Foto: KRI Nanggala-402 (Syailendra Hafiz Wiratama/detikX)
Sabtu, 24 April 2021Nanggala dan Cakra Sudarsana adalah senjata sakti mandraguna milik Prabu Baladewa dan adiknya, Prabu Kresna, dalam cerita pewayangan Mahabarata. Prabu Baladewa yang merupakan raja Mandura disegani baik oleh kawan maupun lawan, karena ia memegang tombak pendek bermata bajak, yaitu Nanggala, pemberian Batara Brahma. Senjata itu konon bisa melelehkan besi atau gunung, membelah laut, dan mampu mengakhiri nasib matahari.
Sementara raja Dwarawati, Prabu Kresna, memegang pusaka panah yang ujungnya berwujud roda dengan gigi-gigi menyerupai mata tombak, yaitu Cakra. Senjata ampuh pemberian Dewa Wisnu itu dikisahkan dapat menangkal semua serangan musuh, termasuk menghalangi matahari. Kedua senjata sakti tokoh ksatria pewayangan ini dijadikan nama kapal perang, atau kapal selam, oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) Angkatan Laut.
Menurut data yang diterima detikX dari Markas Besar Besar TNI, tradisi penamaan kapal di lingkungan TNI AL sudah dimulai sejak tahun 1945. Kendati begitu, pengaturan nama kapal baru dilakukan sejak tahun 1950 di bawah kepemimpinan Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksamana Madya TNI R. Subyakto. Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI, sebelum berubah menjadi TNI AL) membentuk Satuan Kapal Selam di bawah Komando Armada Timur (Koarmatim) pada 12 September 1959.
Pembentukan satuan kapal selam itu bersamaan dengan tibanya dua kapal selam kelas Whiskey buatan Uni Soviet, yang dibeli Indonesia melalui Polandia. Saat itu, R.E Martadinata langsung memberikan identitas bagi kedua kapal selam itu dengan nama RI Tjakra SS-01 dan RI Nanggala SS-02. Pada dasawarsa 1960-an, Indonesia adalah salah satu negara yang telah mengoperasikan kapal selam, bahkan sampai 12 armada. Praktis hal itu membuat Indonesia negara dengan kekuatan laut terbesar di Asia Tenggara.
Baca Juga : Operasi Rahasia di Perairan Pakistan
KRI Nanggala-402
Foto: BBC World
Ke-12 kapal itu di antaranya adalah RI Nagabanda, RI Trisula, RI Nagarangsang, RI Tjandrasa, RI Alugoro, RI Tjumandani, RI Widjajadanu, RI Pasopati, RI Hendrajala, RI Barmastara. Semua nama diambil dari pusaka sakti milik para tokoh satria Mahabarata dalam cerita pewayangan. Semua kapal itu dipensiunkan sejak tahun 1970-an akhir. Satu kapal selam kini dijadikan monumen di Surabaya, yaitu RI Pasopati. Sedangkan dua kapal selam lainnya tak diberi nama digunakan sebagai spare part.
“Indonesia menjadi negara Asia Tenggara pertama yang mengoperasikan kapal selam dengan dua kapal selam Whiskey yang dibeli dari Uni Soviet melalui Polandia pada 1959, RI Tjakra (S-01) dan RI Nanggala (S-02). Baru tahu 1962 sepuluh kapal selam kelas Whiskey menyusul seiring modernisasi TNI AL sepanjang 1950-1960-an,” ungkap Collin Koh Swee Lean, peneliti studi pertahanan dari Nanyang Technological University, Singapura, dalam bukunya Naval Modernisation in Southeast Asia, Part Two.
Dari kapal selam itu juga saya dibesarkan, sehingga saya bisa melaksanakan tugas dengan baik dan mencapai pangkat yang cukup tinggi menjadi dua bintang."
Filosofi penamaan kapal perang didasarkan pada karakteristiknya. Kapal selam merupakan alutsista strategis yang sangat ditakuti. Kapal ini mampu menyerang dalam waktu yang tak diduga dan sulit dideteksi musuh. Tak hanya itu, kapal selam mampu membawa senjata yang dapat menenggelamkan kapal lain, seperti torpedo, ranjau, bom laut, dan peluru kendali jenis sub-missile. Kapal selam juga bisa digunakan untuk menyerang sasaran di darat dengan peluru kendali jarak jauh, baik konvensional atau balistik.
Saat ini, TNI AL mengoperasikan lima kapal selam dengan nama senjata tokoh-tokoh pewayangan, yaitu KRI Cakra-401 (senjata tokoh Prabu Kresna), KRI Nanggala-402 (senjata milik Prabu Baladewa), KRI Nagapasa-403 (senjata panah milik Indrajit), KRI Ardadeli-404 (senjata panah milik Arjuna), dan KRI Alugoro-405 (senjata bentuk gada milik Baladewa).
