Batik di sejumlah kota seperti Solo, Yogyakarta, Cirebon, dan Pekalongan sudah menjadi hal yang lumrah. Daerah-daerah itu memang dikenal sebagai pusat industri batik di tanah air. Namun kini, hampir di setiap daerah di Indonesia dari Sabang hingga Merauke, muncul semangat untuk menonjolkan batik khas daerahnya masing-masing — termasuk Kota Depok di Jawa Barat.
Depok mungkin lebih dikenal sebagai kota penyangga Jakarta, tapi di balik hiruk pikuk urbanisasinya, kota ini menyimpan jejak sejarah yang panjang. Depok memiliki tradisi dan budaya yang khas, yang menjadi sumber inspirasi bagi para pengrajin batik lokal. Karena itulah, batik Depok banyak menonjolkan sisi budaya dan kearifan lokal masyarakatnya.
Setiap motif batik Depok mengandung makna tersendiri. Salah satu yang paling dikenal adalah Batik Gong Si Bolong. Motif ini terinspirasi dari kesenian gamelan yang berkembang di wilayah Tanah Baru, Depok. Gong Si Bolong bukan sekadar alat musik, melainkan simbol perpaduan antara seni musik dan tari tradisional yang hidup di masyarakat.
Tarian Tayub menjadi bagian penting dalam lahirnya motif ini. Tayub menggambarkan suasana panen dengan gerakan lembut namun berirama, berpadu dengan unsur silat yang menjadi ciri khas masyarakat Betawi-Depok. Dari situ lahirlah corak batik yang tidak hanya indah secara visual, tetapi juga sarat filosofi kehidupan agraris dan harmoni sosial.
Tokoh penting di balik lahirnya kembali batik Depok adalah Suharno, pendiri Batik Ajbura Tradjumas di kawasan Pengasinan. Ia memulai kembali usahanya pada tahun 2014, setelah vakum cukup lama sejak 1994. Dengan semangat mempertahankan warisan budaya, Suharno bertekad menjadikan batik Depok sebagai identitas lokal yang dikenal lebih luas.
Dalam proses produksinya, Suharno melibatkan para pekerja berpengalaman dari Pekalongan, Jawa Tengah. Salah satunya adalah Bu Sur, yang bertugas mencanting batik secara teliti dan penuh kesabaran. Setelah proses mencanting selesai, kain batik dibilas dan dijemur hingga warna dan motifnya tampak sempurna.
Batik Ajbura Tradjumas kini menjadi salah satu penggerak utama batik Depok. Suharno rutin mendapatkan pesanan dari Pemerintah Kota Depok, baik untuk acara resmi maupun produk cenderamata khas daerah. Selain itu, ia juga menjual busana batik secara eceran dengan berbagai varian model dan motif.
Harga batik produksinya bervariasi, mulai dari Rp175 ribu hingga Rp2,5 juta, tergantung pada jenis bahan dan tingkat kerumitan motif. Melalui karya dan dedikasinya, Suharno berharap batik Depok tidak sekadar menjadi kain bermotif, tetapi juga cerminan jati diri dan kebanggaan warga Depok terhadap budayanya sendiri.



