INVESTIGASI

Bopeng-bopeng Penyidik Kuningan

Pembusukan KPK dinilai terjadi sejak bedol desa anggota Polri masuk ke lembaga antirasuah itu. Kini ditambah terancam dipecatnya 75 penyidik senior lantaran gagal tes ASN.

Ilustrasi: Edi Wahyono

Selasa, 4 Mei 2021

Petaka itu akhirnya terjadi juga. Marwah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diremukkan oleh para punggawanya sendiri. Kasus pemerasan Rp 1,5 miliar oleh penyidik Ajun Komisaris Polisi Stepanus Robin Pattuju terhadap Wali Kota Tanjungbalai Muhammad Syahrial menjadi satu dari sekian banyak noda KPK di era kepemimpinan Komisaris Jenderal Firli Bahuri.

Temuan Dewan Pengawas (Dewas) KPK menunjukkan, sepanjang 2020 saja, ada 31 laporan pelanggaran kode etik yang dilakukan pegawai KPK. Sebanyak 15 di antaranya telah diproses dan diselesaikan pada 2020. Sebelas lainnya tidak ditindaklanjuti lantaran tidak memiliki cukup bukti. Empat sisanya sudah disidangkan dan dilanjutkan perkaranya pada 2021.

Jumlah itu belum ditambah dengan pelanggaran etik yang terjadi pada 2021, termasuk kasus Robin. Plus kasus pegawai KPK berinisial IGAS yang mencuri barang bukti emas 1,9 kilogram dari perkara korupsi suap pajak mantan pejabat Kementerian Keuangan Yaya Purnomo.

Serentetan pelanggaran di tubuh KPK ini berbanding terbalik dengan indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia pada 2020. Transparency International Indonesia menyebut IPK Indonesia pada 2020 turun 3 poin dari 40 menjadi 37. Skor ini membuat ranking Indonesia sebagai negara yang bersih dari korupsi terjun bebas dari posisi 85 pada 2019 menjadi 102 pada 2020.

Ketua Dewas KPK Tumpak Hatorangan Panggabean mengakui pelanggaran yang terjadi di tubuh KPK saat ini memang lebih banyak dari sebelumnya. Namun bukan berarti KPK yang dulu nihil kontroversi. “Kalau dihitung-hitung soal pelanggaran etik, dulu juga banyak. Cuma tidak muncul karena tak pernah disidangkan, habis di tingkat pimpinan saja,” beber Tumpak dalam talkshow d’Rooftalk, Selasa, 27 April 2021.

(Ilustrasi) penyidik KPK saat menunjukkan barang bukti kasus korupsi bantuan sosial COVID-19 di Kementerian Sosial, 6 Desember 2020
Foto: Hafidz Mubarak/ANTARA Foto

Tumpak benar. KPK yang dulu juga bukan tanpa masalah. Indonesia Corruption Watch mencatat, sepanjang 2010-2018, ada setidaknya 19 kasus dugaan pelanggaran kode etik pegawai KPK yang mencuat ke publik. Dari 19 kasus itu, paling parah dilakukan pegawai KPK dari unsur Polri, yaitu Roland Ronaldy dan Harun, yang diduga telah merusak barang bukti perkara suap mantan hakim Mahkamah Konstitusi Patrialis Akbar.

Penyelesaian etik atas dua pegawai itu belum jelas hingga sekarang. Keduanya hanya dikembalikan ke kesatuan asal mereka di Polri. Namun, alih-alih mendapat tindakan tegas, Roland dan Harun justru mendapat kenaikan jabatan dari instansi lamanya. Roland diangkat menjadi Kapolres Bogor, sedangkan Harun Kapolres Lamongan. Belakangan, Harun diangkat menjadi Kapolres Bogor menggantikan Roland, yang dicopot karena kasus kerumunan Habib Rizieq di Megamendung.

