Foto: Ilustrasi Lansia di Jepang (Issei Kato/Reuters)
Sabtu, 25 September 2021Jepang selalu berhasil mencuri perhatian setiap orang. Gedung bertingkat dengan lampu kelap kelip yang menyilaukan mata. Belum lagi berbagai teknologi canggih modern yang hanya bisa ditemui di Jepang. Penggalan lagu Tokyo Drift milk grup hip hop Teriyaki Boyz dalam film The Fast and the Furious: Tokyo Drift membuat siapa saja iingin segera menggerek koper dan pergi ke Jepang. 'I wonder if you know how they live in Tokyo. If you see me then you mean it then you know you have to go’.
Begitu tiba di Bandara Narita pada Juli 2017 silam, Merlin Timbang juga langsung jatuh cinta pada pandangan pertama. Segala pemandangan yang ia temui di sana merupakan hal baru baginya. Maklum saja, Merlin bukan anak kota. Merlin lahir dan tumbuh besar di kampung halamannya di Tanah Toraja, Sulawesi Selatan.
Seumur-umur Merlin belum pernah melancong jauh. Jangankan ke Jepang, keluar kota saja tak pernah. Pernah sekali ia pergi ke Manado, itupun demi menempuh pendidikan di Universitas Klabar, Manado. “Aku itu anak kampung yang nggak pernah keluar dari pulau. Anak dari desa banget, lah, pokoknya,” ucap Merlin saat dihubungi detikX melalui sambungan telepon.
Namun, siapa sangka, tekad kuat untuk bisa bekerja di luar negeri berhasil membawa Merlin ke Jepang. Merlin ikut dalam program G To G Nurse (Kangoshi) dan Careworker (Kaigofukushishi). Program ini juga dikenal dengan nama Indonesia-Japan Economy Partenership Agreement (IJEPA).
Singkatnya, melalui program itu, lulusan D3 atau Sarjana Keperawatan di Indonesia boleh bekerja sebagai perawat dan pengasuh lansia di Jepang. Jika ingin menjadi perawat di rumah sakit, pesertanya harus memiliki dua tahun pengalaman bekerja di Indonesia.
Baca Juga : Sales Obat Jadi Perawat Lansia di Jepang
Merlin Timbang, perawat asal Indonesia yang bekerja di panti jompo di Jepang
Foto : Dok Pribadi
“Sebenarnya aku mau kuliah kedokteran, tapi karena nggak punya uang aku kuliah untuk jadi perawat. Dan akhirnya lulus kuliah aku langsung berangkat untuk ikut program EPA,” ucap anak kedua dari enam bersaudara ini.
Permintaan tenaga perawat lansia di Jepang sangat tinggi. Penyebabnya tak lain karena meningkatnya grafik penduduk lansia. Seperti dikutip CNN, tahun lalu, Angka yang dirilis Kementerian Kesehatan, Tenaga Kerja, dan Kesejahteraan Jepang, menunjukkan jumlah penduduk lansia yang mencapai usia 100 tahun atau lebih melampaui 80.000 orang untuk pertama kalinya tahun ini. Angka ini merupakan peningkatan tahunan ke-50 berturut-turut dan kenaikan terbesar.
Para perawat lansia seperti Merlin di tempatkan di fasilitas kesehatan untuk merawat orang-orang lanjut usia, atau istilahnya panti jompo atau lansia (Roujin Home). Di Jepang panti jompo ada banyak jenisnya. Fasilitas yang ditawarkan pun bermacam-macam dan bisa disesuaikan kebutuhan pasiennya. Merlin bekerja di Shalom Yokohama Nursing Home. Bertugas di lantai dua, Merlin merawat 60 pasien lansia. Sementara ada 30 orang perawat yang bertugas selama 24 jam secara bergantian.
Buat saya, Di tempatku kerja saja sudah ada antrian untuk masuk. Bahkan ada yang sampai meninggal juga belum kebagian. Mereka prinsipnya nggak mau merepotkan anak."
Setiap hari, Merlin bertugas mengurusi segala keperluan lansia, mulai dari bangun tidur sampai tidur lagi di malam hari. Termasuk urusan buang air besar dan kecil, juga mandi. Aktivitas para lansia juga sudah tersusun secara terorganisir dan rapi dalam jadwal. Setiap pergerakan mereka diawasi sehingga kemungkinan cedera karena jatuh dapat diminimalisir.
Orang Indonesia mungkin tak rela jika orang tuanya dititipkan di panti jompo. Begitu durjana anak yang melakukan itu sehingga kerap diberi cap anak durhaka. Sungguh berbeda dengan para lansia di Jepang. Keinginan untuk menghabiskan sisa waktu di panti lansia justru datang dari para lansia itu sendiri. Mereka rela mengantre demi mendapatkan slot untuk tinggal di sana.
