Foto: Ilustrasi lansia di Jepang (Aisyah Kamaliah/detikcom)
Minggu, 26 September 2021Tiiit... bunyi sensor memecah keheningan di sebuah panti lansia di Yokohama, Jepang. Aditya Mahardika yang tengah kebagian tugas jaga malam langsung tersentak. Suara sensor itu berasal dari alat yang terpasang di tubuh lansia. Saat mereka tengah terlelap dalam tidur, sensor akan berbunyi jika menangkap gerakan tiba-tiba dari para pasiennya.
“Orang tua dikasih sensor soalnya resiko jatuhnya mereka tinggi. Tujuannya dipasang sensor supaya kalau terjadi sesuatu bisa segera diberikan pertolongan,” jelas Adit, seorang perawat lansia di Jepang saat dihubungi detikX beberapa saat lalu.
Malam itu Adit sedang jaga shift malam sendiri karena teman kerjanya sedang istirahat. Sialnya tiga sensor bunyi secara bersamaan. Artinya ada tiga orang kakek dan nenek yang butuh pertolongan. Adit terpaksa harus memilih mana yang ‘diselamatkan’ terlebih dahulu.
“Saya langsung lari menyusuri koridor. Tak pikir mana yang lebih beresiko, dia yang saya samperin dulu,” ucap Adit dengan logat Jawa yang kental.
Begitu membuka pintu kamar si pasien, Adit kesal bukan main. “Pas sudah disamperin ternyata pasiennya lagi tidur. Pasien tidurnya nggak bisa diam makanya gerakannya langsung ditangkap sensor itu.”
Baca Juga : Suka Duka Perawat Lansia Jepang Asal Indonesia
Aditya Mahardika saat memapah seorang lansia yang dirawatnya di Jepang
Foto : Dok Pribadi
Setiap hari ada-ada saja tingkah para lansia yang ditemui Adit. Sejak 2018, Adit sudah bekerja sebagai perawat lansia di Jepang. Kini ia bekerja di panti lansia Kelai No Sato Nishiya yang terletak di Yokohama. Panti lansia di Jepang ada bermacam-macam jenisnya.
Sedangkan panti lansia tempat Adit bekerja dikhususkan untuk lansia melakukan rehabilitasi dan perawatan jangka panjang di bawah manajemen medis. Fasilitas panti lansia semacam ini dinamakan Kaigo Roujin Hoken Shisetsu. Rata-rata pasien yang dirawat Adit didominasi penyakit bawaan seperti demensia dan stroke.
Merawat mereka harus ekstra sabar. Ada yang minta pulang, nyubit kalo lagi kesel. Belajar bahasa juga penting karena kita harus komunikasi dengan mereka."
“Misalkan ada lansia yang naik kursi roda. Di sini mereka dilatih supaya bisa jalan sendiri. Jadi saat sudah selesai rehabilitasinya, mereka bisa pulang ke rumah dan diharapkan sudah bisa mandiri dan meminimalisir pemakaian kursi roda,” kata pria asal Bojonegoro, Jawa Timur ini.
Kisah Adit di negeri sakura bermula saat ia mendaftar program G To G Nurse (Kangoshi) dan Careworker (Kaigofukushishi). Program ini juga dikenal dengan nama Indonesia-Japan Economy Partenership Agreement (IJEPA). Melalui program itu, lulusan D3 atau Sarjana Keperawatan di Indonesia boleh bekerja sebagai perawat dan pengasuh lansia di Jepang. Jika ingin menjadi perawat di rumah sakit, pesertanya harus memiliki dua tahun pengalaman bekerja di Indonesia.
Selepas lulus kuliah keperawatan di Jombang, Jawa Timur, Adit sempat merasakan sulitnya mencari pekerjaan. Anak pertama dari dua bersaudara ini sempat bekerja melenceng dari jurusannya, yaitu sebagai sales obat herbal.
Aditya Mahardika bekerja merawat lansia di Jepang sejak 2018
Foto : Dok Pribadi
“Sempat ngalamin susah cari kerja. Mungkin karena lowongan perawat kurang di Indonesia, sedangkan lulusan perawat banyak banget. Karena cari kerja susah, makanya harus ditekatin buat bisa ke Jepang,” tuturnya. Di Jepang, peluang kerja untuk pekerja asing dari Indonesia terbuka lebar. Terutama sebagai perawat lansia atau yang dalam bahasa Jepang disebut Kaigofukushishi.
Saat akan berangkat ke Jepang, Adit sempat jiper. Negara matahari itu jelas sangat berbeda dengan kampung halaman di mana ia tinggal. Terutama karena perbedaan bahasa dan budaya, meskipun sebelum berangkat Adit sempat diberikan pelatihan bahasa.
“Awalnya takut pasti ada, bisa survive apa nggak soalnya semuanya beda. Terutama juga soal makanan. Dulu saya nggak suka makan sahimi. Apaan sih masa makanan mentah dimakan. Eh, sampai di sini makan makan juga dan akhirnya doyan, enak ternyata," tawa Adit.
Sebagai perempuan muslim yang bekerja sebagai perawat lansia di Jepang, Widi Sasnita juga dihadapkan pada tantangan tersendiri. Sudah 3,5 tahun perempuan asal Bengkulu ini bekerja sebagai perawat lansia. Kini Widi bekerja di sebuah panti lansia bernama My Home Harumi di Tokyo. “Aku angkatan 11 dari program EPA ini,” ujar Widi.
Widi bekerja di lantai dua merawat 100 pasien. Sementara jumlah perawat yang bertugas di sana ada sekitar 15 sampai 20 orang. Mereka bertugas secara bergantian seharian penuh untuk mengawasi dan menyiapkan segala kebutuhan para lansia. Selain perawat dari Jepang dan Indonesia, ada pula perawat dari negara lain seperti Filipina dan Vietnam. Pasien yang diurus Widi rata-rata mengidap demensia.
Widi Sasnita, perawat lansia di Jepas asal Bengkulu
Foto : Dok Pribadi
“Merawat mereka harus ekstra sabar. Ada yang minta pulang, nyubit kalo lagi kesel. Belajar bahasa juga penting karena kita harus komunikasi dengan mereka. Pokoknya di sini kesabaran dan mental dilatih banget,” Kata Widi.
Di Jepang, Widi juga kerap kerepotan mencari makanan halal. Biasanya kalaupun ada toko yang menjual makanan halal, harganya lebih mahal. Sementara untuk urusan beribadah di tempat kerja, Widi juga harus pintar berkompromi dengan teman satu shift-nya. “Sebenarnya perusahaan tempat aku kerja memperbolehkan ibadah saat jam kerja. Tapi kadang juga suka ketemu teman shift yang agak rese,” katanya.
Meskipun begitu, Widi menikmati pekerjaannya sebagai perawat lansia. Profesi ini dibekali dengan gaji yang tinggi dan jenjang karir yang jelas pula. Dalam sebulan Widi bisa mengantongi hingga Rp 20 juta. Namun Widi tetap ingin kembali ke Indonesia. “Di sini sebenarnya enak aku nggak masalah. Cuma seenak-enaknya di sini, aku tetap mau pulang. Soalnya keluarga semua di sana,” ucap Widi.
Penulis: Melisa Mailoa
Editor: Irwan Nugroho