INTERMESO

Ribetnya Proses Rekrutmen Kerja di Indonesia

"Bikin surat lamarannya disuruh tulis tangan, terus berkas-berkasnya diminta difotokopi dan dibawa waktu wawancara."

Ilustrasi: Edi Wahyono

Minggu, 15 Mei 2022

Hanya tiga jam waktu yang diperlukan sebuah perusahaan perakitan mobil asal Jepang untuk menentukan nasib para kandidat pencari kerja dari Indonesia. Di antara 35 kandidat yang hadir saat itu salah satunya ada Syahril Lukman. Saat itu di tahun 2019, Syahril belum lama lulus SMK jurusan Engineering di Bandung. Kebetulan ia melihat penawaran kesempatan kerja di Negeri Sakura oleh sebuah Lembaga Pelatihan Kerja (LPK) di kotanya.

“Baru lulus SMK, niatnya mau lanjut ke Jepang. Karena pengen ngerasain pola hidup di sana. Kerjanya nggak full time juga karena ada program dari perusahaan untuk kuliah. Semacam kuliah D3 untuk jurusan computer science,” kata laki-laki yang kini berusia 22 tahun.

Proses rekrutmen saat itu berlangsung di Tangerang. Tahapan yang harus Syahril lalui sama saja dengan seleksi karyawan baru di kebanyakan perusahaan di Indonesia. Syahril harus melewati serangkaian psikotes. Hanya saja tahap wawancara berlangsung lebih cepat karena dilakukan secara bersamaan dan terbagi dalam beberapa grup. Masing-masing grup diwawancara oleh empat orang Jepang sekaligus.

“Walaupun barengan tapi ditanyanya tetap satu-satu. Kalau nggak bisa jawab langsung skip ke peserta lain. Rasanya lebih grogi, sih, karena posisi duduknya saling natap gitu,” katanya. Sayang, di proses seleksi itu Syahril kurang beruntung. “Aku dinyatakan lolos tapi istilahnya masih di posisi juara harapan, lah. Aku diminta nunggu kalau ada peserta lain yang gagal medical check up baru aku masuk. Tenryata mereka nggak ada yang gagal.”

Gagal bekerja di Jepang, Syahril tidak putus asa. Beberapa kali ia kembali mengikuti proses rekrutmen karyawan baru di perusahaan Indonesia. Namun, tahapan seleksi yang pernah ia lalui berbeda sekali dengan rekrutmen di tempat ia bekerja sekarang sebagai pegawai magang. Mahasiswa jurusan Informatika di Unikom Bandung ini merasa rekrutmen di tempat magangnya, yaitu sebuah studio software pembuatan website memakan waktu lumayan lama.

Setelah lewat satu bulan, itu pun sesudah ia melewati serangkaian tes live coding, barulah Syahril diterima. Saban hari ketika melamar kerja di pabrik farmasi dekat rumahnya, Syahril diminta membawa berkas yang sudah difotokopi. Padahal sewaktu ia wawancara kerja dengan orang Jepang itu, ia hanya diminta membawa selembar kertas CV saja.

“Bikin surat lamarannya disuruh tulis tangan, terus berkas-berkasnya diminta difotokopi dan dibawa waktu wawancara. Menurut saya ribet banget harus bawa kayak gitu,” ungkapnya.

Ilustrasi surat lamaran kerja (Foto: Thinkstock) 

Bukan cuma Syahril yang merasa proses rekrutmen di perusahaan asing atau perusahaan di luar negeri lebih cepat. Ada sebuah thread yang dibuat oleh akun @hrdbacot di Twitter pada tahun 2020. Akun itu membagikan sebuah tangkapan layar berisi unggahan seseorang bernama Irwan perwira di Linkedin. Laki-laki itu diketahui kerap berkali-kali pindah kerja di luar negeri. Ia menceritakan betapa mudah dan gampangnya proses rekrutmen yang ia lewati untuk dapat bekerja di luar negeri.

