Ilustrasi: Getty Images
Sabtu, 10 Juli 2021Keluarga kecil Michelle Samantha tengah diliputi bahagia. Tak lama lagi, putri kedua mereka segera lahir. Dokter pun sudah menjadwalkan Michelle untuk kembali melakukan pemeriksaan kandungan dalam waktu dekat. Namun dalam sekejap, kebahagiaan itu berubah menjadi mimpi buruk.
Suami dan buah hatinya yang masih berusia tiga tahun terinfeksi virus COVID-19. Hanya Michelle satu-satunya yang dinyatakan negatif. Dengan kondisi perut semakin membesar, ia terpaksa turun tangan merawat keluarganya di rumah.
“Saya sendiri hamil tujuh bulan. Nggak pakai APD (Alat Pelindung Diri), merawat dua orang positif,” begitu respon Michelle melalui pesan singkat saat ditanya detikX soal kesediaannya melakukan wawancara beberapa hari lalu.
Seluruh kekacauan ini terjadi dalam rentang waktu yang singkat. Bermula ketika mertua laki-laki Michelle mengalami batuk-batuk. Kebetulan rumah mereka berdua bertetangga dan keduanya kerap saling berkunjung. Keesokan harinya, suami dan anak Michelle ikut-ikutan batuk.
Perempuan berusia 28 tahun ini mulai punya firasat tidak enak, mengingat mertuanya sering kali melakukan aktivitas di luar rumah. Mereka segera melakukan awab antigen disusul swab PCR. Benar saja firasatnya bahwa mertua, suami, dan anaknya dinyatakan positif COVID-19.
Di tengah kepanikan, Michelle berupaya melapor ke Satgas COVID-19 untuk meminta pertolongan. Namun, ia diminta untuk melapor langsung ke puskesmas terdekat. Kondisinya yang tengah hamil besar tentu tidak memungkinkan Michelle untuk pergi seorang diri.
Baca Juga : Menyelamatkan Keluarga dari Corona
Michelle bersama suami dan anaknya saat ini sedang berjuang melawan COVID-19 dengan melakuan isolasi mandiri di rumahnya.
Foto : Dok Pribadi
Michelle memutuskan untuk konsultasi dengan dokter anak langganan. Dokter pun memberikan resep obat dan vitamin. Tapi setelah mengkonsumsi obat, kondisi kesehatan suami dan anaknya malah menurun drastis. Saturasi oksigen keduanya turun ke angka 92 persen. Padahal saturasi oksigen normal berkisar antara 95 sampai 100 persen atau lebih.
Anaknya juga berkali-kali muntah dan sama sekali tidak bisa menelan makanan maupun susu. Dalam situasi darurat itu, Michelle mencoba mencari kamar di rumah sakit.
“Tanggal 1 Juli saya telepon 10 rumah sakit, semua jawabannya penuh. Tanggal 2 (Juli) saya telepon sampai 21 rumah sakit, jawabannya tetap sama. Ada satu rumah sakit mau terima, tapi harus antre tiga hari. Saya bilang kelamaan keburu mati,” cerita Michelle.
Saya udah bilang ke suami saya kalau saya ada apa-apa, janinnya keluarin dulu aja, saya mah nggak apa-apa. Udah nggak peduli sama nyawa deh, udah bodo amat."
Setelah ditolak rumah sakit mentah-mentah, Michelle terus putar otak. Ia memutuskan untuk membeli tabung oksigen. Tentu kita tahu, mencari tabung oksigen di saat seperti ini bukan perkara mudah. Namun, pertolongan datang dari ayahnya yang berdomisili di Tangerang. Tepat pukul 24.00 WIB, tabung oksigen berukuran 1 meter seharga Rp 3,5 juta tiba di rumahnya.
“Untung ada keluarga, ketimbang rumah sakit, mereka lebih cepat tanggap,” ungkapnya yang tinggal di Perumahan Taman Surya 3, Cengkareng, Jakarta Barat.
Sayangnya tabung oksigen tidak cukup membantu. Saturasi oksigen anaknya hanya mentok di angka 94 persen. Michelle kembali membeli alat oksigen konsentrator seharga Rp 11 juta. Alat itu juga ia dapatkan setelah bersusah payah. Setelahnya, kondisi sang anak baru stabil diangka 99 persen.
“Udah cari di e-commerce mana pun nggak ada. Kalau ada pun harganya lucu-lucu. Kayak alat oksigen konsentrator itu ada yang jual Rp 20-30 juta. Untung teman saya masih ada stok satu. Langsung dikirim dan akhirnya anak saya bisa selamat juga,” tutur Michelle.
Selama menjalankan Isoman, Michelle sudah menghabiskan uang Rp 50 juta. “Mana cari duit lagi susah. Kita jualan online juga terpaksa dibatasi dulu.”
Dengan kondisi terkulai lemah, ditambah memiliki komorbid darah tinggi dan asam urat, suami Michelle sama sekali tidak bisa membantu. Untuk perlindungan diri, Michelle hanya mengandalkan dua lapis masker dan semprotan cairan disinfektan. Ditambah sebuah tongkat untuk membantunya berjalan.
Ilustrasi isolasi mandiri
Foto : Shutterstock
Merawat dua pasien COVID-19 di saat sedang hamil besar sungguh bukan perkara mudah. “Saya sehari cuma tidur empat jam doang. Sebentar-sebentar bangun buat ngurusin suami sama anak. Ini selangkangan sampai ke kaki saya sakitnya sudah minta ampun. Sudah mau mati saja rasanya. Saya sudah kecapean, nggak kuat,” keluh Michelle.
Michelle sudah berusaha semaksimal mungkin menerapkan protokol kesehatan di rumah agar dirinya tidak ikut sakit. Suami dan anaknya tidur di ruang tamu, sedangkan ia tidur sendiri di kamar. Namun, di saat saturasi oksigen anaknya turun, Michelle yang panik membiarkan anaknya tidak memakai masker.
Tak menunggu lama, Michelle yang melakukan kontak erat dengan anaknya ikut tertular. Hasil swab antigen tanggal 7 Juli lalu menunjukkan Michelle positif COVID-19. “Saya sudah pasrah. Kalau mau ketularan, ya, ketularan, lah. Namanya juga naluri seorang ibu kan ya,” kata Michelle. Saat ini Michelle mengalami batuk dan kesulitan bernafas. “Nafas pendek, 2 detik doang tarik nafas udah terasa sakit luar biasa,” ucap Michelle yang sedari tadi memulai obrolan ditelepon tak berhenti batuk.
Untungnya di hari ke delapan menjalankan isolasi mandiri, suami dan anaknya mulai berangsur membaik. Kini tersisa kekhawatiran Michelle terhadap kondisi kesehatan janin yang ia kandung. Apalagi di kandungannya masih terdapat kista.
“Saya udah bilang ke suami saya kalau saya ada apa-apa, janinnya keluarin dulu aja, saya mah nggak apa-apa. Udah nggak peduli sama nyawa deh, udah bodo amat,” ucap Michelle disusul tangisan sang suami.
Penulis: Melisa Mailoa
Editor: Irwan Nugroho