Ilustrasi: Edi Wahyono
Sabtu, 17 April 2021Masih begitu lekat di memori Dian, bukan nama sebenarnya, saat ia belajar menyanyikan lagu berjudul ‘Kasih Ibu’ ciptaan SM Mochtar. Kasih ibu kepada beta, tak terhingga sepanjang masa. Hanya memberi tak harap kembali. Bagai sang surya menyinari dunia. Begitu bunyi lirik lagu yang singkat, namun memiliki makna mendalam. Lagu yang menggambarkan kasih sayang tulus seorang ibu itu ia nyanyikan bersama teman-teman sekolah dasar dengan riang gembira.
Beranjak dari masa sekolah, Dian tumbuh menjadi seorang perempuan berusia 25 tahun dengan segala dinamika kehidupan. Tak terkecuali konflik dengan ayah dan ibunya. Masalah yang diperdebatkan pun ada-ada saja. Mulai dari hal sepele hingga bersangkut paut dengan uang. Pertengkaran demi pertengkaran membuat Dian muak. Beberapa kali anak pertama dari tiga bersaudara ini mencoba untuk kabur dari rumah.
“Setiap kali adu mulut pasti Mama ngungkit 'Aku sudah melahirkan dan menyusuimu, jadi kamu wajib membalas semua yang pernah aku berikan waktu kamu kecil'. Saya merasa seolah-olah anak merupakan tabungan di masa tua yang bisa diambil kalau mereka sudah tua. Kalau nggak diberikan dibilang kualat.” cerita Dian dengan nada penuh kekesalan. Sembari bekerja, Dian juga membantu membiayai sekolah kedua adiknya.
Salah satu bentuk kampanye Future Parents Project melalui media sosial.
Foto: Instagram FPP
Kejadian semacam itu kerap terulang dan membuat ia bertanya dalam hati. “Apakah Dian harus berhutang karena telah dibesarkan orang tuanya?” Ia semakin dongkol ketika teringat lagu 'Kasih Ibu' yang dulu sering ia nyanyikan. Bagi Dian kini lagu itu tak lagi punya makna. Rangkaian kata indah di dalamnya hanyalah omong kosong belaka.
Walaupun kita tidak bisa memilih keluarga di mana kita dilahirkan, tapi kita punya kuasa untuk membangun keluarga yang kita inginkan di masa depan."
Konflik antara Dian dan orang tuanya hanya satu dari sekian banyak masalah yang timbul di dalam hubungan antar orang tua dan anak. Mutiara Maharini hanya bisa geleng-geleng kepala saat mendengar curhatan para temannya mengenai perilaku orang tua mereka. Perempuan yang akrab disapa Mahari ini tak habis pikir, sebab ia tumbuh di dalam keluarga yang harmonis.
“Aku beruntung banget punya orang tua yang sangat ambisius dalam hal parenting. Mereka baca buku dan ikut course parenting dan sangat antusias melakukan parenting dengan baik. Kondisi itu membantu aku bertumbuh dengan baik juga,” ucap perempuan lulusan Universitas Indonesia jurusan Psikologi ini.
Berkaca dari pengalamannya sendiri, Mahari merasa orang tua berperan besar dalam mempengaruhi tumbuh kembang sang anak ketika ia dewasa kelak. Sementara bagi mereka yang tidak seberuntung Mahari, jalan paling mudah untuk lepas dari masalah itu adalah melampiaskan kekesalan kepada orangtua. Menyalahkan dan melimpahkan kekesalan kepada orang lain memang pilihan paling mudah.
Mahari bersama tiga teman lainnya yang sama-sama lulusan Psikologi Universitas Indonesia menelisik masalah ini lebih dalam. Mereka menemukan fakta bahwa orangtua tidak bisa sepenuhnya disalahkan. Sebelum internet merajalela, sulit buat calon orangtua untuk menemukan informasi tentang tata cara menjadi orang tua sebenarnya. Panutan mereka hanyalah sosok orang tua mereka terdahulu.
