INTERMESO

Jejak Teror Komando Jihad di Candi Borobudur

Candi Borobudur pernah diledakkan kelompok yang menamakan dirinya Komando Jihad. Kelompok ini disebut-sebut fragmentasi dari gerakan Negara Islam Indonesia (NII) dan Darul Islam (DI).

Foto: Candi Borobudur (Sam Mellish/Getty Images)

Sabtu, 11 Juni 2022

Dua satpam kawasan wisata candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, bersiap-siap untuk berpatroli pada Senin, 21 Januari 1985, malam itu. Salah satu petugas melongkok jam di tangannya. Waktu sudah menunjukkan pukul 01.20 WIB. Keduanya bergegas meninggalkan Pos-1 untuk memeriksa sekeliling candi yang dibangun sejak tahun 780 masehi, di masa Kerajaan Mataram Kuno dari Dinasti Sailendra, dan baru selesai pada masa Raja Samaratungga (820-840 masehi) itu.

Baru sepuluh menit mengayunkan kaki mengitari kawasan candi, tiba-tiba kedua satpam itu dikejutkan oleh suara dentuman yang menggelegar. Tanah bak terguncang. Keduanya pun panik dan berlari. Tapi baru sepuluh langkah berlari, terdengar ledakan susulan. Tidak hanya sekali, namun delapan kali ledakan. Ledakan terakhir terdengar pada pukul 03.40 WIB.

Satpam yang berada di pos-pos lainnya berhamburan ke luar untuk melihat apa yang terjadi. Beberapa di antaranya langsung melaporkan peristiwa itu ke aparat. Tak lama, personel garnisun Magelang tiba untuk menyisir areal candi pada pukul 04.30 WIB. Mereka melihat batu-batu bangunan candi berserakan.

Rentetan ledakan dini hari itu merusak stupa di tiga teras pertama, kedua, dan ketiga di zona Arupadhatu. Ada 2.692 blok batu bagian stupa yang rontok, dan 70 persen blok batu pecah, termasuk dua patung Budha rusak terkena efek bom. Sekitar pukul 09.00 WIB, masyarakat mulai berkerumun untuk melihat suasana pascaledakan di Borobudur.

Tiba-tiba kegemparan kembali melanda. Pasalnya, tim ahli penjinak bom dari Batalyon Zipur IV Polda Jawa Tengah menemukan adanya dua bom yang masih aktif di lantai delapan dan sembilan candi. Untungnya, kedua bom itu berhasil dijinakkan oleh polisi bernama Sersan Sugianto.

Siang hari, Pangdam VII Diponegoro, Mayjen TNI Soegiarto mengumumkan kondisi candi Borobudur tak rusak berat. Ia meminta agar masyarakat tetap tenang. Namun, masyarakat tetap khawatir dengan kondisi candi yang disakralkan oleh umat Budha tersebut.Ledakan di candi Borobudur itu membuat Indonesia menjadi sorotan internasional. Hal itu mengingat Borobudur baru selesai dipugar dengan dana dari badan pendidikan dan kebudayaan dunia atau The United Nations Educational Scientific and Cultural Organization (UNESCO) tahun 1983.

Candi Borobudur sekitar tahun 1993
Foto : Upali Aturigiri-AFP via Getty Images

Dalam keterangannya saat itu, Soegiarto mengatakan, bom yang meledak di Borobudur menggunakan bahan peledak Trinitron Toluen (TNT) tipe batangan PE 808/tipe Dahana. Setiap bom menggunakan tiga batang TNT yang disambung dengan detonator buatan RRC dan dua buah baterai national 1,5 volt. “Semua kabelnya halus dan dipatri dengan rapi,” ungkap Soegiarto.

Aparat segera dikerahkan untuk mengejar pelaku yang diperkirakan berjumlah tiga orang. Dari laporan warga, diketahui ketiga orang itu awalnya menginap di Losmen Borobudur. Mereka pergi meninggalkan losmen dengan alasan hendak berziarah ke Suroloyo (puncak bukit Menoreh). Tapi menjelang dan pasca ledakan, ketiga orang tersebut tak pernah kembali ke penginapannya.

