INVESTIGASI

Kasus Novel Baswedan

Ganjilnya Dendam Dua Brimob

Motif penyerangan Novel Baswedan disebut polisi karena dendam pribadi. Sementara Tim Gabungan Pencari Fakta menyatakan tak ada motif pribadi. Mana yang benar?

Ilustrasi: Edi Wahyono

Rabu, 08 Januari 2019

Setelah dua tahun delapan bulan berlalu, kasus penyiraman air keras ke wajah penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan akhirnya terungkap pada 26 Desember 2019. Tim Teknis Mabes Polri menangkap dua pelakunya, yang ternyata dua anggota polisi aktif yang berdinas di Satuan Gegana Brimob Polri, Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat. Keduanya adalah Ronny Bugis dan Rahmat Kadir Mahulete yang berpangkat brigadir atau setingkat rersan di militer.

Kedua personel Brimob disebutkan telah menyerang Novel, yang juga mantan anggota Polri, karena motif dendam pribadi. Wajah Novel disiram cairan kimia jenis asam sulfat ketika akan pulang salat subuh di Masjid Al Ikhasn, yang berjarak 70 meter dari rumahnya di Jalan Deposito, RT 03/RW 10, Pegangsaan Dua, Kelapa Gading, Jakarta Utara, pada 11 April 2017. Akibat siraman cairan keras itu mata Novel sebelah kiri terluka parah hingga mengalami kebutaan.

Penangkapan dua pelaku itu mendapat apresiasi dan sambutan positif dari banyak kalangan, termasuk pejabat negara, politisi, hingga aktivis pegiat hukum dan hak asasi manusia (HAM). Namun, tak sedikit yang mengungkapkan nuansa kejanggalan atas penangkapan Ronny Bugis dan Rahmat Mahulete. Apakah keduanya melakukan tindakan itu atas dasar dendam pribadi lalu bergerak sendiri atau ada menyuruhnya? Kalau pun ternyata pelakunya polisi juga, kenapa butuh waktu yang lama untuk membekuk keduanya?

Penyidik KPK Novel Baswedan tiba di Polda Metro Jaya. Ia akan diperiksa sebagai korban penyerangan air keras.
Foto: Grandyos Zafna/detikcom


Di sini kami khawatir juga, proses penyidikan akan berhenti di level pelaku lapangan saja. Kami khawatir untuk membongkar dan menangkap pelaku yang pangkatnya brigadir butuh dua tahun, apalagi sampai ke pelaku intelektualnya yang mungkin pangkatnya jenderal, butuh upaya apalagi dari kami.”

Tim Advokasi Novel Baswedan, Muhammad Isnur, menilai, seharusnya Polri tidak berhenti hanya mendalami motif balas dendam dari dua pelaku. Di sisi lain, Novel sendiri mengaku tidak pernah memiliki urusan pribadi dengan kedua pelaku. “Harusnya negara serius mengungkap ke sana. Kita khawatirnya jangan-jangan aparat negara, walaupun disebut sebagai oknum itu melakukan teror, kepada siapa pun yang berani mengungkap masalah. Padahal pelakunya polisi aktif,” ungkap Isnur yang juga Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) kepada detikX di Kantornya, Jalan Diponegoro Nomor 74, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis, 2 Januari 2020.

Begitu juga dengan pengakuan Novel yang tak mengenal Ronny Bugis dan Rahmat Mahulete. Bahkan, Novel mengaku tak pernah bertemu atau berdinas dalam satuan tugas yang sama sebelumnya. “Saya sudah menjawab pertanyaan penyidik bahwa saya tidak kenal yang bersangkutan. Saya tidak pernah bertemu, tidak pernah juga berkomunikasi atau interelasi lainnya, baik dalam kegiatan pribadi maupun dinas,” ungkap Novel usai menjalani pemeriksaan di Polda Metro Jaya, Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan, Selasa, 6 Januari 2020.

Sebelumnya, kepada media Amerika Serikat, Time, yang terbit 14 Juni 2017, Novel sempat menyebutkan dugaan keterlibatan jenderal polisi di balik teror terhadapnya. Polri mengutus tim untuk menindaklanjuti pernyataan Novel itu. Lalu, hasil pemantauan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyebutkan dugaan keterlibatan seorang jenderal seperti pernah diungkapkan Novel. Atas rekomendasi Komnas HAM, Polri membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta yang berjumlah 65 orang dari unsur Polri, KPK dan para pakar pada 12 Januari 2019.

TGPF saat itu ketuai oleh Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Idham Aziz (sekarang Kepala Polri). Saat itu, Presiden Jokowi mengultimatum agar Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian bisa mengungkap kasus itu dalam tempo tiga bulan atau hingga Juli 2019. Sayangnya hingga tenggat waktu berakhir, kasus Novel belum juga terungkap. Hasil penyelidikan TGPF pun dianggap hambar, tak menemukan siapa tokoh pelaku dan dalangnya.

