Pesawat Garuda Airways DC-9 Woyla mendarat di Bandara Don Muang, Bangkok, Thailand, 28 Maret 1981. Foto: BIN Official/YouTube
Kamis, 9 Juni 2022Sabtu, 28 Maret 1981, sekitar pukul 08.00 WIB, pesawat Garuda Indonesia DC-9-32 ‘Woyla’ bernomor penerbangan GA-206 lepas landas dari Bandara Kemayoran, Jakarta. Pesawat itu mengangkut 33 penumpang menuju Bandara Polonia, Medan, Sumatera Utara. Para penumpang itu ada yang sekadar ingin bertemu dengan sanak-saudara, bertamasya, ataupun menjalankan tugas dinas.
Pesawat buatan pabrik asal Amerika Serikat, McDonnel Douglas Aircraft Company, pada 1965 dengan nomor register PK-GNJ itu tak langsung menuju Medan, tapi transit lebih dulu di Bandara Talang Betutu, Palembang, Sumatera Selatan, sekitar pukul 09.00 WIB. Tak lama, Woyla mengudara kembali. Jumlah penumpang bertambah menjadi 48 orang. Pilot mengabarkan bahwa pesawat akan mendarat di Medan sekitar pukul 10.55 WIB.
Suasana hening setelah pesawat lepas landas tiba-tiba berubah jadi gaduh. Sejumlah penumpang terkejut oleh aksi lima penumpang yang sekonyong-konyong menodongkan pistol dan granat kepada penumpang lainnya pada pukul 10.10 WIB. Mereka juga mengancam kru pesawat dan meminta agar pintu khusus pilot dan kopilot dibuka.
Para pembajak lantas memaksa Kapten Herman Rante (pilot) dan Hedhy Djuantoro (kopilot) mengalihkan penerbangan menuju Penang, Malaysia. Sesampai di Bandara Bayan Lepas, Penang, pukul 11.20 WIB, pembajak minta dikirimi makanan, peta penerbangan, serta avtur. Permintaan itu dikabulkan pemerintah Malaysia. Pukul 16.05 waktu setempat, Woyla terbang kembali menuju Bangkok, Thailand.
“Pesawat dibajak oleh lima orang yang dapat berbahasa Indonesia. Mereka bersenjatakan pistol dan beberapa buah granat,” kata Menteri Pertahanan dan Keamanan/Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Menhankam/Panglima ABRI), Jenderal TNI Muhammad Jusuf, kala itu.
Baca Juga : Jejak Teror Komando Jihad di Hotel Borobudur
Penumpang Garuda Woyla tiba kembali di Jakarta setelah pesawatnya dibajak, 1981.
Foto : Repro buku Operasi Woyla/Kartono Riyadi (Kompas)
Saat terjadi pembajakan Woyla, semua pimpinan ABRI tengah menghadiri rapat pimpinan dan latihan gabungan ABRI di Maluku. Kecuali Wakil Panglima ABRI/Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) Laksamana TNI Sudomo, yang masih berada di Jakarta. Kepada M Yusuf, Sudomo meminta Asisten Intelijen Hankam/Pusintelstrat/Panglima ABRI Letjen TNI LB Moerdani menanggulangi pembajakan Woyla itu.
Ia lalu menunjuk Brigjen TNI Yogie S Memet selaku Komandan Jenderal Korps Pasukan Sandi Yudha (Kopassandha), yang sekarang menjadi Korps Pasukan Khusus (Kopassus) TNI Angkatan Darat. Yogie menugasi Letnan Kolonel Sintong Panjaitan, selaku Asisten 2/Operasi Kopassandha untuk menangani pembajakan. Sintong menyiapkan pasukan antiteror dari anggota Grup 4/Sandi Yudha. Pasukan antiteror yang dadakan dibentuk ini berkekuatan 72 personel, tapi yang diberangkatkan ke Bangkok 30 personel.
Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin) Letjen TNI Yoga Sugomo hari itu juga berangkat menuju Thailand dengan menggunakan pesawat Garuda Indonesia DC-9 Digul tepat pada pukul 19.25 WIB. Yoga ditugaskan sebagai wakil pemerintah Indonesia untuk bekerja sama dengan pemerintah Thailand dalam negosiasi dengan pembajak Woyla.
“Menurut Sudomo, pembajakan pesawat DC-9 itu dilakukan oleh kelompok orang di bagian gerakan yang menamakan diri aliran Islam murni (fundamentalis) dan menyebut dirinya Komando Jihad,” kata Sintong Panjaitan dalam bukunya, Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando, yang ditulis Hendro Subroto (2009).
Keenam pembajak itu adalah Zulkifli T Djohan Mirza, Abu Sofian (Sofyan Effendy), Wendy Muhammad Zein, Mahrizal, dan Abdullah Mulyono. Mereka dipimpin Mahrizal, yang digambarkan sebagai pria berkumis, berambut panjang, serta pernah mengenyam pendidikan di Arab Saudi. “Sementara Zulfikar pemuda berperawakan kekar dan pernah bekerja sebagai sekuriti di Hotel Hilton, Jakarta. Ia pernah ikut latihan karate dengan sabuk biru,” terang Sintong.
