INVESTIGASI

Jerat Beleid Vaksin
Si Miskin

“Ini adalah perintah, harus dijalankan. Yang tidak mau (divaksinasi) tinggal di hutan rimba sana,” tutur Ngabalin.

Ilustrasi : Luthfy Syhaban

Senin, 22 Februari 2021

Mengenakan batik cokelat bercorak kuning, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin (BGS) hadir dalam rapat bersama Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia di gedung parlemen, Jakarta Pusat. Air mukanya lesu lantaran baru saja menerima suntikan vaksin Sinovac. Efek samping vaksin itu bikin lemas, kata dia. Tetapi apa boleh dikata, rapat itu cukup penting. Rapat pada Kamis, 14 Januari 2021, yang berlangsung hampir delapan jam itu membahas rumusan aturan terkait mekanisme penyediaan dan distribusi vaksin bagi masyarakat umum.

Sekitar pukul 18.00 WIB, rapat selesai dan menghasilkan lima inti kesimpulan dengan 13 poin di dalamnya. Satu poin kesimpulan dibahas cukup panjang dan berulang-ulang, yakni ayat 1 poin G. Mulanya, poin itu berbunyi “Tidak menerbitkan dan menerapkan ketentuan dan/atau peraturan denda dan/atau pidana untuk menerima vaksin COVID-19”. Namun, pada akhir rapat, BGS meminta untuk mengganti frasa “menerbitkan dan menerapkan” menjadi “mengedepankan”. Hasilnya, kesimpulan pada ayat 1 poin G pun diubah menjadi “Tidak mengedepankan ketentuan dan/atau peraturan denda dan/atau pidana untuk menerima vaksin COVID-19”.

Dalih BGS waktu itu, jika kata “menerbitkan dan menerapkan” tidak diganti, kesimpulan rapat bakal bertabrakan dengan regulasi yang berlaku sebelumnya. Peraturan yang dimaksud adalah UU Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular dan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1991 tentang Penanggulangan Wabah Penyakit Menular. UU itu mengatur soal jerat hukum pidana bagi pihak-pihak yang menghalangi upaya menanggulangi pagebluk. Sementara itu, PP 40 mendikte definisi terkait upaya menghalang-halangi penanggulangan pandemi itu. “Menyusahkan kita bersamalah kalau kita, misalnya, harus mengeluarkan satu statement yang bertentangan dengan payung-payung regulasi yang sudah ada,” tutur BGS.

Presiden Joko Widodo, Menteri Kesehatan Budi Gunawan Sadikin, dan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan memantau vaksinasi pedagang Pasar Tanah Abang, pekan lalu.
Foto: Hafidz Mubarak/ANTARA Foto


Pemerintah seharusnya berfokus pada sosialisasi dan evaluasi pengadaan serta pelaksanaan vaksinasi yang sudah dilakukan.”

Lima pekan berselang setelah hasil rapat diteken Komisi IX dan Kemenkes, tepatnya pada Selasa, 9 Februari 2021, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 14 Tahun 2021. Perpres ini berisi poin-poin perubahan atas Perpres Nomor 99 Tahun 2020 tentang Pengadaan Vaksin dan Pelaksanaan Vaksinasi dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Coronavirus Disease 2019 (COVID-19). Dalam Perpres Vaksinasi itu tertulis aturan soal sanksi bagi penolak vaksin.

Tertuang dalam Pasal 13A ayat 4 Perpres Nomor 14 Tahun 2021, setiap orang yang telah terdaftar sebagai sasaran penerima tetapi menolak vaksin akan dikenai sanksi administratif. Sanksi bisa berupa penundaan atau penghentian pemberian bantuan sosial (bansos) atau jaminan sosial, penundaan atau penghentian layanan administrasi pemerintah, dan denda. Pemberian sanksi merujuk pada UU Nomor 4 Tahun 1984 Pasal 14 dengan aturan turunannya di PP Nomor 40 Tahun 1991 Pasal 13 dan 14.

Pasal 14 UU itu mengatur tentang pengenaan denda sebanyak-banyaknya Rp 1 juta dan hukuman penjara maksimal 1 tahun bagi siapa pun yang menghalangi pencegahan penyakit menular, termasuk upaya pengebalan atau vaksinasi. Dalam pasal yang sama, diatur juga mengenai jerat atas kealpaan seseorang dalam pencegahan wabah. Hukumannya, penjara selama-lamanya 6 bulan dan denda maksimal Rp 500 ribu. Sedangkan Pasal 13 PP Nomor 40 Tahun 1991 memerinci siapa saja yang mesti berperan dalam upaya pengebalan. Mereka adalah semua warga negara yang berisiko terkena penyakit menular. “Tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dilakukan dengan atau tanpa persetujuan dari orang yang bersangkutan,” bunyi Pasal 14 PP Nomor 40 Tahun 1991. Dalam kata lain, pengebalan atau vaksinasi itu bersifat wajib bagi siapa pun yang rentan terpapar pandemi.