Akibatnya pola asuhan yang ‘salah’ akan terbawa terus menerus. Bagai lingkaran setan yang tidak terputus. “Ketika menyelami isu ini kita nggak bisa nyalahin orang tua saja karena di masa itu sulit mengakses ilmu parenting. Role model mereka adalah orang tua mereka sendiri,” tutur Mahari.
Kegiatan talkshow yang digelar oleh Future Parents Project
Foto: Dok Instagram
Atas dasar ini Mahari bersama teman-temannya membuat gerakan bernama Future Parents Project atau FPP di akhir 2018. FPP terbentuk melalui acara Social Campaign Incubation Program yang diadakan Yayasan Pulih. Tujuannya untuk memutus lingkaran setan yang terjadi dalam hubungan anak dan orang tua itu. FPP menyadari orang tua yang keras akan sulit diubah. Perubahan justru harus datang dari si anak yang merasa disakiti orangtuanya, agar tidak melakukan perbuatan sama ke anaknya kelak.
“Walaupun kita tidak bisa memilih keluarga di mana kita dilahirkan, tapi kita punya kuasa untuk membangun keluarga yang kita inginkan di masa depan,” ujar Meg Jay, seorang Psikolog Klinis dalam TEDTalk-nya.
FPP mengajak anak muda terutama generasi milenial untuk memahami urgensi belajar parenting sebelum jadi orang tua. Terutama menyelesaikan isu yang ada dalam masing-masing orang sebelum beranjak ke jenjang pernikahan. Karena permasalahan itu jika tidak diselesaikan maka akan terbawa hingga selanjutnya.
“Misalkan kita punya isu susah percaya orang lain, susah disiplin, abusive, masalahnya beda-beda pastinya. Jika tidak diselesaikan maka akan terbawa sampai menikah dan akan menjadi pasangan yang kurang sehat juga,” kata Mahari yang sedang menyelesaikan studi S2 Psikologi Klinis ini. FPP memulai gerakannya melalui kampanye di sosial media dan diskusi dengan para ahli.
Salah satu Founder FPP lainnya yang meminta untuk disembunyikan identitasnya juga memiliki pengalaman tidak menyenangkan saat masih kecil. Ia kerap mengalami kekerasan secara fisik yang dilakukan orangtuanya. Akibatnya kini ia jadi tidak terbuka dan tidak dekat dengan ayah dan ibunya. Sangat jarang ia menceritakan urusan pribadi kepada mereka.
FPP adalah saran untuk sharing pengalaman hubungan dengan orangtua dan solusinya
Foto : Dok Instagram
“Sejak kecil ada beberapa kejadian physical abuse. Mulai dari dicekik, dilempar barang kecil, disentil. Sampai sekarang pun mereka masih protektif tapi bukan yang affectionate. Keluar boleh tapi harus tahu detail dan pulang detail. Itu sebabnya aku sering bohong demi bisa ketemu teman. Karena kalau jujur nggak dibolehin,” ujarnya. Pengalaman ini yang memotivasinya untuk membentuk FPP. “Nanti kalau aku jadi orang tua, pengennya jadi lebih baik walaupun nggak ada yang sempurna, tapi aku maunya hubungan yang terbuka hangat dan jujur”
Hingga saat ini berat baginya untuk melupakan kejadian di masa kecil itu dan memulai hidup baru dengan orang tuanya. Timbulnya masalah kecil kerap membuat dirinya mengingat kembali luka yang belum kunjung sembuh. “Bagaimana rasanya untuk tetap tinggal sama orang yang dulu pernah melakukan hal yang tidak menyenangkan dan kita harus provide mereka dengan emotional support sedangkan dulu mereka nggak pernah memberikan itu,” ujarnya. Saat ini ia masih mengupayakan untuk berdamai dengan masa lalunya. Terutama dengan menjalankan sesi konsultasi dengan psikolog.
Penulis: Melisa Mailoa
Editor: Irwan Nugroho