“Di tempatku kerja saja sudah ada antrean untuk masuk. Bahkan ada yang sampai meninggal juga belum kebagian. Mereka prinsipnya nggak mau merepotkan anak. Jangan pernah menjadi beban untuk orang lain,” tuturnya. Para lansia itu pun heran saat mendengar Merlin menyisihkan gaji untuk orang tuanya. “Mereka admire banget sampai menganggap aku kayak malaikat. Karena mereka kalau anak sudah besar nggak mengharapkan uang dari anak.”
Dengan tinggal di panti jompo, segala aspek kehidupan para lansia di Jepang justru lebih terjamin. Mungkin itu sebabnya angka harapan hidup di Jepang lebih tinggi. Merlin tak kaget lagi saat menjumpai kakek dan nenek yang usianya sudah mencapai 100 tahun atau bahkan lebih. Mereka diperlakukan secara istimewa dengan fasilitas serba ada.
Merlin Timbang (paling kiri)
Foto : Dok Pribadi
“Mereka dilayani sudah kayak raja saja, segala keperluan kita yang urus. Sampai hal kecil seperti potong kuku pun kita yang urus. Fasilitasnya pun sudah seperti hotel bintang lima,” ungkapnya. Sementara untuk tindakan medis sudah ada dokter dan perawat khususnya sendiri.
Hari-hari Merlin diisi dengan tingkah lucu para lansia yang terkadang mengundang gelak tawa. Tapi terkadang apa pula hari yang menguras emosi. Salah satunya saat berhadapan dengan orang tua rasis atau tidak menyukai kehadiran orang baru. Berbagai macam cara dilakukan untuk membujuk mereka, namun hasilnya terkadang sia-sia.
“Mereka suka berteriak ‘Itai.. Itai.. Yamete kudasai’ artinya ‘Sakit.. sakit.. Tolong hentikan.’ Itu yang kadang bikin syok. Kalau sampai didengar orang lain seolah dia lagi diapain sama kita,” katanya.
Merawat lansia bagai telur yang mudah pecah. Sebagai perawat, perempuan berusia 28 tahun ini harus ekstra hati-hati. Karena jika ada kesalahan atau keteledoran yang menyebabkan pasien meninggal, keluarganya tidak akan segan membawa perkara ini ke polisi. Apalagi jika latar belakang keluarga si pasien berasal dari kalangan pintar dan elit.
“Karena mereka akan telusuri sampai ke akarnya untuk tahu penyebab meninggalnya orang tua mereka. Tanggung jawab kita sebagai perawat berat. Kita bisa terlibat, dituntut dan dipenjarakan,” ujar Merlin. Selain itu keluarga juga dapat menuntut ganti rugi dalam bentuk uang. “Yang rugi perusahaan yang merekrut kita karena kalau nggak akan berakhir di jail (penjara) mereka harus bayar.”
Di Jepang, ada Hari Penghormatan untuk Orang Lanjut Usia
Foto: Issei Kato/Reuters
Dengan segala tantangan itu, tak semua peserta program ini dapat bertahan. Apalagi pekerja di Jepang dikenal sangat gila kerja. Sudah jadi pemandangan biasa jika para junior Merlin tidak kuat dan terpaksa mundur di tengah jalan.
“Jam kerja kita normal 8 jam. Bedanya Jepang itu sangat strict. Kalau lagi kerja ya kerja. Nggak ada istilah pegang handphone atau duduk sambil bergosip. Kalau sudah nggak ada kerjaan pun cicil pekerjaan lain yang besok akan kita lakukan. Itu yang bikin capek, pekerjaan akan selalu ada,” tuturnya. Saat lembur, Merlin akan mendapat kompensasi bayaran sesuai jumlah jam kerja. “Lembur terkadang bisa sampai 17 jam. Tapi itu sudah dihitung masuk dua hari.”
Diberikan pekerjaan melimpah tentu diimbangi dengan imbalan yang setimpal juga. Penghasilan yang Merlin dapatkan setiap bulannya tak bisa dibandingkan dengan penghasilan seorang perawat di Indonesia tentunya.
“Gaji kotor kalau dirupiahkan bisa sampai Rp 30 juta, tergantung tempat kita bekerja juga. Kalau bersih Rp 20 juta karena dipotong pajak dan asuransi. Aku masih bisa nabung Rp 8-10 juta per bulan,” kata Merlin yang sudah terlanjur betah dan tak ingin kembali bekerja di Indonesia. Apalagi kini Merlin juga sudah lulus dari ujian nasional alias Kokka Shiken. Ia berhasil mendapat lisensi perawat lansia resmi di Jepang. Merlin diperbolehkan memperpanjang masa kerja sesuai keinginan dan tanpa batas waktu.
Penulis: Melisa Mailoa
Editor: Irwan Nugroho