Adanya perpres terbaru ini sekaligus menjadi 'tongkat' ganda pemerintah untuk 'mementung' para penolak vaksin. Sebab, dalam diktum ini pula tersemat payung hukum bagi pemerintah daerah (pemda) untuk membuat aturan turunan pemberian sanksi kepada penolak vaksin. Perpres ini juga sekaligus memberi kekuatan hukum tambahan bagi Peraturan Daerah (Perda) DKI Jakarta Nomor 2 Tahun 2020 yang sebelumnya sempat digugat ke Mahkamah Agung (MA) pada periode 2020. Pada Pasal 30 Perda 2/2020, tertuang aturan bahwa penolak vaksin bakal dikenai denda maksimal Rp 5 juta. Tidak ada kriteria khusus terkait subjek penerima denda. Miskin atau kaya sama saja, tetap dikenai denda dengan nilai setara.

Menkes Budi Gunadi Sadikin
Muchlis Jr/Biro Pers Sekretariat Presiden

Tenaga Ahli Utama Kedeputian Kantor Staf Presiden (KSP) Ali Mochtar Ngabalin menyebut pemberian sanksi ini merupakan langkah yang harus diambil pemerintah untuk mempercepat penanggulangan virus Corona, yang bakal ‘berulang tahun’ pada 2 Maret 2021. Kecepatan vaksinasi amat dibutuhkan untuk memastikan kekebalan massal yang dicita-citakan bisa tercapai sesuai rencana, yakni 12 bulan setelah vaksinasi awal dilaksanakan. Setidak-tidaknya bisa menepis prediksi Bloomberg yang menyebut pandemi COVID-19 di Indonesia bakal selesai dalam 10 tahun jika dikomparasikan dengan kecepatan vaksinasinya. Karena itu, tidak ada pilihan lain, kata Ngabalin, kecuali mewajibkan vaksinasi. “Ini adalah perintah, harus dijalankan. Yang tidak mau (divaksinasi) tinggal di hutan rimba sana,” tutur Ngabalin kepada detikX, pekan lalu.

Namun anggota Komisi IX dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Kurniasih Mufidayati menilai penerbitan Perpres bermasalah dan telah mencederai kesepakatan DPR dengan pemerintah dalam rapat kerja Januari lalu. Dia menyayangkan adanya aturan penghapusan bansos bagi para penolak vaksin. Mufida menggarisbawahi poin ini lantaran mayoritas penerima bansos merupakan lapisan masyarakat yang belum cukup teredukasi soal manfaat vaksin. Mestinya, kata dia, pemerintah lebih mengedepankan sosialisasi dan langkah persuasif dengan mengedukasi masyarakat supaya lebih memahami tujuan vaksinasi, bukan mengebiri bansos, yang sejatinya tanggung jawab negara.

“Pemerintah seharusnya berfokus pada sosialisasi dan evaluasi pengadaan serta pelaksanaan vaksinasi yang sudah dilakukan. Dengan begitu, kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan kesadaran dalam melaksanakan program vaksinasi akan timbul dengan sendirinya. Masyarakat akan dengan ikhlas dan sukarela divaksinasi tanpa adanya ancaman-ancaman yang sebetulnya tidak perlu," imbuh Mufida dalam keterangan resmi, Senin, 15 Februari 2021.

Pakar kebijakan publik dari Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah juga mengkritisi penerbitan Perpres Vaksinasi. Pasalnya, aturan tersebut mengatur secara gamblang soal hukuman untuk penolak vaksin, tapi tidak memberi jaminan yang jelas jika seseorang mengalami efek samping pascavaksinasi. Dalam Pasal 15B Perpres hanya dijelaskan pemerintah bakal memberikan santunan kematian dan santunan cacat jika ada efek samping atas pemberian vaksin tanpa dituliskan secara terperinci nilai santunannya. Perpres ini hanya menjelaskan nilai kompensasi yang diberikan bakal ditetapkan oleh Menkes dengan persetujuan Menteri Keuangan.

