Ilustrasi : Edi Wahyono
Ratusan dewan pimpinan cabang (DPC) dan dewan pimpinan daerah (DPD) Partai Demokrat berbondong-bondong mengirim surat kesetiaan kepada Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) pekan lalu. Mereka berjanji akan selalu loyal di bawah kepemimpinan AHY sebagai Ketua Umum Demokrat.
Surat itu terhatur dari sebagian besar kader Demokrat di Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, Lampung, dan Sulawesi Selatan. Di Jawa Timur, 34 pengurus DPC berikrar setia kepada AHY sebagai Ketum Demokrat yang terpilih secara sah melalui Kongres V pada Maret 2020.
Di Jawa Barat, para kader Demokrat bahkan sampai rela membuat pakta integritas bercap darah demi menunjukkan kesetiaan mereka kepada AHY. Wakil Ketua DPD Demokrat Jawa Barat Asep Wahyuwijaya mengatakan hal ini dilakukan sebagai bukti kesetiaan DPD-DPC Demokrat di Jawa Barat terhadap putra sulung Susilo Bambang Yudhoyono tersebut. “Semua orang tahu pengurus Demokrat di Jawa Barat itu loyalnya ke Ketum AHY. Harga mati,” tegas Asep, Kamis, 4 Februari 2021.
Baca Juga : Siasat Gelap di Kamar 2801
Pengurus Demokrat Jember menunjukkan surat loyalitas kepada AHY
Foto : Yakub Mulyono
Ini adalah perilaku kekuasaan model lama, model Orde Baru. Sejarah Orde Baru adalah sejarah intervensi dan pengambilalihan partai orang lain.”
Sumpah setia para kader ini merupakan respons dari terungkapnya rencana pengambilalihan posisi Ketua Umum Demokrat dari pemilik sahnya pada akhir Januari lalu. Kamar 2801 Hotel Aston Rasuna, Kuningan, Jakarta Selatan, menjadi saksi bisu lobi-lobi politis soal pengambilalihan kekuasaan ini.
Sembilan orang pengurus DPC Demokrat Kalimantan Selatan yang hadir dalam pertemuan di hotel itu menjadi saksi kunci yang membongkar upaya pendongkelan AHY. Bekas petinggi Demokrat Nazaruddin, satu kader aktif Jhoni Allen Marbun, dan Kepala Kantor Staf Presiden Moeldoko disebut-sebut memainkan peran aktif dalam manuver politik ini.
“Kami masih berkeyakinan, rasanya tidak mungkin cara yang tidak beradab ini dilakukan oleh pejabat negara yang sangat kami hormati dan yang juga telah mendapatkan kepercayaan rakyat,” tutur AHY ketika menggelar konferensi pers di kantor Dewan Pimpinan Pusat Demokrat, Taman Politik Wisma Proklamasi, Jakarta, Senin, 1 Februari 2021 siang.
Rencana melengserkan AHY sebagai Ketua Umum Demokrat ini bukan yang pertama kalinya. Jauh sebelum peristiwa di kamar 2801, riak di lingkup internal Demokrat terjadi pada 2019. Pada saat itu, SBY yang sebentar lagi lengser dari Ketua Umum Demokrat berencana menunjuk AHY sebagai calon ketum baru sepeninggalnya.
Mereka yang mengaku sebagai Forum Komunikasi Pendiri dan Deklarator (FKPD) PD mendesak SBY mempercepat KLB untuk menentukan ketua umum baru. Aktor utama dalam friksi internal ini adalah Hengky Luntungan, Subur Sembiring, Sahat Saragih, Murtada Sinuraya, Akbar Yusuf Siregar, dan Mustika Karim. Senior PD Max Sopacua juga turut mendukung gerakan ini dari luar tanpa mencemplungkan diri di FKPD.
Kala itu SBY dianggap gagal mendongkrak elektabilitas partai sehingga layak digantikan oleh sosok baru. Hengky Luntungan muncul sebagai nama yang dinilai tepat menggantikan SBY. Hengky, yang merupakan salah satu pendiri Demokrat, dianggap sudah pantas menjabat posisi strategis itu lantaran pengorbanannya pada Demokrat sejak awal berdiri.
