INTERMESO

'Dikerjai' Aturan Tes Swab

"Siapa juga yang mau dicolok-colok hidungnya. Penginnya sih nggak usah pakai tes-tes lagi."

Ilustrasi: Edi Wahyono

Minggu, 7 November 2021

Fauzy Djafar merasa kesal setelah ia melihat sebuah berita yang ditayangkan di televisi. Saat itu Fauzy bersama istri dan tiga orang anaknya tengah mampir ke sebuah rumah makan sebelum berangkat ke Bandara Soekarno-Hatta. Mereka sekeluarga hendak berlibur ke Bali setelah hampir dua tahun pandemi COVID-19 tidak pernah ke mana-mana.

Sebuah berita menayangkan pemberitahuan mengenai persyaratan perjalanan udara yang kembali diperbarui pada tanggal 1 November 2021 melalui Inmendagri 57/2021. Perjalanan udara kini tidak lagi diwajibkan menggunakan tes PCR, sementara tes antigen diperbolehkan. Padahal satu hari sebelum keberangkatan, Fauzy dan keluarga sudah melakukan tes PCR.

“Rasanya saya dan keluarga kayak lagi dikerjain pemerintah. Kalau tahu begini mending saya perginya mundur aja supaya nggak usah PCR,” ungkap Fauzy saat dihubungi detikX. Sebelumnya, pemerintah mewajibkan PCR sebagai syarat terbang meski sudah vaksinasi dosis lengkap. Hingga sejauh ini, pemerintah sudah mengganti peraturan mengenai syarat perjalanan sebanyak lima kali.

Fauzy semakin kesal rasanya mengingat mahalnya biaya yang ia harus keluarkan untuk melakukan tes PCR buat lima orang termasuk dirinya. Meski per tanggal 27 Oktober lalu pemerintah sudah menurunkan harga tes PCR dari Rp 450 ribu menjadi Rp 275 ribu per tes, Fauzy masih mengeluarkan kocek Rp 600 ribu per orang untuk tes PCR.

Ilustrasi kesibukan di Bandara Juanda, Surabaya, Minggu 24 Oktober 2021.
Foto : Suparno/detikcom

“Kenyataan di lapangan nggak semua kompak. Saya sudah bayar Rp 3 juta karena mau hasilnya keluar cepat. Kalau Rp 275 ribu untuk yang keluar 1 atau 2 hari kemudian,” tuturnya. Harga tes PCR yang diwajibkan turun oleh pemerintah itu memang tidak dituruti oleh semua penyedia tes. “Menurut saya memang lebih baik antigen saja karena lebih murah, praktis, dan hasil keluarnya tidak lama, 30 menit saja cukup.”

Berkebalikan dengan Fauzy, perubahan syarat perjalanan itu disambut gembira oleh Febi Karlinda. Perubahan peraturan ini sangat meringankan biaya perjalanannya dari Jakarta ke Semarang dan sebaliknya. Semenjak enam bulan belakangan ini, Febi rutin bolak balik ke rumah ibunya di Semarang.

Ternyata pas di-scan aplikasi PeduliLindungi statusnya tidak layak terbang karena tesnya antigen bukan PCR."

“Biasanya aku dua minggu sekali pasti pulang ke rumah. Kecuali kalau di kantor WFH full satu bulan aku baru stay di Semarang agak lamaan. Soalnya ibuku lagi sakit, aku diminta bantu ngerawat,” kata Febi yang bekerja sebagai analis data. Entah sudah berapa kali hidung Febi dicolok alat tes PCR. “Dari yang masih takut banget setiap mau tes PCR, saking keseringan aku udah biasa aja lagi.”

Tak cuma harus menahan rasa tidak nyaman dan perih, biaya yang Febi keluarkan untuk tes PCR dan tiket perjalanan menggunakan pesawat atau kereta juga cukup menguras kantong. Untuk mensiasatinya, Febi sengaja naik kereta ekonomi agar biayanya bisa terpangkas. Jika di kantor Febi kebagian jadwal WFH di hari Kamis dan Jumat, ia memanfaatkan hari itu untuk bekerja sembari melakukan perjalanan pulang.

“Sejujurnya sih kurang nyaman naik ekonomi, apalagi perjalanan jauh. Cuma budget-nya udah keburu habis buat tes PCR. Padahal sebelum COVID kalau pulang kampung aku kalau nggak naik pesawat, ya, seengak-nya naik kereta yang eksekutif,” ungkapnya. Febi cuma bisa berharap agar pandemi COVID-19 cepat berakhir. “Siapa juga yang mau dicolok-colok hidungnya. Pengennya, sih, nggak usah pakai tes-tes lagi.”

Kemenkes akhirnya menurunkan harga tes PCR. Kemenkes menetapkan tarif tertinggi harga pemeriksaan PCR jadi Rp275 ribu di Jawa-Bali dan Rp300 ribu untuk luar Jawa dan Bali.
Foto: ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan

Lain lagi cerita Adam Kusuma saat hendak melakukan perjalanan udara dari Jakarta ke Pontianak. Ia kecele dengan aturan perjalanan dalam negeri menggunakan transportasi udara. Adam mengira ia bisa lolos dengan hanya melakukan tes antigen. Padahal syarat perjalanan itu menyebutkan hanya berlaku untuk penerbangan Jawa-Bali.

Dalam Surat Edaran Menteri Perhubungan Nomor 93 Tahun 2021 itu menyebutkan syarat perjalanan untuk penerbangan di luar Jawa Bali harus menunjukkan hasil negatif PCR dengan maksimal sampel 3x24 jam atau hasil negatif rapid test antigen dengan sampel maksimal 1x24 jam sebelum keberangkatan.

“Ternyata pas di-scan aplikasi PeduliLindungi statusnya tidak layak terbang karena tesnya antigen bukan PCR,” katanya. Beruntung pihak maskapai tidak menghanguskan tiket perjalanan Adam dan bisa diatur ulang untuk perjalanan di keesokan harinya. “Soalnya di hari itu pas tanggal 1 bukan saya aja yang salah ngira, penumpang lain juga.”


Penulis: Melisa Mailoa
Editor: Irwan Nugroho

***Komentar***
[Widget:Baca Juga]
SHARE