INTERMESO

Terkatung-katung di Negeri Eksodus

Ada 7.490 orang pengungsi Afganistan hidup sementara di Indonesia. Nasib mereka terkatung-katung.

Ilustrasi : Luthfy Syahban

Sabtu, 28 Agustus 2021

Muhammad Ali, Muhammad Nassif, dan Muhammad Ibrahim duduk termenung di tengah demontrasi ribuan pengungsi Afghanistan di trotoar jalan di depan kantor perwakilan Komisi Tinggi Urusan Pengungsi PBB atau United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR), Kebon Sirih, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa, 24 Agustus 2021 lalu. Di raut wajah mereka tersirat keputusasaan, tapi sekaligus harapan yang terpendam sangat lama.

Ketiga orang asal Asia Tengah ini merupakan bagian dari 7.490 orang pencari suaka ke sejumlah negara, seperti Australia, Selandia Baru, Kanada dan Amerika Serikat. Berdasarkan laporan Lembar Fakta UNHCR edisi April-Mei-Juni 2021, Indonesia adalah negara keempat tempat transit para pengungsi Afghanistan setelah Iran, Pakistan, India dan Malaysia.

Sebagian ada yang memilih tinggal sementara di penampungan yang difasilitasi pihak UNHCR di Kalideres, Jakarta Barat. Tapi banyak juga yang memilih hidup sendiri atau bersama keluarga di rumah kontrakan atau indekos yang tersebar di sejumlah titik di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi, bahkan Makassar, Sulawesi Selatan.

Kebanyakan dari mereka sudah berada di Indonesia selama tujuh hingga 12 tahun lamanya. Selama itu pula hidup mereka terkatung-katung. Mereka tak punya pekerjaan sebagai pengisi nafkah, karena pengungsi di Indonesia tak diperbolehkan bekerja. Bekal uang pun habis, sementara mereka harus tetap makan dan memenuhi kebutuhan lainnya. Praktis uang kiriman dari keluarga di Afghanistan yang mereka andalkan.

Pengungsi Afghanistan saat melakukan aksi damai di Sidoarjo beberapa waktu lalu. 
Foto : Suparno/detikcom

Mereka menghitung hari demi hari, kapan segera akan diberangkatkan ke negara idaman. Padahal secara administrasi, mereka sudah mengantungi kartu tanda pengenal/ID Card dari UNHCR dan International Organization of Migration (IOM). “Kita semua sudah ada. Kenapa tidak dijelaskan? Delapan tahun bukan waktu kecil. Itu umur satu orang itu. Ada 14 orang bunuh diri di Indonesia orang Afghanistan, karena udah lama dan stress. Kita datang ke sini bukan untuk jalan-jalan,” ungkap Muhammad Ali sedikit emosional.

Ali bersama keluarganya meninggalkan Afghanistan sejak tahun 2012. Mereka mengontrak sebuah rumah sederhana di Gading Serpong, Pegadungan-Kelapa Dua, Kabupaten Tangerang, Banten. Untuk hidup sehari-hari, Ali mendapatkan uang Rp 1 juta dari UNHCR. Tentu tak cukup untuk hidup di kawasan Jabodetabek saat ini. Cari tambahan uang pun sulit, karena tak diijinkan bekerja. “Enggak boleh, kita nggak boleh keluar, nggak bisa kerja, kita nggak boleh di Bandara, kita nggak boleh pindah dari sini ke kota lain,” ujarnya.

Tapi Alhamdulillah, saya masih bersyukur diberi kesehatan, belum pernah meminta sana-sini. Paling sekarang saya kerja jadi tukang ojek saja."

Hal serupa dialami Muhammad Nassif, 40 tahun yang sudah berada di Indonesia sejak tahun 2011. Ia tinggal mengontrak rumah di kawasan Puncak, Bogor dengan menghabiskan uang tabungannya, serta mengandalkan kiriman uang dari saudaranya. “Nggak boleh kerja. Hari-hari aku di rumah, masak sendiri, beli di pasar, uang dari saudara aku,” ucapnya.

Begitu pula Muhammad Ibrahim, 36 tahun yang tinggal di rumah kosan bersama istri dan kedua anaknya di wilayah Tebet, Jakarta Selatan. Untuk kontrakan ia mendapatkan kiriman uang dari kerabatnya di Afghanistan. Namun kiriman uang kini tersendat, karena ibunya di Afghanistan dikabarkan meninggal dunia akibat terpapar Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) beberapa waktu lalu.

“Mama sudah meninggal karena corona. Uang saya diterima kirim dari Afghanistan, tapi sudah habis. Sudah delapan tahun saya di sini sama keluarga berempat. Kerja nggak ada. Masalahnya di sini pengungsi tidak ada kerja, tidak ada sekolah, tidak ada activity,” terang Ibrahim.

Lain halnya dengan Sazawar Muhammad Musa, 41 tahun, yang sudah delapan tahun sejak 2013 silam berada di Indonesia. Ia memang sedikit memiliki kebebasan untuk pergi ke sana-kemari. Ia memang tak difasilitasi ketika mengungsi ke Indonesia oleh UNHCR atau IOM. Tapi sama, untuk bekerja susah dan akan dikenai sanksi oleh pihak imigrasi.

Proses evakuasi warga Afghanistan terus dilakukan usai Taliban berkuasa di Kabul. Ratusan warga Afghanistan pun dievakuasi ke luar negeri, salah satunya Spanyol
Foto : Getty Images/Pablo Blazquez Dominguez

“Orang kayak aku ini tidak di-support oleh IOM dan UNHCR, kita bebas di mana saja. Cuma, ya, kita harus benar-benar mandiri, cari uang sendiri, cari kerja sendiri. Cuma cari kerja ini kita juga sangat terbatas, karena tidak bisa aku ini cari kerja,” kata Musa yang ditemui detikX di kontrakannya di kawasan Ciawi, Bogor, Senin, 23 Agustus 2021.

