INTERMESO
Jatah cuti melahirkan tak bisa dinikmati semua kalangan. Jangankan tiga bulan sesuai peraturan, bahkan ada ibu pekerja yang cuma mendapat jatah cuti satu bulan.
Ilustrasi: Sejumlah pekerja perempuan tengah beraktivitas di sebuah pabrik pembuatan tisu di Riau (Foto: Rachman Haryanto/detikcom)
Minggu, 26 Juni 2022Hari pertama kembali bekerja setelah sempat absen karena cuti melahirkan terasa berat sekali. Hesti, bukan nama sebenarnya, sampai menangis sesenggukan karena tak rela jika harus meninggalkan bayinya yang masih amat mungil. Tapi apa boleh buat, sebagai buruh di pabrik garmen ia hanya diberi jatah cuti satu bulan. Seminggu sebelum cutinya berakhir pun, atasan Hesti sudah mewanti-wanti dirinya untuk segera kembali bekerja.
“Saya merasa bersalah, saya bukan ibu yang baik. Harusnya, kan, saya ngurus anak. Eh, ini malah ninggalin anak saya,” ucap Hesti sedih setiap mengingat masa itu. Air mata Hesti selalu merembes setiap mengecup kening anaknya sebelum berangkat kerja. “Walaupun di rumah ada suami dan ibu yang sesekali bantu jagain anak saya, tapi saya tetep nggak tega ninggalin anak di rumah.”
Di tempat kerja, fokus dan tenaga Hesti berkurang karena ia harus sambil memeras air susu ibu (ASI). Jangan tanya di mana Hesti memerah ASI. Yang pasti, di lahan produksi tidak akan ada tempat layak untuk memerah, apalagi menyimpan ASI. Beruntung tempat kerjanya tak seberapa jauh dari rumah. Saat jam istirahat, suaminya yang bekerja serabutan menjemput ASI untuk diberikan kepada anaknya.
“Cuma sampai empat bulan, ASI saya stop karena udah nggak keluar. Mungkin karena terlalu stress juga harus kerja sambil mikirin nasib anak di rumah,” katanya.
Potret buruh perempuan di pabrik rokok.
Foto: Juni Kriswanto/AFP
Pabrik garmen tempatnya bekerja di Cikarang hanya memberikan cuti hamil dan melahirkan selama satu bulan. Sebagai pegawai kontrak, Hesti tidak berani protes atau melawan. Jika demikian, bisa jadi ia diberhentikan secara sepihak dari pekerjaannya. Tentu Hesti tak berani mengambil risiko itu.
Di Indonesia, penetapan masa cuti melahirkan diatur dalam Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dengan durasi cuti selama tiga bulan. Namun, hak cuti ini hanya bisa dinikmati oleh karyawan perempuan yang bekerja di sektor formal. Pun demikian, ternyata tidak semua ibu pekerja mendapatkan hak cuti sesuai dengan peraturan perundang-undangan, seperti halnya Hesti.
Pelanggaran hak karyawan perempuan juga ditemui pada Catatan Tahunan 2021 Komnas Perempuan. Pada tiga tahun terakhir, Komnas Perempuan mencatat sejumlah kasus diskriminasi, kekerasan, dan pelanggaran hak maternitas yang dialami oleh pekerja perempuan.
Kasus-kasus tersebut setidaknya melibatkan empat perusahaan yang melanggar hak maternitas pekerja perempuan dengan mengorbankan ratusan pekerja perempuan, termasuk di antaranya pemutusan hubungan kerja karena hamil dan melahirkan. Catatan itu juga mendapati laporan 18 buruh perempuan keguguran yang diduga karena kondisi kerja yang buruk.
Foto ilustrasi sejumlah karyawati di Jakarta tengah berangkat ke tempat kerja mereka, 2 November 2021.