Tapi SBY bergeming dalam perkara ini. Dia mempertahankan posisinya hingga Maret 2020 sebelum akhirnya digantikan oleh putra biologisnya sendiri, AHY, melalui Kongres V Demokrat. Suami Annisa Pohan itu terpilih secara aklamasi sebagai Ketua Umum Demokrat periode 2020-2025.
Berbeda dengan peristiwa yang baru saja terjadi, gejolak di Demokrat waktu itu digerakkan oleh kalangan internal. Sekarang upaya menggelar KLB turut dimainkan oleh kalangan di luar Demokrat, yaitu Moeldoko, yang disebut-sebut mengincar jabatan ketua umum sekaligus untuk pencalonan presiden 2024. Sekretaris Majelis Tinggi PD Andi Mallarangeng menilai apa yang dilakukan Moeldoko itu adalah drama pengulangan para pemimpin pada masa Orde Baru.
“Ini adalah perilaku kekuasaan model lama, model Orde Baru. Sejarah Orde Baru adalah sejarah intervensi dan pengambilalihan partai orang lain. Yang terakhir itu PDI kongres di Medan, tahun berapa itu? 1996. Suryadi menyingkirkan Bu Megawati. Nah, masa kita mau mengulang lagi yang begini ini?” kata Andi kepada detikX pekan lalu.
AHY dan Ibas bersama istri masing-masing saat AHY baru saja resmi terpilih menjadi Ketua Umum Demokrat dalam Kongres V, Maret 2020
Foto : Agung Pambudhy/detikcom
Namun, terlepas dari itu, berpindahnya tongkat estafet kepemimpinan Demokrat dari SBY kepada AHY memang telah melahirkan sikap pro-kontra di kalangan internal Demokrat. Pasalnya, menurut bekas kader Demokrat Ferdinand Hutahaean, terpilihnya AHY sebagai Ketua Umum saat itu tidak didasari oleh kepercayaan kader terhadap kapasitas sang mayor, melainkan hanya karena rasa hormat terhadap SBY sebagai sosok sentral di Demokrat. Bahkan sempat muncul nama Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas), yang tidak lain adalah putra kedua SBY, yang dinilai lebih layak menjadi nakhoda Demokrat.
Ombak yang mengiringi awal kepemimpinan AHY lambat laun membesar karena banyak anggota dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD) dari Demokrat yang mendapatkan ancaman penggantian antarwaktu (PAW). Padahal mereka mengklaim tak pernah melakukan tindakan yang melanggar anggaran dasar/anggaran rumah tangga (AD/ART) partai. Pelan dan pasti, soliditas kader di bawah tangkup kepemimpinan AHY pun terus tergerus. Saat ini, menurut Ferdinand, dukungan kader terhadap AHY sebagai pemimpin hanya tersisa 60 persen. Sedangkan 40 persen lainnya masih meragukan kapasitas AHY sebagai pemimpin yang mampu membawa kapal Demokrat kembali ke masa jayanya seperti saat dipimpin SBY.
“Jadi itu yang saya lihat situasinya. Kalau bicara solid, ya tidak perfect-lah solidnya. Tapi mayoritas, kalau bicara Yudhoyono, SBY, semua masih melihat SBY itu sebagai figur kunci di Demokrat ini. Tapi tidak demikian dengan melihat AHY,” beber Ferdinand kepada detikX, Kamis, 4 Februari 2021.
Kualitas kepemimpinan AHY itu pun semakin dipertanyakan ketika eks kader Demokrat Ruhut Sitompul mengungkap adanya masalah partai di bawah AHY. Di bawah kepemimpinan AHY, banyak kader PD daerah yang mengeluhkan biaya tanggungan ketika ada pejabat DPP yang datang ke daerah mereka. Lingkaran AHY di tubuh Demokrat saat ini juga disebutnya sebagai penjilat.