KRI Cakra-401 dan KRI Nanggala-402 adalah dua kapal selam pengganti kapal selam kelas Whiskey buatan Uni Soviet, yaitu RI Tjakra SS-01 dan RI Nanggala SS-02, yang sudah dipensiunkan. Kedua kapal selam baru merupakan Tipe U-209/1300 kelas Cakra buatan Jerman Barat. Kapal itu dipesan pada tahun 1977, melalui Tim Proyek Pengadaan Kapal (Yekdakap) yang dipimpin langsung oleh Laksamana Pertama TNI Mochtar.
Baca Juga : Kisah Awak Kapal Selam Indonesia
Operasi pencarian KRI Nanggala-420
Foto: Budi Candra Setya/ANTARA Foto
Kapal tipe U-209/1300 adalah hasil rancangan Ulrich Gabler dari Ingenieur Kontor di Kota Lubeck. Tapi pembuatan kapal dilakukan di galangan Howaldt Deutsche Werke di Kiel, Jerma, dan dijual oleh perusahaan Ferrostal di Essen. Pembuatan kapal dimulai Maret 1978. Dikutip dari Deutsche Welle, pembuatan kapal selam itu sempat tersendat, karena perusahaan Howaldt Deutsche Werke mengalami kesulitan keuangan. Lalu pengerjaan proyek diambil alih dua perusahaan kakap Thyssen dan Krupp yang merger menjadi Thyssenkrupp.
Akhirnya, kapal selam selesai diproduksi dan diserahkan kepada pemerintah Indonesia pada 6 Juli 1981. Menteri Pertahanan dan Keamanan/Panglima Angkatan Bersenjata, Jenderal TNI Andi Mohammad Jusuf Armin (M Jusuf) meresmikan dan memberikan nama KRI Nanggala-402 di Dermaga Ujung, Surabaya, Jawa Timur, pada 21 Oktober 1981. Sementara KRI Cakra-401 sudah terlebih dahulu diresmikan satu tahun sebelumnya.
KRI Nanggala-402, juga kembarannya KRI Cakra-401, memiliki berat selam 1,395 ton. Sedangkan dimensinya 59,5 meter x 6,3 meter x 5,5 meter. Kapal juga ditenagai mesin diesel elektrik, 4 diesel MTU jenis super charger 1 shaft yang menghasilkan 4,600 shp. Mesin itu sanggup mendorong kapal hingga kecepatan 21,5 knot yang diawaki 34 pelaut, sonar dari jenis CSU-3-2 suite. Tenaga dari motor listrik Siemens jenis low-speed disalurkan langsung (tanpa gear pengurang putaran) melalui sebuah shaft ke baling-baling kapal. Senjata terdiri dari 14 buah torpedo 21 inchi/533 mm dalam 8 tabung buatan AEG dan diincar melalui periskop buatan Zeiss yang diletakkan di samping snorkel buatan Maschinenbau Gabler.
KRI Nanggala-402 sudah beberapa kali melakukan perbaikan. Pertama dilakukan di galangan kapal Howaldt Deutsche Werke di Kiel, Jerman tahun 1989. Dua dekade kemudian, KRI Nanggala-402 menjalani perbaikan penuh selama dua tahun di Daewoo Shipbuilding & Marine Engineering (DSME), Korea Selatan, tahun 2004-2006. Tahun 2009 kembali melakukan perbaikan di tempat yang sama dan selesai tahun 2012.
Pada perbaikan terakhir dilakukan modernisasi perangkat sonarnya dari STN Atlas Elektronik CSU 3-2 diganti dengan sistem sonar pasif L-3 Elac Nautik’s LOPAS 8300 dan Kongsberg MSI-90U MK2 CMS. Lalu radar dan kendali tempur dimutakhirkan. Setelah diperbaiki, Nanggala mampu menembakkan empat torpedo secara bersamaan menuju empat target yang berbeda dan meluncurkan misil antikapal seperti Sub-Exocet dan Sub-Harpoon. Selain itu, kedalaman selam bertambah menjadi 257 meter (843 feet) dan kelajuan maksimum dinaikkan dari 21,5 knot (39,8 km/jam) menjadi 25 knot (46 km/jam).
Baca Juga : Merebut Papua dari Belanda
Mantan Kepala Kamar Mesin KRI Nanggala-402, Mayor Laut Frans Wuwung
Foto : Faiq Azmi/detikcom
Selama pembuatan KRI Nanggala-402 pada tahun 1978-1980, TNI AL mengirimkan beberapa perwira kapalnya ke Jerman. Salah satunya adalah Mayor Laut Frans Wuwung sebagai Kepala Kamar Mesin (KKM) atau Chief Engineer kapal selam. Dia pula lah yang membawa pulang KRI Cakra-401 ke tanah air, sebelum akhirnya lama bertugas di KRI Nanggala-402. Mereka selama dua tahun mempelajari kapal selam tersebut.
