INTERMESO

Segala Pertaruhan Novel

Demi melenyapkan korupsi, Novel pernah nyaris terbunuh, ditabrak, dibutakan, dipenjarakan, dan dituduh radikal. Kini terancam dipecat karena tak lolos tes ASN.

Foto : Pradita Utama/detikcom

Kamis, 13 Mei 2021

Sore itu, sekitar pukul 18.00 WIB, Jumat, 5 Oktober 2012, puluhan polisi mengepung Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kuningan, Jakarta Selatan. Hampir setiap sudut gedung telah dijaga aparat: di depan, samping, maupun belakang. Sejumlah petinggi Polda Metro Jaya dan Polda Bengkulu ikut dalam pengepungan. Tim Detasemen Khusus 88 Antiteror bahkan turut diterjunkan.

Mereka bersenjata dan membawa surat penangkapan terhadap Novel Baswedan, penyidik KPK. Penyerbuan terjadi tepat setelah Novel menginterogasi mantan Kepala Korlantas Polri, Irjen Djoko Susilo, terkait kasus simulator Surat Izin Mengemudi (SIM). Pemeriksaan berlangsung selama delapan jam lamanya di kantor KPK. Saat itu, Novel tengah menjabat sebagai Ketua Satgas Penyidikan Kasus Simulator SIM.

Kabar pengepungan beredar cepat ke khalayak. Aktivis dan masyarakat pun berbondong-bondong menuju Gedung KPK untuk mendirikan pagar hidup. Nyaris seribu orang berkumpul di KPK malam itu. Mereka siap berhadapan langsung dengan pasukan polisi. Personel TNI, termasuk pasukan elite antiteror TNI AL dan Detasemen Jala Mangkara, juga ikut turun ke Gedung KPK untuk memberikan pengamanan.

Arsip pemberitaan detik.com saat itu menyebutkan, pengepungan dan upaya penangkapan bermula dari keberanian Novel menggeledah kantor Korlantas Polri pada Senin, 30 Juli 2012 sebelumnya. Namun, upaya penggeledahan itu mendapatkan halangan dari 16 oknum polisi. Bahkan, 21 penyidik KPK sempat menjadi korban penyanderaan oleh oknum-oknum tersebut.

Aksi penggeledahan di Gedung Korlantas Polri yang dipimpin Novel Baswedan pada akhir Juli 2012
Foto : Dok Detik.com

Novel yang menjadi inisiator dalam penggeledahan itu dianggap pengkhianat oleh Korps Bhayangkara. Pasalnya, Novel pernah dan masih tercatat sebagai anggota polisi pada waktu itu. Tetapi justru dia sendirilah yang berupaya membongkar kebobrokan dari instansi yang membesarkannya tersebut. Novel mundur dari Polri setelah hendak ditarik Mabes Polri bersama 27 penyidik lainnya. Penarikan itu dipicu oleh kasus Simulator SIM.

Istilah Cicak vs Buaya Jilid II pun mencuat kembali. Istilah 'Cicak vs Buaya' sebelumnya muncul lantaran pernyataan mantan Kabareskrim Polri Komjen Susno Duadji pada 2009 yang menyebut KPK adalah cicak, sementara Polri adalah buaya. Lantaran ketegangan itulah, borok Novel di masa lalu berupaya diungkit. Polisi membuka kembali satu kasus hukum yang melibatkan Novel, yakni penganiayaan terhadap pencuri sarang burung walet saat dia masih menjabat Kasatreskrim Polres Bengkulu pada 2004

Memang ada yang seberani Bang Novel?"

Mantan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto sudah membantah tuduhan Polri tersebut. Menurut Bambang, bukan Novel pelakunya. Novel hanya mengambil-alih tanggung jawab atas kesalahan yang dilakukan anak buahnya. Novel pun sudah diberikan teguran keras dari instansinya dan kasusnya dinyatakan selesai pada 2004.

