boyamin untuk meminta bukti yang bisa mengindikasikan Lili melakukan pelanggaran etik. Namun Tumpak belum mendapatkan bukti tersebut sampai saat ini.
Sementara itu, Boyamin mengaku belum ada rencana memberikan bukti atau membuat pengaduan kepada Dewas. “Karena semestinya Dewas bergerak tanpa harus menunggu laporan dari masyarakat,” kata dia kepada detikX, Selasa, 27 April 2021.
Tumpak menjelaskan, pengawasan yang dilakukan Dewas KPK bersifat post-audit atau pemeriksaan lanjutan. Menurutnya, pengawasan sehari-hari seharusnya dilakukan para pemimpin struktural di masing-masing direktorat dan inspektorat. Dewas tidak mungkin melakukan hal tersebut karena SDM Dewas hanya 20 orang. “Dewas melakukan pengawasan kalau memang sudah terjadi sesuatu. Makanya, sifatnya post-audit,” kata dia.
* * *
Pejabat Dewan Pengawas KPK. (Dari kiri) Syamsuddin Haris, Harjono, Tumpak Hatorangan Panggabean, Albertina Ho
Foto: Ari Saputra/detikcom
Sejak munculnya wacana Revisi Undang-Undang KPK, keberadaan Dewas adalah satu dari banyaknya pasal-pasal yang dinilai bermasalah. Kendati demikian, pemerintah dan DPR tetap mengesahkan aturan itu. Presiden Jokowi kemudian mengisi Dewas dengan tokoh-tokoh yang dikenal memiliki integritas baik.
Dari sinilah Dewas kemudian menjadi harapan, termasuk ketika korupsi sudah ada di tubuh KPK sendiri dengan ditandai penersangkaan penyidik Robin. Apalagi ada serentetan kontroversi di KPK lainnya sebelum kasus Robin itu muncul. Misalnya, pencurian barang bukti emas yang dilakukan pegawai KPK, tidak tertangkapnya Harun Masiku, dan lain-lain.
Beban di pundak Dewas juga kian berat ketika data menunjukkan, ada penurunan kinerja penindakan sepanjang 2020, di masa kepemimpinan Komisaris Jenderal Firli Bahuri. Catatan Indonesia Corruption Watch tahun lalu, KPK hanya bisa melakukan operasi tangkap tangan sebanyak tujuh kali. Padahal, pada tahun sebelumnya, KPK melakukan OTT sampai 18 kali. Pada 2018, KPK bahkan melakukan OTT sampai 30 kali.
ICW juga menilai KPK era Komjen Firli tidak memiliki keinginan menindaklanjuti kasus-kasus besar. Beberapa kasus itu antara lain KTP-elektronik, Bank Century, dan divestasi PT Newmont.
Menurut pengajar hukum tata negara Universitas Gadjah Mada Zainal Arifin Mochtar, jumlah kontroversi di KPK saat ini justru lebih banyak daripada jumlah penanganan perkaranya. “Kalau kita pakai data, terjadi pelemahan kinerja KPK, jauh dibanding sebelumnya,” kata dia kepada detikX, Rabu, 28 April 2021.
Uceng, sapaan Zainal, menjelaskan pelemahan KPK bukan terjadi baru-baru ini. Namun, pengesahan UU KPK baru menjadi gong yang jelas-jelas menandai pelemahan KPK. Sejak UU KPK baru itu masih dalam pembahasan, masyarakat sipil pun lantang menyuarakan penolakan.
Dari banyaknya kontroversi di KPK itu, Uceng bahkan mewacanakan pembubaran KPK. Ini pertama kali wacana tersebut muncul dari kalangan masyarakat sipil. Sebelumnya, wacana pembubaran KPK sempat muncul tetapi dari kalangan politikus, yaitu Fahri Hamzah.
Gedung Merah Putih KPK, Kuningan, Jakarta Selatan
Foto: dok. detikcom
Menurut Uceng, keberadaan Dewas, meski diisi orang-orang kompeten, tidak akan berpengaruh pada perbaikan KPK. Sebab, Dewas tidak memiliki kewenangan apa pun di KPK. UU KPK baru yang kontroversial itu hanya memberikan tugas kepada Dewas tanpa memberikan kewenangan jelas.
“Sejak kapan ada kelembagaan dibentuk hanya disebutkan tugasnya, tapi tidak ada kewenangannya?” kata dia. “Walaupun berisi orang-orang baik, penyakitnya itu pada konstruksi UU-nya.”
Tumpak membenarkan hal tersebut. Bukan hanya tidak diberi kewenangan oleh UU, Tumpak mengatakan UU KPK juga tidak menjelaskan hierarki yang jelas berkaitan dengan keberadaan Dewas KPK.
Dengan kondisi begitu, Tumpak menjelaskan, pimpinan KPK tidak memiliki kewajiban mengikuti rekomendasi Dewas. Pimpinan KPK pun tidak akan mendapatkan sanksi jika mengambil sikap seperti itu.
“Paling (itu) merupakan catatan bagi kami dalam mengevaluasi kinerja pimpinan,” kata Tumpak dalam acara D'Rooftalk yang disiarkan Detikcom pada Selasa, 27 April 2021. “Jadi pandai-pandai kami sendiri saja melaksanakan tugas ini.”
Reporter: Syailendra Hafiz Wiratama, May Rahmadi
Penulis: May Rahmadi
Editor: Irwan Nugroho