Putar Suara

Program Makan Bergizi Gratis dari pemerintahan Prabowo - Gibran yang digadang sebagai jawaban atas perbaikan gizi anak-anak Indonesia justru berubah menjadi polemik panjang. Melalui photo story ini, saya mencoba menuturkan ironi besar itu lewat bahasa visual.

Dalam satu frame, saya memotret anak-anak sekolah yang dikelilingi oleh makanan sehat sayur segar, buah-buahan berwarna cerah, susu, nasi lengkap dengan lauk bernutrisi. Tata letak makanan sengaja saya buat melingkari tubuh mereka, seolah-olah menjadi benteng perlindungan yang seharusnya menyokong tumbuh kembang anak. Foto ini adalah representasi tentang harapan, tentang idealisme gizi yang semestinya mereka dapatkan dari program bernama makan bergizi.

Namun di sisi lain, saya menampilkan kontras yang pahit. Anak-anak lain saya tempatkan di tengah lingkaran junkfood dan snack: burger berminyak, sosis instan, minuman berpemanis, keripik, dan makanan cepat saji lain yang akrab mereka temui sehari-hari. Dari segi fotografis, komposisi ini saya buat rapat dan menekan, sehingga anak-anak tampak seperti terkepung, tidak memiliki ruang untuk bergerak. Visual ini menggambarkan kenyataan bahwa mayoritas anak Indonesia justru tumbuh dengan makanan instan yang jauh dari makna bergizi.

Realita tersebut semakin terasa ironis ketika melihat contoh di lapangan. Di sebuah sekolah di Jakarta Utara, program makan bergizi gratis hanya diwujudkan dengan energen dan biskuit malkist. Melalui kamera, saya membayangkan bagaimana jika anak-anak duduk di tengah meja dengan hanya dua benda itu: segelas bubuk instan dan sebungkus biskuit tipis. Gambar yang lahir bukanlah potret gizi

Di balik visual ini, ada fakta yang mengiris. Dari Januari 2025 hingga saat ini, tercatat 6.517 anak di berbagai daerah di Indonesia mengalami keracunan setelah mengonsumsi makanan bergizi gratis versi pemerintah. Dalam bahasa fotografi, angka itu bisa divisualkan sebagai ratusan bangku kelas yang kosong, lembar-lembar buku yang tergeletak tanpa pemilik, dan senyum anak-anak yang berganti menjadi wajah pucat di ruang perawatan.

Ironi ini semakin dalam saat disandingkan dengan angka anggaran. Pada APBN 2026, program makan bergizi gratis mendapat jatah 335 triliun rupiah. Dari jumlah tersebut, 223 triliun diambil dari anggaran pendidikan. Artinya, dana yang seharusnya memperbaiki kualitas guru, membangun laboratorium, atau memberi beasiswa, justru dialihkan untuk sebuah program yang outputnya dipertanyakan. Lebih mengejutkan lagi, per hari negara menghabiskan 1,2 triliun rupiah. Dalam bayangan fotografi, angka fantastis itu bisa saya representasikan sebagai lautan uang yang mengelilingi anak-anak, namun mereka tetap duduk di lantai dengan menu yang hanya berisi snack murahan.

Lewat karya ini, saya ingin mengajak orang melihat tidak hanya dengan mata, tetapi dengan hati. Setiap frame saya buat untuk menabrakkan dua realitas harapan yang seharusnya terwujud dengan gizi seimbang, dan kenyataan bahwa uang triliunan rupiah justru berubah menjadi makanan seadanya, bahkan berujung sakit bagi ribuan anak.

Di negeri dengan tanah yang subur dan laut yang kaya, kamera saya justru menangkap anak-anak yang harus puas dengan segelas minuman instan dan sebungkus biskuit tipis. Di tengah gegap gempita angka triliunan rupiah, lensa saya merekam perut-perut kecil yang tetap kosong. Masa depan mereka seakan dipaksa berkompromi dengan kebijakan yang kehilangan makna sejatinya.

Fotografer
Pradita Utama
Editor
Agung Pambudhy
Design
Dedi Arief Wibisono
***Komentar***
SHARE