Bekas pimpinan KPK Busyro Muqoddas menilai tidak tegasnya penindakan terhadap pelanggaran etik itulah yang kini membuat integritas pegawai KPK terkesan ‘ambyar’. Dia mencontohkan, pelanggaran etik yang dilakukan Firli Bahuri saat masih menjabat Deputi Penindakan KPK pada 2018. Saat itu Firli kedapatan bertemu dengan mantan Gubernur Nusa Tenggara Barat Muhammad Zainul Majdi pada 12 dan 13 Mei 2018. Padahal KPK tengah menyelidiki keterlibatan pria yang akrab disapa Tuan Guru Bajang (TGB) itu dalam kasus korupsi divestasi PT Newmont Nusa Tenggara.

Atas pelanggaran tersebut, Komite Etik KPK pun menjatuhkan sanksi berat kepada Firli dan dia dikembalikan lagi ke kesatuan asalnya. Tetapi, setelah dikembalikan lagi ke Polri, Firli malah mendapat promosi jabatan menjadi Kapolda Sumatera Selatan. Setahun berselang setelah kasus itu, mantan Kapolri Jenderal Tito Karnavian bahkan mengizinkan Firli untuk maju dalam bursa calon pimpinan KPK periode 2019-2023. Dalam rapat pleno Komisi III DPR RI pada Jumat, 13 September 2019, Firli pun terpilih sebagai Ketua KPK hingga sekarang.

Ketua KPK Firli Bahuri
Foto: Grandyos Zafna/detikcom

Sayangnya, belum sampai setahun menjabat, Firli kembali berulah. Pada 18 Juni 2020, Firli menyewa helikopter Rp 7 juta per jam untuk pulang ke kampung halamannya di Palembang. Dewas KPK memutuskan Firli melanggar kode etik dan diberi sanksi ringan teguran tertulis II. Catatannya, Firli tidak boleh mengulangi kesalahan yang sama dalam waktu selambat-lambatnya 6 bulan sejak tanggal putusan. “Itulah, bawahan itu kan melihat bahwa pimpinan KPK sekarang ini yang dulu jadi Deputi Penindakan itu punya kelemahan secara moral,” ujar Busyro kepada detikX pekan lalu.

Ditanyai terpisah, mantan penasihat KPK Abdullah Hehamahua sepakat dengan pernyataan Busyro. Dia pun membandingkan pelanggaran etik yang dilakukan pegawai KPK sekarang dengan pada masa lalu. Seingat Abdullah, pada era ia menjabat 2005-2013, hanya ada 10 pelanggaran kode etik yang disidangkan. Itu pun hampir semuanya merupakan pelanggaran ringan. Pelanggaran paling parah dilakukan pegawai KPK yang menyewa mobil KPK untuk keperluan pribadi. Mobil itu digunakan untuk mengantar hantaran pernikahannya ke Sukabumi. Saat itu pengawas internal (PI) KPK langsung memecat yang bersangkutan dan mengembalikannya ke kepolisian.

Cerita lain lagi, kata Abdullah, ada pula pegawai KPK yang terbukti menggunakan telepon kantor untuk menelepon keluarganya. “Itu putusan Majelis Kode Etik (yang bersangkutan) dipecat dari tempatnya, dimutasikan dan dia harus mengganti kerugian yang menggunakan telepon itu,” jelas Abdullah kepada detikX.

Pengajar hukum tata negara Universitas Gadjah Mada Zainal Arifin Mochtar berpendapat, apa yang terjadi di KPK sekarang merupakan pembusukan dari dalam. Menurut Uceng—begitu dia akrab disapa—upaya pelemahan KPK sudah dimulai sejak era kepemimpinan Plt Ketua KPK Taufiequrachman Ruki, yang menggantikan Abraham Samad pada 2018. Saat itu, terjadi eksodus besar-besaran anggota Polri ke KPK. Lantas puncaknya terjadi saat dilantiknya enam anggota Polri untuk mengisi sejumlah pos di tubuh lembaga antirasuah itu pada Selasa, 5 Januari 2021.

Zainal Arifin Mochtar
Foto: Ari Saputra/detikcom

Mereka antara lain Deputi Penindakan dan Eksekusi Irjen Karyoto, Direktur Koordinasi dan Supervisi I Brigjen Didik Agung Wijanarko, Direktur Koordinasi dan Supervisi II Brigjen Yudhiawan, serta Direktur Koordinasi dan Supervisi III Brigjen Bahtiar Ujang Purnama. Kemudian Direktur Monitoring Brigjen Agung Yudha Wibowo dan Direktur Pembinaan Peran Serta Masyarakat Brigjen Kumbul Kusdwijanto Sudjadi.