“Waktu ke Saudi Arabia, proses wawancara hanya 10 menit, sorenya sudah tahu hasil wawancara. Lalu urus passport, medical check up dan berangkat ke Saudi,” tulis Irwan yang pada saat itu menuliskan status jika dirinya sedang bekerja di Vocco Hotel Makkah. “Waktu ke USA, proses wawancara hanya 3 menit. Seingat saya, detik itu juga diberitahu hasilnya, diterima! Lalu urus medical check up, tunggu kontrak turun, pengajuan visa dan berangkat!.”

Sedangkan perlakuan berbeda Irwan rasakan ketika melamar kerja di dalam negeri. “DI INDONESIA, sudah walk in interview, hasilnya tunggu dua minggu kemudian dan tidak ada kabar.”

Tapi bukan berarti rekrutmen di dalam negeri selalu lama dan ribet. Buktinya Syahril juga pernah iseng melamar kerja di sebuah distro usaha keluarga asal Bandung. Syahril mengisi posisi sebagai konten kreator. Hari itu ia pergi melamar, hari itu juga ia diterima.

“Prosesnya cuma dua jam juga. Kayaknya nggak diteliti. Yang wawancara saya aja orangnya sambil ngerokok. Saya nggak dapat BPJS atau apa. Kalau mau keluar, ya, tinggal keluar aja nggak ribet,” ucap Syahril yang akhirnya berhenti setelah tiga bulan bekerja karena distro itu kewalahan dihantam COVID-19.

Della Asri Rahmawati Utomo, seorang staff HRD yang sudah bekerja selama 4,5 tahun di perusahaan financial consulting juga setuju jika proses rekrutmen di Indonesia tak selamanya ruwet. Di kantornya sendiri, bahkan ada jalur express bagi kandidat istimewa. Enaknya, orang yang mengisi posisi ini bisa melenggang dengan mudah tanpa perlu melewati serangkaian tes.

Ilustrasi para pencari kerja menghadiri acara job fair di Jakarta beberapa waktu lalu (Foto: Pradita Utama/detikcom) 

“Kalau di kantor aku itu bagian departmen head. Tidak ada tes Bahasa Inggris, tes psikotes juga nggak. Cuma tinggal wawancara dengan direktur,” kata Della. Namun, ia memang belum pernah menghadapi orang yang melamar di posisi ini. Biasanya Della menangani calon karyawan baru untuk posisi magang, junior dan senior auditor.

Sewajarnya, proses perekrutan karyawan baru di kantornya maksimal berlangsung selama dua minggu. Setelah itu harus ada keputusan nasib si kandidat ini. Namun terkadang ada beberapa hal yang akhirnya membuat proses seleksi ini berlangsung lebih lama.

“Kalau misalkan yang ngelamar untuk satu posisi yang aku buka banyak sekali peminatnya. Aku biasanya buka lowongan kerja di website pencari kerja. Pernah aku nerima 100 lamaran cuma dari satu platform. Dan itu aku harus screening satu per satu,” ujarnya. Lebih merepotkan lagi jika proses screening itu dilakukan secara manual tanpa bantuan sistem (ATS). “Walaupun sejak pandemi semua proses rekrutmen udah online, tapi untuk tes psikotes masih aku harus cek satu per satu.”

Selain itu terkadang user sebagai pihak yang akan bekerja langsung dengan calon karyawan baru tidak kompak dan sulit diajak bekerja sama. Setelah dua minggu berlalu, mereka kerap belum bisa membuat keputusan atau bahkan menjadikan kandidat sebagai ‘pemain cadangan’ dengan status hold.

“Aku sudah sering kasih reminder ke user, ‘Pak ini sudah lebih dari dua minggu, lho’,” kata Della. Sampai akhirnya ia harus mengambil keputusan sendiri dengan menolak si kandidat. Setelah tiga bulan berlalu, pihak user ini malah meminta Della untuk kembali memanggil kandidat itu. “Ya, udah nggak bisa, lah. Orangnya aja sudah keterima CPNS.”


Penulis: Melisa Mailoa
Editor: Irwan Nuhgroho

***Komentar***
[Widget:Baca Juga]
SHARE