Pelaku pemboman candi Borobudur baru terungkap tiga bulan kemudian. Bermula ketika bus Pemudi Express jurusan Malang-Bali meledak di Kampung Curah Puser, Desa Sumber Kencono, Banyuwangi, Jawa Timur, pada 16 Maret 1985. Ledakan bus itu mengakibatkan tujuh penumpangnya tewas. Tiga diantara yang tewas adalah para pembawa bom, yaitu Abdul Hakim, Hamzah alias Supriyono, dan Imam alias Gozali Hasan.

Rencananya bom itu akan diledakkan di Kuta, Bali. Tapi karena keteledoran mereka sendiri, bom itu meledak akibat terkena hawa panas dari mesin bus. Sebelum ledakan terjadi, seorang penumpang turun. Penumpang adalah Abdulkadir Ali al Habsy dan ditangkap polisi.

Dari pengakuannya Abdulkadir itulah, terbongkar jaringan pelaku peledakan bom di Borobudur yang melibatkan Husen Ali al Habsyi dan Mohammad Jawad alias Ibrahim alias Kresna. Husein yang seorang tunanetra merupakan saudara kandung Abdulkadir.

Dari keterangan Abdulkadir, kelompoknya tak hanya meledakkan Borobudur, tapi sebelumnya juga meledakan bom di gedung Seminari Alkitab Asia Tenggara dan Gereja Sasana Budaya Katolik di Malang pada 24 Desember 1984. Para pelakunya adalah Mohammad Jawad, Husein Ali al Habsy, Abdulkadir Ali al Habsy, Achmad Muladawillah, Murjoko dan Mocahamd Achwan ditangkap.

Mereka lalu diadili dengan tuduhan merongrong kekuasaan negara atau kewibawan pemerintah dengan melanggar Undang-Undang Nomor 11/PNPS/1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversif. Seperti dilaporkan Tempo edisi 17 Mei 1999, teror di candi Borobudur dilakukan sebagai balas dendam atas tewasnya puluhan orang dalam peristiwa berdarah di Tanjung Priok, Jakarta Utara, yang menolak pemberlakuan azas tunggal pada 1984.

Husein Ali al Habsyi (kiri) bersama Abu Bakar Baasyir
Foto: INOONG-AFP via Getty Images

Husein Ali al Habsyi divonis hukuman penjara seumur hidup, sedangkan Abdulkadir divonis 20 tahun penjara. Tapi Husein mendapatkan pembebasan grasi dari Presiden BJ Habibie pada 1999. Husein menceritakan bahwa pemboman yang dilakukan itu didalangi oleh Mohammad Jawad. Ia beberapa kali memberikan ceramah di tempat pengajian yang dikelola Husein di Malang.

“Ternyata dia punya rencana-rencana peledakan yang justru baru saya ketahui setelah terjadi. Ia punya proyek-proyek peledakan. Itu dilakukan bersama murid-murid saya yang direkrutnya,” ucap Husein kepada Tempo beberapa hari setelah mendapatkan grasi dari Presiden Habibie pada 23 Maret 1999.

Peledakan candi Borobudur disebutkan dilakukan oleh kelompok garis keras bernama Komando Jihad yang merupakan bagian dari gerakan Darul Islam (DI). Kelompok ini mulai mencuat sejak terjadinya aksi pembajakan dan penyanderaan pesawat Garuda Indonesia DC-9 ‘Woyla’ di Bandara Don Muang, Bangkok, Thailand, 28 Maret 1981.

Kini, 37 tahun sejak peristiwa di Borobudur itu berlalu, nama Komando Jihad DI kembali mencuat setelah polisi dari Direktorat Kriminal Umum Polda Metro Jaya menangkap Abdul Qadir Hasan Baraja, pimpinan Khilafatul Muslimin di Lampung, Selasa, 7 Juni 2022 lalu. Baraja ditangkap terkait maraknya aski konvoi syiar khilafah menggantikan Pancasila di sejumlah daerah.