Tetapi, Polri tidak ambil peduli akan penjelasan tersebut. Pengepungan tetap dilakukan untuk menjemput Novel dari KPK. Mantan Ketua KPK Abraham Samad mengatakan, sudah sempat terjadi upaya-upaya paksa untuk menjemput Novel. “Oknum-oknum (polisi) sudah masuk sampai lobi,” kata Abraham seperti dinukil detik.com, Sabtu, 6 Oktober 2012. Ketegangan baru mereda ketika mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) angkat bicara. Dalam pidatonya, SBY menuturkan, penetapan tersangka terhadap Novel tidak tepat waktu dan cara. Polisi akhirnya mundur teratur.

Novel Baswedan (kiri) sekitar tahun 2015
Foto : Dok Detikcom

Setelah mundur dari Polri, Novel, lulusan Akademi Kepolisian 1998 resmi menjadi penyidik independen KPK. Namun, kasus cicak vs buaya rupanya belum selesai. Kasus itu kembali memanas ketika KPK menetapkan Komjen Budi Gunawan sebagai tersangka korupsi. Novel kembali diusik. Dia pun diciduk Penyidik Direktorat Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri di kediamannya di Kelapa Gading, Jakarta Utara. Kasus ini dihentikan Kejaksaan di tahap penuntutan karena kurangnya alat bukti. Kasus Novel terpendam selamanya karena telah melampaui masa kedaluwarsa.

Serangan terhadap cucu mantan anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, Abdurrahman Baswedan, ini rupanya tidak sekali itu saja terjadi. Pernah pada Juni 2012, Novel dan sejumlah penyidik lain harus berhadapan langsung dengan puluhan pengawal mantan Bupati Buol Amran Batalipu di Sulawesi Tengah. Saat itu, Novel hendak melakukan penangkapan terhadap Amran atas kasus dugaan korupsi penerbitan hak guna usaha perkebunan kelapa sawit.

Penyidik KPK saat itu yang menggunakan mobil Toyota Innova dan dua sepeda motor ditabrak dengan sengaja oleh mobil yang membawa Amran. Bupati Boul itu pun berhasil lolos dari penyergapan. Setelah tahu jadi incaran KPK, Amran lantas menyiapkan Satuan Polisi Pamong Praja dan barisan pendukungnya untuk menjaga rumah dinasnya di Buol. Susana begitu mencekam. KPK baru berhasil merangsek masuk ke rumah Amran dan menangkapnya pada Jumat, 6 Juli 2012.

Sebagai penyidik penting di KPK, pria kelahiran Semarang, 22 Juni 1977 tersebut memang tidak pernah jauh dari marabahaya. Teror demi teror terus merongrong Novel semenjak keberadaannya di KPK. detikX mencatat, Novel pernah mengalami dua kali tabrakan di jalan. Ia menduga, peristiwa itu bukan tanpa sengaja, karena penabrak selalu lari setelah insiden.

Penabrakan pertama terjadi pada 2011 saat Novel menangani kasus cek pelawat. Seorang penabrak yang diduga membidik Novel salah sasaran sehingga menyerempet Dwi Samayo, penyidik lain di KPK. Novel luput dari tabrakan karena lebih dulu pulang. Sedangkan tabrakan terakhir terjadi pada pertengahan 2016. Kali ini, para pelaku tidak meleset. Pagi itu, Novel berangkat menuju kantor KPK di Kuningan dengan menunggang sepeda motor dari rumahnya di kawasan Kelapa Gading. Di kawasan pertokoan dekat rumahnya, Novel diseruduk mobil Toyota Avanza.

Novel Baswedan saat terbaring di rumah sakit pasca penyerangan dengan air keras
Foto : Dok Detikcom

Novel terpental dari kendaraannya dan mengalami luka ringan. Dia pun harus berjalan terpincang-pincang untuk sampai ke Gedung KPK. Kala itu, Novel tengah menangani pengusutan dua kasus kakap, salah satunya korupsi e-KTP yang melibatkan mantan Ketua DPR Setya Novanto.

Penyerangan berikutnya terjadi pada 11 April 2017. Novel yang baru saja pulang salat subuh di masjid dekat rumahnya didekati oleh dua orang tidak dikenal dengan menggunakan sepeda motor. Saat sampai di dekat Novel, kedua pelaku itu menyiram air keras ke wajah Novel. Akibat kejadian itu, wajah Novel terbakar separuh, dan mata kiri mengalami kebutaan permanen.