Imran bin Muhamad Zein (kiri), otak pembajakan Garuda DC-9 Woyla; Mahrizal (tengah), pemimpin pembajakan; dan Zulfikar, salah seorang anggota pembajakan.
Foto : Repro buku Operasi Woyla/B. Wiwoho
Sudomo mengungkapkan, pembajak menuntut pemerintah membebaskan 80 orang tahanan. Mereka adalah tahanan yang terlibat dalam peristiwa penyerangan Kosekta 8606 Pasir Kaliki, Cicendo, Bandung, pada 11 Maret 1981 (dikenal dengan sebutan Peristiwa Cicendo). Mereka juga menuntut pembebasan tahanan kasus teror Warman di Raja Paloh pada 22 Agustus 1980, dan sejumlah tahanan yang terlibat aksi teror Komando Jihad pada 1977-1978.
Para pembajak itu juga menuntut agar ke-80 tahanan itu segera dibebaskan dan diterbangkan ke luar negeri ke negara tertentu. Selain itu, pembajak meminta uang tebusan untuk membebaskan penumpang yang disanderanya sebesar USD 1,5 juta. Apabila tuntutan tersebut tak dipenuhi, pesawat akan diledakkan pada 30 Maret 1981.
Tuntutan itu tak pernah dipenuhi. Kelima pembajak tewas dalam penyerbuan pasukan antiteror pimpinan Sintong di Bandara Don Muang, Bangkok, pada 31 Maret 1981 pukul 03.00 waktu setempat. Kelima pembajak, yaitu Mahrizal, Zulkifli T Djohan Mirza, Abu Sofian (Sofyan Effendy), Wendy Muhammad Zein, dan Abdullah Mulyono, tewas di tempat.
Sementara itu, di pihak pasukan antiteror, gugur Letnan Satu Achmad Kirang. Pilot Woyla, Kapten Herman Rante, juga mengalami nasib serupa. Keduanya sempat dirawat Rumah Sakit Angkatan Udara King Bhumipol, Bangkok. Sedangkan seluruh penumpang dapat diselamatkan tanpa mengalami cedera sedikit pun.
Dari hasil penyelidikan, pembajakan pesawat itu dilakukan atas perintah Imran bin Muhammad Zein, pimpinan Komando Jihad Wilayah Jawa Barat. Untuk membajak pesawat itu, Imran meminta disiapkan senjata api. Senjata api tersebut salah satunya didapatkan melalui penyerangan kelompok Komando Jihad yang dipimpin Salman Hafidz ke markas Kosekta 6506, Pasir Kaliki, Cicendo, Bandung, pada 11 Maret 1981.
Letjen (Purn) Sintong Panjaitan saat memimpin pasukan antiteror pembebasan Garuda DC-9 Woyla pada 1981.
Foto: Sintong Panjaitan/Instagram
Kelompok yang disebut Jamaah Imran itu berhasil melumpuhkan polisi. Empat anggota polisi gugur dalam penyerangan itu, yaitu Sertu Suhendrik, Bharatu Zul Iskandar, Bharada Andi, dan komandan jaga Serka Suryana. Para penyerang berhasil menggondol dua pucuk senjata api jenis pistol kaliber 38 milik polisi. Kedua pistol itulah yang digunakan para pembajak pesawat Woyla.
Dalam buku Hegemoni Rejim Intelijen yang ditulis Busyro Muqoddas pada 2011, disebutkan pemimpin Komando Jihad Jawa Barat, Imran, juga menamakan kelompoknya Dewan Revolusi Islam Indonesia, yang menentang Pancasila dan UUD 1945. Selain menyerang Kosekta 8606 kelompok Jamaah Imran juga merampok toko emas Sinar Jaya di Tasikmalaya, Jawa Barat, 9 April 1979.
Kelompok itu juga terlibat perampokan uang milik koperasi simpan pinjam di Kecamatan Sikijang, Riau, serta perampokan uang gaji pegawai Dinas Pendidikan dan Kebudayaan di Banjarsari, Ciamis, Jawa Barat. Lalu perampokan toko emas di kawasan Subang, Jawa Barat, pada 9 Juli 1980. Jejak lainnya, mereka juga meledakkan masjid dan gereja.
Imran ditangkap aparat pada 7 April 1981 dan dieksekusi mati pada akhir 1983. Sementara itu, Salman Hafidz, pemimpin penyerangan pos polisi Cicendo, dihukum mati pada awal Februari 1985. Maman Kusmayadi, yang didakwa membunuh tiga polisi, dieksekusi mati di kaki Gunung Tangkubanparahu, Subang, Jawa Barat, pada 12 September 1986.
Penulis: M. Rizal Maslan
Editor: Irwan Nugroho
Desainer: Fuad Hasim