Kepada masyarakat, TGPF mengumumkan hasilnya pada tanggal 17 Juli 2019. Pertama, serangan terhadap Novel terjadi bukan karena motif pribadi, berkebalikan dengan pernyataan polisi mengenai motif dua pelaku yang ditangkap saat ini. Kedua, penyerangan diduga akibat penggunaan kekuasaan yang berlebihan atau excessive use of power oleh Novel saat menjalankan tugas saat melakukan pemeriksaan maupun operasi tangkap tangan (OTT). Karenanya, tindakan Novel itu memicu pihak yang sakit hati terhadap novel dengan melakukan penyerangan.

Dua orang anggota polisi aktif pelaku penyerangan kepada Novel Baswedan dibawa keluar dari Polda Metro Jaya.
Foto : Ari Saputra/detikcom

Ketiga, pelaku sakit hati terhadap Novel terkait kasus yang ditanganinya. Keempat, ada enam kasus high profile dalam penangangan Novel yang diduga bisa menimbulkan serangan balik. Keenam kasus itu di antaranya, korupsi kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP), kasus mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar, kasus mantan Sekjen Mahkamah Agung (MA) Nurhadi, kasus korupsi mantan Bupati Buol, Amran Batalipu, dan kasus korupsi Wisma Atlet.

Akhirnya Mabes Polri kembali membentuk Tim Teknis untuk mengusut kasus Novel pada 30 Juli 2019 yang bertugas hingga 30 Oktober 2019. Kemudian terjadi pergantian Kapolri dari Jenderal Tito Karnavian kepada Idham Azis pada 1 November 2019. Sebagai Kapolri baru, Idham Aziz berjanji akan menuntaskan kasus Novel. Satu bulan lebih, tepatnya 27 Desember 2019, Polri mengumumkan berhasil menangkap dua pelaku penyiraman Novel di Cimanggis, Depok.

Tim Advokasi Novel mempertanyakan kenapa dua pelaku baru terungkap dan ditangkap setelah menunggu pergantian Kapolri dan Kepala Bareskrim Polri. Apakah ada kekuatan yang dapat menghalangi penyidikan sekingga memakan waktu sangat lama butuh hampir tiga tahun baru terungkap? “Di sini kami khawatir juga, proses penyidikan akan berhenti di level pelaku lapangan saja. Kami khawatir untuk membongkar dan menangkap pelaku yang pangkatnya brigadir butuh dua tahun, apalagi sampai ke pelaku intelektualnya yang mungkin pangkatnya jenderal, butuh upaya apalagi dari kami,” ucap Isnur lagi.

Novel dalam pemeriksaannya sebagai saksi korban di hadapan penyidik telah ditanya 56 pertanyaan seputar kronologi kejadian yang menimpanya di Polda Meto Jaya, Senin 6 Januari 2020 dari pukul 10.20 WIB hingga 18.30 WIB. Sayangnya, saat itu Novel tidak dipertemukan atau dikonfrontir dengan Ronny Bugis dan Rahmat Mahulete. “Saya menyampaikan ke penyidik bahwa apabila penyidik memandang perlu untuk mempertemukan saya dengan kedua tersangka, saya siap, nggak ada masalah buat saya, tentunya saya lalukan itu untuk mendukung proses penyidikan,” jelas Novel.

Ia kembali menegaskan, dirinya tak kenal, tak pernah bertemu dengan kedua tersangka, sehingga tidak masuk akal bila dirinya dan kedua tersangka itu ada urusan personal. Karena itu, Novel kepada para penyidik juga sudah menjelaskan bila apa yang menimpanya selama ini merupakan fakta-fakta terkait tugas yang dilakukan dalam rangka pemberantasan korupsi sebagai penyidik di KPK. “Saya belum bisa menyampaikan kepada rekan-rekan media, tapi saya bisa hampir memastikan tidak mungkin itu terkait urusan personal,” tegas Novel lagi.

TGPF saat mengumumkan hasil investigasi kasus Novel Baswedan di, Jakarta, Rabu (17/7/2019).
Foto : Grandyos Zafna/detikcom

Di kesempatan itu, Novel juga menjelaskan kepada penyidik terkait penerapan Pasal 170 KUHP tentang penyerangan dan pengeroyokan kepada kedua tersangka yang dianggap tak tepat. Karena bila pasal itu yang digunakan, maka akan menjadi masalah dalam proses penyidikan selanjutnya. Apalagi penyerangan kepadanya dianggap sebagai penganiayaan berat dan berencana yang mengakibatkan luka yang bisa berujung maut.  “Jadi ini level penganiayaan tertinggi walaupun ada peluang yang dilakukan kepada saya ini adalah percobaan pembunuhan berencana,” ucap Novel.

Sementara itu sampai saat ini belum diketahui kapan penyidik polisi akan mengkonfrontir antara Novel dengan Ronny dan Rahmat. “Sampai saat ini belum ada rencana penyidik untuk konfrontir,” kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Mabes Polri Brigjen Argo Yuwono, Senin, 6 Januari 2020 malam.


Reporter: Syailendra Hafiz Wiratama
Redaktur: M. Rizal Maslan
Editor: Irwan Nugroho
Desainer: Luthfy Syahban

[Widget:Baca Juga]
SHARE