Pada Sabtu, 28 Desember 2019, ketika dua polisi pelaku penyerang Novel akhirnya ditangkap, salah satu pelaku, yakni Ronny Bugis berteriak, “Tolong dicatat, saya nggak suka sama Novel karena dia pengkhianat!”

Belum sembuh betul luka yang diderita akibat penyiraman itu, Novel kembali diserang dengan isu radikalisme. Pada pertengahan 2019, Novel bersama sejumlah penyidik KPK dan mantan pimpinan KPK dituduh sebagai taliban. Nama-nama yang ikut terkait dan dianggap radikal adalah Abdullah Hehamahua dan Busyro Muqoddas, dua mantan pemimpin KPK. Terhembus kabar miring bahwa KPK telah menjadi sarang ‘Polisi India’ atau orang-orang radikal.

Isu itu pula akhirnya yang kini digunakan untuk menghempaskan Novel dari KPK. Pada 18 Maret-9 April 2021, KPK melaksanakan tes wawasan kebangsaaan (TWK) sebagai syarat pengalihan status pegawai KPK menjadi aparatur negeri sipil. Dalam tes itu, isu soal radikalisme diangkat sebagai salah satu syarat kelulusan. Hasilnya kemudian diumumkan Ketua KPK Komjen Firli Bahuri pada Senin, 5 Mei 2021. Sebanyak 75 pegawai KPK dinyatakan tidak lulus tes, salah satunya Novel.

Nasib para pegawai KPK sempat terkatung-katung lantaran hasil tersebut. Sampai akhirnya diterbitkanlah Surat Keputusan Pimpinan KPK Nomor 652 Tahun 2021 pada 7 Mei 2021. Surat itu menyatakan bahwa seluruh pegawai KPK yang tidak lolos TWK bakal dinonaktifkan. Semua tugas dan tanggung jawab para pegawai yang gagal lolos itu mesti diserahkan kepada atasan.

Novel Baswedan
Foto : Matius Afons/detikcom

Lagi-lagi Novel coba disingkirkan. Padahal dia baru saja menuntaskan dua kasus besar. Satu di antaranya, adalah korupsi benur yang menjerat mantan Menteri Perikanan dan Kelautan Edhy Prabowo. Lalu, kasus mafia hukum yang menjerat mantan Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi.

Kepada detikX, Novel juga mengaku menjadi salah satu penyidik yang turut berperan dalam pengungkapan kasus suap mantan calon legislatif Partai Demokrasi Perjuangan (PDIP) Harun Masiku. Meski akhirnya, kasus itu diambil-alih oleh pimpinan sehingga Harun Masiku berhasil kabur. Sampai sekarang, Harun Masiku belum diketahui di mana rimbanya. “Kasus Harun Masiku, tadinya kita yang pegang. Sekarang diambil alih pimpinan. Kita nggak boleh pegang,” saat berbincang dengan detikX pekan lalu.

Bagi para penyidik KPK lainnya, Novel begitu spesial. Ketika detikX mencoba bertanya kepada beberapa penyidik KPK soal cerita di balik gagalnya 75 pegawai dalam TWK, mereka menyerahkannya kepada Novel. “Kenapa harus Novel?” tanya detikX. “Memang ada yang seberani Bang Novel?” jawab seorang penyidik yang enggan disebutkan namanya.

Jauh-jauh hari, Bambang Widjojanto juga pernah menyebut bahwa Novel memang berbeda. “Novel adalah salah satu penyidik otentik KPK. Kewajiban yang dia tunaikan melebih tugas yang diberikan kepadanya,” terang Bambang kepada detikX pada 2017 silam. Kini, ketika isu pemecatan 75 pegawai KPK mencuat, Novel pun muncul di depan publik dan mengatakan, “Kami akan melawan!” tegas Novel, Selasa, 11 Mei 2021.


Penulis: Fajar Yusuf Rasdianto
Editor: Irwan Nugroho

***Komentar***
[Widget:Baca Juga]
SHARE