Foto : Rifkianto Nugroho/detikcom
Di sisi lain, cuti melahirkan tiga bulan ternyata juga dirasa belum cukup bagi sebagian ibu pekerja lainnya. Ratna, bukan nama sebenarnya, bercerita, saat masih bekerja di sebuah perusahaan kontraktor bangunan di Jakarta, ia mendapatkan cuti melahirkan tiga bulan yang dibagi dua: sebulan sebelum melahirkan dan dua bulan setelah melahirkan.
Sebulan pascamelahirkan, dia mengalami kondisi mental yang terus menurun. Penyebabnya adalah karena luka jahitan bekas operasi caesarnya yang belum sembuh juga. Sudah begitu, saat itu suaminya harus bertugas ke luar kota dalam waktu yang lama. Di rumah, ia hanya tinggal bersama ibunya yang sudah tua, sehingga kewalahan membantu mengurus bayi dan pekerjaan rumah lainnya.
Di tengah kondisi yang belum stabil itu, Ratna harus kembali ke pekerjaan karena masa cuti melahirkan yang telah habis. Namun, karena merasa tidak kuat, Ratna akhirnya mengundurkan diri. Ia bilang kondisi kesehatannya baru pulih seutuhnya satu tahun setelah melahirkan. Setelah normal, Ratna kembali mencari pekerjaan.
“Setelah kondisi aku udah enak, sekitar 1 tahun setelah melahirkan aku, tuh, mau cari kerja lagi. Tapi, nyari kerja yg mau nerima kondisi kita dengan posisi udah punya anak satu itu agak susah. Setelah enam bulah pontang-panting apply CV, aku baru settle di posisi staff finance juga,” kata Ratna.
Masalah cuti melahirkan belakangan kembali mencuat setelah Ketua DPR Puan Maharani memberi usulan tentang jatah cuti melahirkan menjadi enam bulan dengan meloloskan Rancangan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA) menjadi UU. Selain itu, suami dari ibu yang melahirkan juga mendapatkan cuti 40 hari.
RUU ini dibuat untuk menitikberatkan pada masa pertumbuhan emas anak yang krusial, yaitu di 1.000 hari pertama kehidupan (HPK). Ibu harus mendapatkan waktu yang cukup untuk memberi ASI. Jika HPK itu tidak dilakukan dengan baik, maka anak dapat mengalami gagal tumbuh-kembang dan kecerdasannya tak optimal.
Baca Juga : Di Sini Ada Cuti Melahirkan Enam Bulan
Ketua DPR Puan Maharani
Foto: Dok DPR
“RUU KIA juga mengatur cuti melahirkan paling sedikit enam bulan, serta tidak boleh diberhentikan dari pekerjaan. Selain itu, ibu yang cuti hamil harus tetap memperoleh gaji dari jaminan sosial perusahaan maupun dana tanggung jawab sosial perusahaan,” jelas Puan.
Sejak gagasan ini mencuat, pandangan masyarakat terbagi menjadi dua. Ada yang setuju, namun ada pula yang tidak setuju. Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dr Hasto Wardoyo mengatakan, selain untuk tumbuh-kembang anak, cuti enam bulan dapat meningkatkan keselamatan ibu dan anak sebelum dan setelah melahirkan.
“Kita bisa amankan empat minggu sebelum melahirkan dan 36 minggu kondisi setelah melahirkan. Karena memang nasehat dokter kalau sudah hamil mendekati persalinan tidak boleh ini ya yang berat-berat, kalau aktivitas banyak bisa ketuban pecah atau lahir sebelum waktunya," ungkapnya.
Namun, sejumlah kalangan khawatir jika peraturan ini nantinya malah akan semakin menurunkan tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) perempuan. Kalangan pengusaha juga belum sreg dengan aturan baru itu, karena akan mempengaruhi tingkat produktivitas tenaga kerja. Selain itu, tidak semua perusahaan mampu menanggung gaji pekerja yang sedang cuti panjang karena melahirkan.
Penulis: Melisa Mailoa
Editor: Irwan Nugroho