INTERMESO

Hidup Tak Harus Punya Rumah

“Kalau buat DP rumah duitnya udah kekumpul. Tapi, kalau gue paksa beli, terus rumahnya jauh dan gue nggak tinggalin, buat apa?”

Ilustrasi: Edi Wahyono

Sabtu, 16 Juli 2022

Memasuki kepala tiga, teman-teman Adi Santoso tengah berlomba membeli rumah. Meski harus menguras tabungan untuk sebuah properti yang letaknya nun jauh di sana, semua terbayarkan asalkan punya atap untuk berlindung. Namun, Adi malah mengambil keputusan berbeda. Ia justru bersyukur tak pernah termakan iklan properti dengan embel-embel rumah untuk kalangan milenial. Adi memandang kepemilikan rumah sebagai hal yang tidak terlalu penting.

“Punya rumah itu buat gue malah jadi beban. Banyak cost yang harus dikeluarin buat maintanance dan sebagainya.” ucap Adi yang masih belum berkeluarga ini. “Lagian enak ngontrak, bebas mau tinggal dan pindah di mana aja.”

Sejak meninggalkan kampung halamannya di Lampung tahun 2009, Adi selalu berpindah-pindah. Ia pernah indekos di Bandung selama empat tahun untuk kuliah. Lalu di Jakarta ia bekerja bagai kutu loncat. Adi pernah berkantor di Jakarta, Bekasi, dan Tangerang. Semua ia lalui dengan pindah dari satu kontrakan ke kontrakan lainnya.

“Kalau buat DP rumah duitnya udah kekumpul. Tapi, kalau gue paksa beli, terus rumahnya jauh dan gue nggak tinggalin, buat apa? Dalam sehari paling cuma beberapa jam aja di rumah terus sisanya tua di jalan," katanya.

Jika membeli rumah untuk disewakan kembali, harga beli rumah tidak sebanding dengan harga sewa. Idealnya membeli rumah kalau harga sewa tahunan sudah diatas 5 persen dari harga rumah. Sementara kenaikan harga properti juga tidak menjadi jaminan, seakan tergantung hoki si pemilik rumah. “Kalau apes nggak ada pembangunan, ya, nggak bakal naik signifikan. Selama ini yang gue jalanin nyewa tempat kos atau apartemen jauh lebih efesien dan lebih murah dari sisi cost.”

Ilustrasi maket rumah di luar Jakarta yang dipamerkan beberapa waktu lalu.
Foto: Rachman Haryanto/detikcom

Kalau menyewa properti, Adi juga tak perlu pusing mengurusi perbaikan atap bocor atau masalah air yang mampet. Semuanya bisa diurus oleh pemilik properti. Uang tabungannya pun bisa diputar untuk diinvestasikan ke instrumen saham maupun reksa dana. Ketimbang beli rumah, uang di tabungannya sebesar Rp 60 juta malah digunakan untuk membeli mobil Toyota Yaris ‘bakpao’ bekas keluaran tahun 2013.

“Kayaknya banyak anak muda yang lebih pilih beli mobil dari pada rumah. Apalagi harga rumah sekarang beneran nggak masuk akal,” ucap Adi yang memilih memperbaiki mobilnya sendiri dengan belajar otomotif melalui YouTube.

Kini Adi sudah resign dari kantornya dan baru memulai usaha di bidang jasa pasang CCTV. Ia memilih mobil sebagai sarana untuk penunjang mobilitasnya. “Sebagai enterpreneur, buat gue malah lebih wajib beli mobil dari pada rumah. Kalau mau beli rumah mendingan di kampung, harganya murah tapi rumah yang kita dapetin segede istana,” kata Adi.

Orang yang tidak punya rumah bukan berarti tidak punya uang. Andine Juniarti, seorang pegawai bank yang melayani nasabah prioritas begitu heran dengan salah satu nasabahnya. Dengan penghasilan Rp 600 juta setiap bulan dari berbagai macam usaha miliknya, termasuk franchise mini market, tidak satu pun aset yang ia miliki berupa rumah tinggal.