Ali Mochtar Ngabalin
Foto: Ristu Hanafi/detikcom

Karena itu, Trubus menilai pembentukan Perpres cenderung dipaksakan dan terlalu prematur. Kesannya, sambung dia, lebih seperti ancaman ketimbang sekadar aturan. “Inilah yang membuat masyarakat itu malah takut, ada apa? Karena sebetulnya masyarakat tanpa dikasih ancaman pun sudah tahu kok bahwa pemerintah mau vaksinasi,” jelas Trubus kepada detikX, Kamis, 18 Februari 2021.

Ketua Bidang Pengembangan Profesi Perhimpunan Ahli Epidemiologi Masdalina Pane memberikan pandangan serupa. Dia menilai sanksi bagi penolak vaksin tidak tepat jika diberlakukan sekarang. Ketimbang menerapkan sanksi, lebih baik pemerintah memastikan terlebih dahulu jumlah vaksin yang tersedia sudah cukup bagi setidaknya 80 persen populasi Tanah Air. Sebab, hingga saat ini saja, vaksin yang tersedia di Indonesia masih jauh dari total kebutuhan yang direncanakan. Baru ada 3 juta vaksin dari total kebutuhan 426 juta dosis. Tetapi, kalaupun harus diberlakukan sanksi, itu mesti menjadi opsi terakhir. Dengan syarat, aturan itu harus berlaku bagi semua kalangan dan tidak terbatas hanya pada penerima bansos. “Karena yang BLT (bantuan langsung tunai) orang miskin. Sementara, artinya kalau orang kaya boleh dong (menolak vaksin) karena mereka kan nggak dapat BLT,” tegas Pane kepada detikX, Kamis, 18 Februari 2021.

Sementara itu, Ketua Komisi IX DPR Felly Estelita Runtuwene menduga ada yang luput dari pembentukan Perpres Vaksinasi. Dia yakin Jokowi tidak akan serta-merta menerbitkan penghapusan bansos itu jikalau ada koordinasi yang baik antara Presiden dan jajarannya. Dia menduga BGS tidak pernah menyampaikan hasil raker bersama DPR kepada Istana sehingga ujug-ujug Jokowi pun menerbitkan Perpres. Sebab, kata dia, dalam raker itu, pemerintah dan DPR telah sepakat untuk tidak mengedepankan sanksi bagi para penolak vaksin. “Pak Menteri (Menkes BGS) ini yang mewakili Presiden yang ada di Komisi IX. Dia harusnya menyampaikan dong kalau hasil rapat Komisi IX hasilnya seperti itu, harusnya disampaikan kepada Pak Presiden pada waktu itu. Tidak akan Pak Presiden serta-merta mengeluarkan aturan seperti itu kalau misalkan Pak Menteri bicara,” jelas Felly kepada detikX.

Terkait kebenaran pernyataan Felly ini, detikX telah mengkonfirmasi kepada Kepala Biro Hukum dan Organisasi Kemenkes Sundoyo, yang dikabarkan terlibat dalam perumusan Perpres. Namun, hingga artikel ini diterbitkan, Sundoyo masih enggan menanggapi permintaan wawancara yang diajukan. Sementara itu, Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes Maxi Rein Rondonuwu mengaku tidak tahu-menahu soal pembentukan Perpres ini. “Kalau itu bukan urusan saya itu, bukan wewenang saya menjelaskan,” kata Maxi.

Momen vaksinasi tenaga medis di Jakarta
Foto: Rengga Sancaya/detikcom

Juru bicara Vaksinasi COVID-19 dari Kemenkes Siti Nadia Tarmizi juga emoh menanggapi soal dugaan kelalaian BGS dalam melaporkan hasil rapat kepada Presiden. Dia hanya bisa memastikan semua poin yang ada dalam Perpres 14 itu sudah dipertimbangkan secara matang dan telah disepakati bersama antar-kementerian dan lembaga. Adanya sanksi penghapusan bansos masuk dalam Perpres, kata Nadia, lantaran akses kalangan sosial-ekonomi terhadap informasi masih minim sehingga rentan terpapar hoaks. Kalangan sosial-ekonomi juga dianggap sebagai kelompok yang lebih rentan terpapar pandemi. Walau begitu, Nadia memastikan, pemerintah tetap akan lebih mengedepankan tindakan persuasif dalam penerapan Perpres. “Jadi, di tengah berbagai kekurangan-kelebihan itulah, makanya muncul apa yang ada di dalam Perpres. Sebagai ini saja sih, mitigasi saja. Kita tetap pada prinsipnya itu persuasif,” pungkas Nadia.


Reporter: Fajar Y. Rasdianto, Syailendra Hafiz Wiratama
Penulis: Fajar Y. Rasdianto
Editor: Irwan Nugroho
Desainer: Luthfy Syahban

***Komentar***
[Widget:Baca Juga]
SHARE