INTERMESO

Mengapa Orang Tua Sekejam Itu?

Kekerasan fisik kerap menimpa anak-anak dari orang tua mereka. Dalam beberapa kasus, kekerasan fisik bisa berujung pada kematian.

Ilustrasi: Edi Wahyono

Minggu, 18 April 2021

Bekas jahitan di lengan kirinya membawa Benny, bukan nama sebenarnya, mengenang kenangan pahit yang telah lama ia kubur. Peristiwa itu terjadi saat ia ketahuan berbohong. Seharusnya Benny pergi ke sebuah tempat kursus. Namun Benny malah bolos dan bermain dengan teman-temannya.

Mengetahui kabar ini, ayah Benny yang baru saja pulang kerja langsung naik pitam. “Kejadiannya waktu saya masih 12 tahun. Papa saya melempar piring dan bikin lengan saya terluka,” ungkap Benny menceritakan masa kecilnya.

Ia mengungkapkan, bukan baru sekali dua kali sang ayah memberikan hukuman fisik. Hukuman semacam itu baru berhenti saat Benny sudah mulai beranjak dewasa. Kini Benny sudah mempunyai calon istri. “Saya sudah berusaha memaafkan, tapi bagaimana pun saya tetap nggak bisa lupa dengan kejadian itu.”

Cerita semacam ini mungkin lazim dialami oleh sebagian orang di masa kecilnya. Di mana saat itu orang tua menganggap mendisiplinkan anak dengan memukul anak dinilai wajar dan efektif. Padahal jika kerap dilakukan akan mempengaruhi kondisi mental dan psikologis pada anak saat ia tumbuh besar nanti. Dampaknya pun cukup besar terhadap perkembangan anak.

Situs Pedriatrics merilis jurnal dengan judul ‘Physical Punishment and Mental Disorders: Results From a Nationally Representative US Sample.’ Penelitian ini menyelidiki hubungan antara anak yang mendapatkan hukuman fisik dengan gangguan mental Axis I dan II. Penelitian ini meniadakan faktor kekerasan yang lebih parah seperti pelecehan fisik, pelecehan seksual, pelecehan emosional, penelantaran, pengabaian emosional.

Ilustrasi orang tua memarahi anak
Foto: iStock

Hasilnya, disebutkan bahwa hukuman fisik keras tanpa adanya perlakuan buruk terhadap anak berhubungan dengan gangguan suasana hati, gangguan kecemasan, penyalahgunaan zat/ketergantungan, dan gangguan kepribadian pada sampel populasi umum. Disebutkan, bahwa hukuman fisik seperti memukul anak dan cara lain yang menyebabkan rasa sakit, menimbulkan peningkatan agresi, perilaku antisosial, cedera fisik dan masalah kesehatan mental untuk anak-anak.

Karena sejak kecil orang tua tidak menciptakan kenyamanan dan tidak menjalin komunikasi dua arah yang dilandaskan dengan cinta. Ketika anaknya beranjak dewasa, banyak pilihan lain yang muncul."

Pemberian hukuman fisik atau corporal punishment sendiri juga menjadi topik yang kontroversial. Beberapa negara di Eropa menganggap tindakan ini sebagai salah satu bentuk kekerasan dan pelanggaran hak asasi anak atas keutuhan integritas fisik dan mentalnya. Negara seperti Swedia, Finlandia, dan Norwegia telah lebih dulu melakukan gerakan hukum dengan melarang segala bentuk praktek corporal punishment terhadap anak. Namun pelarangan atas praktek ini di negara-negara di Asia Tenggara, termasuk Indonesia masih menuai perdebatan.

Sebuah gerakan bernama Future Parents Project atau FPP yang terbentuk di akhir 2018 juga ikut menentang praktek hukuman pendisiplinan berlandaskan kekerasan fisik. FPP terbentuk melalui acara Social Campaign Incubation Program yang diadakan Yayasan Pulih. Tujuannya untuk memberikan edukasi kepada calon orang tua di masa depan agar dapat memutus rantai didikan orang tua di masa lalu yang dianggap kurang tepat atau tidak baik.

“Orang tua melakukan itu dengan harapan, saat dewasa kelak anaknya mereka bisa tahan banting hidup di dunia yang keras ini. Kebanyakan latar belakang mereka seperti itu,” ujar Mutiara Maharini, salah satu Founder FPP yang saat ini tengah menyelesaikan studi S2 Psikologi Klinis di Universitas Indonesia.

Para anggota gerakan Future Parents Project 
Foto : Dok FPP

Perempuan yang akrab disapa Mahari itu juga menceritakan kisah salah satu founder FPP. Ia saat masih kecil kerap mengalami kekerasan fisik dari orang tuanya. Ketika beranjak dewasa, hubungan antara keduanya merenggang. Orang tua tak lagi menjadi tempat baginya untuk pulang dan mencurahkan isi hati terdalamnya.

“Karena sejak kecil orang tua tidak menciptakan kenyamanan dan tidak menjalin komunikasi dua arah yang dilandaskan dengan cinta. Ketika anaknya beranjak dewasa, banyak pilihan lain yang muncul. Jadi jangan heran kalau nanti anaknya lebih banyak bercerita ke temannya ketimbang ke orang tua. Dia merasa tidak nyaman,”ujar Mahari.

Sandra Graham-Bermann PhD, profesor psikologi dan peneliti utama untuk Laboratorium Kekerasan dan Trauma Anak di Universitas dari Michigan mengatakan, meski sudah banyak studi kasus dan penelitian tentang efek negatif kekerasan fisik terhadap anak, orang tua tetap melakukannya. “Orang-orang frustrasi dan memukul anak-anak mereka. Mungkin mereka tidak melihat ada opsi lain," jelasnya seperti dikutip dari American Psychological Association (APA).


Penulis: Melisa Mailoa
Editor: Irwan Nugroho

***Komentar***
[Widget:Baca Juga]
SHARE