Dengan demikian, total ada sembilan jenderal Polri yang telah menjabat posisi strategis di KPK. Termasuk Komjen Firli Bahuri sebagai Ketua KPK, Brigjen Setyo Budiyanto sebagai Direktur Penyidikan, dan Direktur Penyelidikan Brigjen Endar Priantoro. Secara total, dari 1.627 pegawai KPK saat ini, 107 di antaranya berasal dari unsur kepolisian. “Bedol desa Kepolisian ke Kuningan (kantor KPK) itulah yang membuat banyak problem. Termasuk problem yang terkuak ke publik maupun yang berbicara sesama penyidik,” kata Uceng pekan lalu.

Upaya pelemahan KPK tidak berhenti di situ. Langkah Presiden Joko Widodo (Jokowi) menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2020 juga dianggap sebagai salah satu upaya sistemik melemahkan KPK. Beleid ini berbicara tentang pengalihan status pegawai KPK menjadi aparatur negeri sipil (ASN). Aturan itu dianggap rawan digunakan pemerintah untuk menyingkirkan orang-orang berintegritas dan masih independen di KPK.

Kabar terakhir, pada Ahad, 2 Mei 2021, 75 pegawai senior KPK tidak lolos tes wawasan kebangsaan (TWK) sebagai syarat alih status ASN. Mereka yang tidak lolos terancam dipecat dan dikembalikan ke instansi asal. Satu di antara yang tidak lolos adalah Novel Baswedan.

Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri dan Sekretaris Jenderal KPK Cahya Hardianto Harefa membenarkan bahwa mereka telah menerima hasil asesmen TWK dari Badan Kepegawaian Negara Kementerian PAN-RB. Namun, dokumen masih disegel sehingga tidak diketahui siapa saja nama-nama yang tidak lolos.

Penyidik senior KPK, Novel Baswedan
Foto: Pradita Utama/detikcom

Sementara itu, Novel mengaku sudah mendengar kabar dirinya tidak lolos TWK. Namun dia belum dapat memastikan apakah kabar itu valid atau tidak. “Nanti, begitu disampaikan itu benar, baru bisa dikonfirmasi, kan. Tapi rasanya kayak begitu, sih,” imbuh Novel, Selasa, 4 Mei 2021.

Selain Novel, nama lain yang dikabarkan tidak lolos TWK adalah Ketua Wadah Pegawai KPK Yudi Purnomo. Yudi mengaku sudah mendengar kabar dirinya tidak lolos TWK. Namun dia dan pegawai KPK lainnya mengaku belum mau mengambil sikap terkait kabar itu. “Kita lihat nanti pengumumannya. Resminya. Nanti (sikap Wadah Pegawai KPK), biar rame orang luar dulu,” tulis Yudi kepada detikX melalui pesan singkat, Selasa, 4 Mei 2021.

Tak pelak, kabar sumir itu membuat kritik kepada KPK pun kian bertubi-tubi. Plt Juru Bicara KPK Bidang Pencegahan Ipi Maryati pun memaklumi ihwal itu. Wajar, kata dia, apabila banyak kritik datang kepada KPK dengan sejumlah kontroversi yang terjadi belakangan. Namun dia membantah apabila ada yang mengatakan bahwa sistem perekrutan KPK menjadi penyebab kontroversi itu. Dia memastikan seluruh proses rekrutmen di KPK hanya bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pelaksanaan tugas dan fungsi pemberantasan korupsi.

“Dalam melakukan perekrutan dari kementerian atau instansi lainnya, termasuk untuk memenuhi kebutuhan penyidik dari instansi Polri, KPK tetap memberlakukan prosedur perekrutan yang diusulkan oleh instansi asal dan kemudian dilakukan tes kompetensi oleh pihak ketiga yang independen, sehingga proses rekrutmen tetap akuntabel,” tukas Ipi kepada detikX melalui pesan singkat.


Penulis: Fajar Yusuf Rasdianto
Editor: Irwan Nugroho
Desainer: Fuad Hasim

***Komentar***
[Widget:Baca Juga]
SHARE