“Padahal uangnya itu lebih dari cukup buat beli rumah di kawasan elit kayak Pondok Indah atau Kemang,” ucap Andine keheranan.

Sebagian pekerja di Jakarta lebih memilih menyewa apartemen dibandingkan membeli rumah di daerah penyangga
Foto: Yuni Ayu/detikcom

Andine lebih tercengang lagi saat mendengar jawaban nasabahnya. “Alasannya itu simple banget. Cuma karena beliau itu nggak mau repot urusin benerin rumah. Dan, kalau banyak rumah, semakin repot ngurus PBB, pajak, dan sebagainya. Intinya dia cuma nggak mau repot aja.”

Saran orang tua tidak selalu benar, terkadang bisa jadi menyusahkan. Setidaknya itulah yang dirasakan Fauzy Ramadhan setelah membeli rumah karena dikompori orang tua dan mertuanya. Setelah menikah, awalnya Fauzy memilih mengontrak di sebuah apartemen di kawasan Jakarta Barat karena dekat dengan kantor Fauzy dan istrinya.

“Saya dan istri sebetulnya baik-baik aja ngontrak dengan alasan efesiensi. Secara keuangan kita memang mampu untuk beli rumah walaupun agak mepet dan sedikit maksa sama tabungan kita berdua,” ucap Fauzy. Karena bujuk rayu orangtuanya, Fauzy kepikiran untuk memiliki rumah sendiri. "Mau sampai kapan kamu ngontrak terus? Kalau sudah punya anak pun masih mau ngontrak?” begitu kata orang tua Fauzy.

Fauzy yang sebelumnya tidak pernah berpikir untuk punya rumah sendiri akhirnya terpacu untuk membeli rumah. Benar saja, tabungan terkuras untuk membeli sebuah rumah seluas 62 meter persegi di atas tanah 72 meter persegi berlokasi di Cisauk, Kabupaten Tangerang. Rumah itu ia beli secara kilat dari sebuah pameran tanpa survei dan tanpa punya bekal pendukung mengenai perumahan yang ia inginkan.

Ilustrasi rumah yang dijual pengembang di luar kota Jakarta
Foto: Rifkianto Nugroho/detikcom

“Waktu itu tahun 2015, tergiur gara-gara dibilang deket sama BSD. Padahal pas saya survei ke lokasi masih jauh banget dari BSD. Mana waktu itu jalanannya masih rusak parah dan macet banget, masih pada pembangunan semua,” kenang Fauzy. Kawasan perumahan tempat hunian yang dibeli Fauzy, terletak di Kecamatan Cisauk, sekitar 10 kilometer dari BSD City, dan masuk ke dalam wilayah Kabupaten Tangerang.

Fauzy tidak sreg dengan rumah yang dibeli, apalagi lokasinya yang sangat jauh dari pusat keramaian. Setelah rumahnya jadi, bangunannya pun tidak sesuai harapan. Rumah itu ia tinggal begitu saja, tak terurus bagai rumah hantu. Lagi pula Fauzy tidak punya dana lebih untuk renovasi. Tabungannya terkuras habis untuk membayar cicilan KPR yang mau tak mau harus ia lanjutkan.

“Miris banget, karena ngotot mau beli rumah sampai harus ngirit. Sabtu-Minggu udah nggak ada lagi istilah jalan-jalan. Makan juga di rumah aja masak sendiri,” keluh Fauzy. Setelah cicilan KPR lunas, ia tak berpikir panjang. Fauzy langsung menjual rumah itu. "Kalau nggak jadi dijual itu rumah nggak akan terpakai. Kita kerjanya di Jakarta semua. Buat apa punya rumah tapi bikin capek di jalan?”


Penulis: Melisa Mailoa
Editor: Irwan Nugroho

***Komentar***
[Widget:Baca Juga]
SHARE