“Saya jadi Chief Engineer atau KKM. KKM itu orang ketiga di kapal selam yang punya tanggung jawab atas semua mesin yang ada di kapal. Saya pulang dari Jerman tahun 1981. Saya bawa dulu Cakra, baru pindah ke Nanggala,” cerita Frans Wuwung kini telah pensiun dengan pangkat Laksamana Muda di kediamannya di Surabaya, Jawa Timur, Jumat, 23 April 2021.
Frans merasa gundah dan sedih melihat bekas kapal selam kesayangannya itu mengalami hilang kontak ketika melakukan latihan penembakan Torpedo SUT di sekitar perairan Pulau Bali, Rabu, 21 April 2021 dini hari pukul 04.30 WITA. Frans tak bisa membayangkan bagaimana nasib 53 orang juniornya saat ini.
“Sedih luar biasa, karena KRI Nanggala kapal kebanggaan saya. Saya pernah menjadi KKM di KRI Nanggala, saya menjadi terkenal sehingga saya mendapat pujian. Dari kapal selam itu juga saya dibesarkan, sehingga saya bisa melaksanakan tugas dengan baik dan mencapai pangkat yang cukup tinggi menjadi dua bintang,” ucap pria asal Minahasa itu dengan suaranya yang bergetar.
Frans mengatakan, untuk bisa mengawaki kapal selam tidak cukup hanya lulus Akademi Militer atau pendidikan ketentaraan di tingkat pertama. Semua harus mengikuti pendidikan sekolah kapal selam. “Jadi tidak cukup lulus pendidikan lalu masuk, tidak. Harus tes dulu untuk menjadi orang kapal selam. Jadi ada personel, dia punya tugas untuk memegang peralatan tertentu, tidak semua dia pegang,” jelas mantan Direktur Intelijen TNI AL tersebut.
Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto memberikan keterangan pers tentang tenggelamnya KRI Nanggala-420
Foto : AP/Firda Lisnawati
Frans merasa kecewa dengan komentar sejumlah kalangan yang berspekulasi bahwa KRI Nanggala-402 hilang akibat kurang perawatan, atau disebut kapal tua. Masalahnya, untuk kapal selam berlayar memerlukan tahapan latihan yang super ketat, pengecekan sejumlah peralatan mesin, alat elektronik dan dan sebagainya dengan sistem pemeliharaan terpadu (SPT) dengan dasar technical hand book (THB). Semua dilakukan secara periodik, lima bulan atau satu tahun.
“Nah, itu kita laksanakan, itu harus dilaksanakan. Baru kapal ini siap. Kapal itu tidak akan siap kalau tidak melaksanakan SPT. Jadi kapal itu siap berlayar, berarti anak buah kapal sudah melaksanakan SPT dengan baik. Tidak ada tidak, harus,” tegas Frans.
Oleh karena itu, menurutnya, jangan dipersoalkan usia kapal yang sudah mencapai 40 tahun lebih itu. Dan banyak kalangan yang meminta dilakukan modernisasi semua kapal selam yang dianggap tua. “Jangan bilang itu dulu dong. Itu menjelekkan anak buah yang melaksanakan SPT dengan dasar THB,” pinta Frans.
Frans mencontohkan lagi, sebuah kapal selam memang harus melakukan over haul/perbaikan, yaitu Five Year Overhaul dan Ten Year Overhaul. Misalnya, KRI Nanggala atau KRI Cakra harus melakukan five year overhaul, ternyata mundur menjadi delapan tahun. Ini terjadi karena sebenarnya pemeliharaannya yang bagus dan masih jalan karena ketat melaksanakan SPT dengan dasar THB. Perawatan juga bisa mundur bila kapal selam tengah mendapat tugas operasi, khususnya yang bersifat rahasia. “Karena kita pelihara dengan baik, dia masih jalan. Kalau kita tidak pelihara dengan baik, tidak melaksanakan SPT dengan dasar THB sudah nggak beres itu,” jelasnya.
Sabtu, 24 April 2021, Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto menyatakan, Nanggala-420 tenggelam di dasar laut dengan kedalaman 800 meter. Kapal mengalami retak di kedalaman laut. TNI akan terus mengupayakan untuk mengevakuasi ke-53 awak yang ada di kapal selam. Panglima menyampaikan rasa kehilangan yang sangat dalam. “Kita semua merasa sangat kehilangan dengan kejadian ini. Dan saya ingin sampaikan bahwa kepada seluruh awak KRI Nanggala dan prajurit yang on board di KRI Nanggala, saya sebagai Panglima TNI dan atas nama seluruh prajurit dan keluarga besar TNI, saya menyampaikan rasa prihatin yang mendalam,” katanya.
Reporter: M Rizal, Faiq Azmi (Surabaya)
Redaktur: M Rizal
Editor: Irwan Nugroho