Dari hasil penyidikan polisi, Baraja pernah terlibat dalam beberapa peristiwa teror Komando Jihad DI pimpinan Asep Warman alias Musa atau yang dikenal dengan sebutan Teror Warman di Malang pada 1979. Kelompok ini melakukan aksi fa’i atau perampokan mobil yang membawa uang gaji pegawai Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Malang. Tak hanya itu, pria kelahiran Taliwang, Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, 10 Agustus 1944 itu juga terlibat kasus bom Medan pada 1975.

“Awalnya Baraja menjadi anggota NII Lampung sebagai Komando Jihad dengan membantu amunisi untuk bom Medan pada 1975. Kemudian ia kabur ke Ngruki, Solo,” kata Kepala Bagian Bantuan Operasi (Banops) Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri Kombes Aswin Siregar saat dikonfirmasi Selasa, 7 Juni 2022.

Lebih lanjut Aswin menjelaskan, Baraja juga pernah ditangkap pada tahun 1979. Ia dinyatakan terlibat dalam pembunuhan dosen dan rektor Universitas Sebelas Maret (UNS) Parmanto MA. Parmanto ditembak di rumahnya sendiri pada 11 Januari 1979. “Pada 1979 ditangkap karena dituding terlibat pembunuhan PMA, dosen UNS yang dituding sebagai pengkhianat yang menyebabkan ABB, S, dan kawan-kawan ditangkap,” tutur Aswin lagi.

Penangkapan Abdul Qadir Baraja
Foto: Rifkianto Nugroho/detikcom

Dalam kasus Teror Warman, Baraja sempat ditangkap dan ditahan selama tiga tahun penjara. Ia kembali terlibat dalam aksi teror peledakan bom di candi Borobudur. Dalam kasus tersebut, Baraja kembali ditangkap dan dipenjara selama 13 tahun. “Kemudian ditangkap dan ditahan kembali selama 13 tahun berhubungan dengan kasus bom di Jawa Timur dan Borobudur pada awal 1985,” ungkap Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Brigjen R. Ahmad Nurwakhid kepada wartawan, 31 Mei 2022.

Peran Baraja dalam kasus candi Borobudur dianggap penting. Pengamat terorisme Al Chaidar menyebutkan Baraja merupakan pembuat bom yang dipesan oleh kakak-beradik Husein dan Abdulkadir al Habsyi. Tapi. Bom itu akan diledakkan di Malang dan candi Borobudur. “Dia tidak tahu bom itu mau diledakkan di mana? Bom yang dibuatnya juga hanya bom ikan, bom explosive saja,” kata Al Chaidar kepada detikX, Jumat, 10 Juni 2022.

Hanya saja, lanjut Al Chaidar, ketika terjadi peristiwa Komando Jihad, Baraja masih berada di dalam gerakan NII. Tetapi karena keterlibatannya dalam peristiwa di Malang dan Borobudur, Baraja dianggap sudah keluar dari jalur NII. “Ia bukan bagian dari Komando Jihad,” terang Chaidar lagi.

Dalam sebuah tulisannya berjudul Pemetaan Kelompok Islam Radikal dan Islam Fundamentalis di Indonesia pada 2000, Al Chaidar bilang bahwa gerakan kelompok radikal di Indonesia terfragmentasi dan faksiologi. Termasuk pada gerakan NII dan Darul Islam. Dari kesemua faksi yang ada dalam gerakan tersebut, Baraja memiliki anggota terbanyak mencapai 30 ribu orang.

Keterlibatan Baraja dalam gerakan NII juga diakui oleh mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) A.M. Hendropriyono. Jejak Baraja diketahui sejak Hendropriyono menjabat sebagai Komandan Komando Resort Militer (Korem) 043/Garuda Hitam, Lampung.

“Benar, dia (Abdul Qadir Baraja) Gubernur NII Provinsi Lampung dengan Warsidi sebagai bupatinya (Bupati NII Lampung Tengah),” kata Hendropriyono dalam pesan singkatnya kepada detikX, Kamis, 9 Juni 2022.


Penulis: M Rizal
Editor: Irwan Nugroho

***Komentar***
[Widget:Baca Juga]
SHARE