Musa mengaku, menjadikan Australia sebagai tempat tujuan akhirnya untuk menetap. Sebenarnya, ia mau saja tinggal di Indonesia yang nyaman dan masyarakat ramah. “Kalau saja bisa kerja di sini, saya nggak perlu ke Australia, tapi di sini susah cari kerja. Kalau punya uang di sini sudah paling nyaman menurut saya, orang-orang di sini baik-baik,” ucap Musa yang fasih berbahasa Indonesia karena diajarkan warga sekitar tempat tinggalnya.

Musa pun mengisahkan, ketika ia eksodus dari negaranya pada Mei 2013 hanya berbekal uang tabungan hasil bekerja di Afghanistan. Ia sempat dua tahun tinggal di Jakarta, namun tak betah dengan udara panas dan macet di kota metropolitan. Akhirnya ia memutuskan untuk tinggak di rumah kontrakan di kawasan Ciawi, Bogor tahun 2015 silam.

Walau berhemat, lama-lama uang tabungannya menipis. Ia memutar otak guna mencari uang tambahan untuk makan dan membayar sewa kontrakan. Ia malah sempat kerja serabutan menjadi kuli bangunan. Ia sempat ditawari warga untuk mengerjakan penggalian gorong-gorong sepanjang 36 meter. “Karena nggak ada yang mau melakukan kerjaan itu, ya lumayan itu saya masuk ke dalam sepanjang 36 meter, ya lumayan lah dibayar sama Ibu Haji itu,” ucap Musa tersenyum seraya tangannya menunjuk ke arah rumah Ibu Haji yang dimaksudkannya itu.

Di lain waktu, Musa pernah bolak-balik jalan kaki dari Ciawi menuju Cisarua, Puncak, sepanjang 40 kilometer setiap hari untuk mencari uang. Alih-alih mendapatkan uang, Musa malah keleleran hingga tidur di emperan sebuah minimarket selama beberapa hari. “Karena lagi susah, susah banget. Tapi belum pernah menyerah, belum pernah putus asa, belum pernah minta bantuan orang lain, karena tidak ada yang tahu,” kenangnya.

Suatu waktu ia berkenalan dengan orang yang menawarinya bekerja mengajar di sebuah sekolah di Jakarta. Musa mau menerima tawaran itu dan harus bolak-balik Ciawi-Jakarta menggunakan sepeda motor pinjaman orang. Musa sedikit lega, karena bisa membayar uang sewa kontrakan dan membeli bahan makanan. Tapi itu tak lama, badai COVID-19 menghantam Indonesia memaksa semua sekolah berhenti. Ujung-ujungnya, Musa pun kini tak lagi mengajar sampai saat ini.

Afghanistan kini dikuasai oleh kelompok Taliban
Foto: AP/Rahmat Gul 

“Tapi Alhamdulillah, saya masih bersyukur diberi kesehatan, belum pernah meminta sana-sini. Paling sekarang saya kerja jadi tukang ojek saja, sampingan saja itu juga, saya nggak bisa daftar ojek online, karena saya tidak punya KTP,” terang Musa.Karena itulah, menurut Musa, semua pengungsi memilih Australia sebagai tujuan akhir. Karena di Negeri Kangguru itu tak seperti di Indonesia yang birokrasi untuk pengungsi bisa bekerja sangat ribet, sulit dan panjang. “Di sana birokrasinya cukup simple lah, tidak menyulitkan kami warga pengungsi untuk hidup di negaranya. Di Indonesia ini baik orang-orangnya, cuma birokrasinya itu yang susah banget,” imbuhnya.

Hingga hari ini, Musa, Ali, Nassif dan Ibrahim serta ribuan pengungsi Afghanistan lainnya tinggal menunggu kabar baik dari UNHCR dan IOM, kapan mereka bisa diberangkatkan ke negara tujuan masing-masing. “Saya berharap pada UNHCR agar bisa mempercepat segala proses administrasi saya dan seluruh pengungsi. Jangan dihambat-hambat kalau bisa, saya juja akan segera mungkin mengevakuasi keluarga saya yang masih di Afghanistan,” pungkas Musa.

Tak tahu secara pasti berapa jumlah pengungsi asal Afghanistan yang tinggal di kawasan Puncak, Bogor. Alasannya, selama ini aparatur pemerintah pun tak melakukan pendataan lebih detil. “Di wilayah Cisarua sendiri pun tidak ada kamp pengungsian baik dari UNHCR maupun IOM. Kalau ditanya kapa mereka mulai masuk wilayah Cisarua, memungkinan besar sejak 1996,” kata Sekretaris Kecamatan Cisarua, Toto kepada detikX, Senin, 23 Agustus 2021.

Toto hanya mengatakan, selama ini tidak pernah ada konflik antara warga dengan pengungsi dari negara lain, khususnya Afghanistan. Hal itu, karena kebanyakan pengungsi ini tinggal di tempat yang jauh dari lingkungan penduduk lokal. “Mereka tersebar di berbagai wilayah dan kita pun tidak ada kewenangan untuk mendata,” imbuh Toto.


Reporter: Syailendra Hafiz Wiratama
Redaktur: M Rizal
Editor: Irwan Nugroho

***Komentar***
[Widget:Baca Juga]
SHARE