Memang, menurut Ruhut, bagi kader yang menolak kepemimpinan AHY, partai berlambang logo Mercy itu sudah seperti kerajaan karena beberapa kali dipimpin orang dari keluarga yang sama. Ketidaknyamanan ini menimbulkan ketidakpuasan sebagian kader sehingga berujung pada upaya pendongkelan AHY. Dalam celotehnya itu, Ruhut lagi-lagi menyebut bahwa kader Demokrat ingin sosok Moeldoko yang menjadi pemimpin baru mereka. “Sampai tadi malam menghubungi saya, ‘Kami tetap ingin kongres luar biasa (KLB). Kami menganggap yang bisa menyelamatkan ini Pak Moeldoko’. Mereka bilang begitu,” ujar Ruhut pekan lalu.
Sikap serupa disampaikan senior Demokrat, Darmizal, terkait dengan isu pengambilalihan kursi AHY. Dia menilai saat ini Demokrat telah kehilangan sosok pemimpin yang mampu mengayomi dan terbuka terhadap seluruh kadernya. Darmizal, yang terang-terangan mendukung gerakan itu, menyayangkan tindakan AHY yang membuka informasi adanya upaya pelengseran tersebut. Sebab, sejatinya gejolak internal itu tidak elok disampaikan ke publik. Karena itu, makin banyak kader PD yang mengeluhkan kepemimpinan AHY dan membandingkannya dengan Ketum-ketum Demokrat sebelumnya. ”Banyak yang kami dapatkan info, kawan-kawan di daerah itu seperti tidak mendapatkan selayaknya apa yang mesti mereka perankan,” jelas Darmizal kepada detikX di restoran Sate Khas Senayan, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis, 4 Februari 2021.
Mantan Ketua Umum Demokrat dan Presiden ke-6 RI, Susilo Bambang Yudhoyono
Foto : Instagram @aniyudhoyono
Di lain pihak, Kepala Badan Komunikasi Strategis Partai Demokrat, Herzaky Mahendra Putra, heran terhadap informasi seputar kejelekan Demokrat yang diumbar oleh berbagai pihak tersebut. Faktanya, beberapa survei terakhir menunjukkan peningkatan popularitas Demokrat. Pilkada di beberapa daerah juga dimenangi kader Demokrat. Demokrat juga terus mengawal isu-isu yang terkait dengan kepentingan masyarakat, seperti penolakan omnibus law Undang-Undang Cipta Kerja dan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila.
“Itu luar biasa lho, ada efek elektoral yang tinggi ke Partai Demokrat sehingga, kalau kami lihat, kenapa mau diambil alih, ya karena ada potensi ini,” kata pria yang akrab disapa Zaky tersebut kepada detikX pekan lalu. Ia menambahkan, peristiwa rencana pengambilalihan kepemimpinan Demokrat tidak membuat partainya rapuh. “Adanya kejadian seperti ini justru membuat kondisi di internal kami semakin solid,” ucap Zaky.
Polemik yang terjadi di tubuh Demokrat ini memang pada akhirnya membuka mata publik akan adanya friksi internal di partai tersebut. Setidaknya publik jadi tahu bahwa saat ini ada banyak kader Demokrat yang punya sikap berseberangan dengan AHY. Banyak pula dari mereka yang ragu ke mana arungnya bahtera Demokrat di bawah sang nakhoda baru. Karena itulah, pengamat politik dari Universitas Pelita Harapan Emrus Sihombing menilai perlu adanya figur kunci yang ikut turun gunung dalam penyelesaian masalah di kalangan internal Demokrat. Sosok itu adalah SBY, yang dua periode secara beruntun menjabat Presiden RI pada 2004-2009 dan 2009-2014.
Sikap kepemimpinan SBY yang elegan dan pengalamannya dalam kancah politik diyakini mampu menjembatani konsolidasi di antara kader Demokrat yang berseberangan. Dialah satu-satunya sosok yang dinilai sanggup merangkul para senior untuk kembali memperkuat soliditas Demokrat. “Dengan segala kerendahan hati, saya menyarankan SBY turun gunung menyelamatkan partai ini karena partai ini kita butuhkan, karena partai ini juga milik bangsa dan negara,” kata Emrus kepada detikX, Kamis, 4 Februari 2021.
Reporter: Tim detikX
Penulis: Fajar Y. Rasdianto
Editor: Irwan Nugroho
Desainer: Luthfy Syahban