INTERMESO

Nestapa Isolasi Mandiri

Menyelamatkan Keluarga dari Corona

“Kalau sampai terjadi apa-apa dengan kakek, saya nggak akan bisa maafin diri sendiri.”

Ilustrasi : Edi Wahyono

Minggu, 11 Juli 2021

Winny Setyo tak kuasa menahan sedih melihat kakeknya terkulai lemah di ranjang kamar tidur. Selang oksigen terpasang di hidungnya. Dada sang kakek bergerak naik turun lebih cepat dari biasanya.Meski sudah dipasang oksigen, kondisi kakeknya masih belum stabil sehingga tidak bisa lepas dari pantauan. Sudah empat hari sejak dinyatakan positif COVID-19, kakek Winny masih belum menunjukkan perbaikan.

“Nafasnya jadi lebih sering dan pendek. Kalau sedang menarik nafas itu katanya terasa sakit sekali di dada,” ujar perempuan berusia 29 tahun ini.

Di rumah Winny, bukan hanya kakeknya yang menjalankan isolasi mandiri, melainkan seluruh anggota keluarganya. Di dalamnya termasuk kedua orang tua Winny dan satu orang adik laki-laki berusia 21 tahun. Di saat kasus penyebaran COVID-19 di Indonesia kembali menanjak, hasil Swab PCR keluarganya kompak menunjukan hasil positif.

Winny merasa bertanggung jawab atas kesialan yang menimpa keluarganya. Di antara anggota keluarganya, Winny yang paling banyak beraktivitas di luar rumah. Terutama setelah ia mengambil pekerjaan sampingan sebagai kru sebuah wedding organizer.

Pekerjaan ini menuntut Winny untuk bertemu dengan banyak orang sekaligus. Begitu pula dengan meeting tatap muka untuk bertemu klien maupun vendor. Kebetulan beberapa minggu belakangan ini, Winny sedang hilir mudik membantu menangani dua klien yang dijadwalkan melangsungkan pernikahan di bulan Juli.

Ilustrasi isolasi mandiri
Foto : Getty Images

“Mama saya padahal sudah peringatin saya, jangan diambil dulu pekerjaan itu. Tapi karena gaji dari pekerjaan utama dipotong, saya pikir lumayan nih buat nambahin yang kurang,” ungkap Winny yang juga bekerja sebagai staf keuangan di sebuah perusahaan swasta.

Ibarat nasi sudah menjadi bubur, penyesalan Winny tak ada artinya lagi. Winny yang pertama ketahuan membawa virus COVID-19. Itu pun karena pekerjaan Winny di bidang wedding organizer menuntut dirinya untuk melakukan swab PCR secara rutin. Namun, saat itu Winny sudah mengalami gejala batuk ringan.

Alhamdulilah sih nggak sulit, keluarga, tetangga pada ngebantu dari makanan, obat mereka pada ngirim-ngirimin semua."

Beruntung sejauh ini anggota keluarga Winny hanya mengalami gejala ringan seperti batuk dan demam. Hanya kakeknya yang mengalami kesulitan bernafas. Untuk keperluan obat, Winny dibantu salah satu anggota keluarga besarnya yang berprofesi sebagai dokter paru-paru. Dari sana Winny mendapatkan bantuan obat termasuk tabung oksigen.

“Kita nggak kepikiran buat bawa kakek ke rumah sakit. Soalnya di mana-mana penuh. Saya malah takutnya kakek nggak keurus,” ujar Winny yang tinggal di Pondok Aren, Tangerang. Namun jika kondisi kakeknya semakin memburuk, rumah sakit akan menjadi pilihan terakhir.

Sampai saat ini Winny tak bisa menghapus rasa bersalah kepada kakeknya yang selama pandemi lebih banyak berdiam di rumah saja. Apalagi hubungan keduanya cukup baik dan dekat. “Kalau sampai terjadi apa-apa dengan kakek, saya nggak akan bisa maafin diri sendiri. Mendingan saya aja yang gantiin posisi dia,” kata Winny.

Ayunda Putri bergidik ngeri melihat kondisi salah satu rumah sakit swasta di Depok, Jawa Barat. Saat itu ia tengah berpindah dari satu rumah sakit ke rumah sakit lain demi mencari kamar bagi kedua orang tuanya yang dinyatakan positif COVID-19. Ayah dan ibunya mengalami gejala sesak nafas, ditambah komorbid penyakit lambung.

Sebelumnya mahasiswi berusia 21 tahun ini sempat menelepon beberapa rumah sakit. Namun, hanya ada satu rumah sakit yang menyanggupi permintaan Putri untuk menyediakan kamar bagi orang tuanya. Namun, saat didatangi, kondisi rumah sakitnya kacau balau.

Ilustrasi antrean rumah sakit karena corona di sebuah rumah sakit di Cengkareng
Foto : ANTARA Foto/Fauzan

“Ya Allah, itu orang udah kayak pepes di lorong-lorong rumah sakit. Itu IGD-nya kecil, terus disuruh cari kursi roda sendiri. Jadi sambil diinfus di kursi roda gitu duduk, malah sampe ada yang di angkot,” tutur Putri menggambarkan kondisi rumah sakit yang ia kunjungi.

Melihat keadaan rumah sakit yang begitu tidak kondusif Putri pun putar balik. Putri terpaksa meminta kedua orang tuanya melakukan isolasi mandiri. Sementara Putri serta kakak dan adiknya yang dinyatakan negatif menjadi ‘perawat’ dadakan.

Sebelumnya Putri sempat membuat laporan ke RT dan Puskesmas. “Sempat nggak ada tanggapan dan lama responnya. Mungkin karena lagi tinggi (kasusnya) ya. Akhirnya inisiatif sendiri. Namanya orang tua gitu yang sakit, panik takut kenapa-kenapa,” kata Putri. Akhirnya Putri mendapat bantuan obat dari puskesmas. Ditambah layanan home care yang juga menyediakan obat dan konsultasi dokter dengan tarif Rp 5 juta.

Putri pun berbagi tugas dengan para saudaranya. Sang kakak bertugas membeli kebutuhan di luar rumah. Sementara Putri dan adiknya berjaga dan mengurus keperluan kedua orang tuanya di rumah. Mereka berupaya mejalankan protokol kesehatan ketat dengan memakai masker dua lapis dan menyemprot cairan disinfektan. Kamar mereka dan orang tuanya juga dipisah.

Alhamdulilah, sih, nggak sulit. Keluarga, tetangga pada ngebantu dari makanan, obat mereka pada ngirim-ngirimin semua,” ungkap Putri.


Reporter: Clara Anna
Editor: Melisa Mailoa
Editor: Irwan Nugroho

***Komentar***
[Widget:Baca Juga]
SHARE