INTERMESO

Kisah Penemuan Vaksin Pertama di Dunia

Vaksin pertama kali ditemukan oleh Edward Jenner, seorang dokter di Inggris, pada pengujung abad ke-18. Temuannya sempat dicaci maki.

Ilustrasi: Edy Wahyono

Selasa, 27 Oktober 2020

Sodbury adalah sebuah pedesaan di dekat Kota Bristol, Inggris. Pada abad ke-18, pedesaan itu terkenal sebagai penghasil susu perah. Para pekerja saban harinya memerah susu sapi di peternakan. Sudah bertahun-tahun penduduk setempat tahu bahwa pekerja-pekerja tersebut kebal terhadap cacar (smallpox), penyakit yang menjadi wabah global pada saat itu. Mereka kebal cacar alami karena sebelumnya pernah terkena cacar sapi (cowpox).

Cerita kekebalan pemerah susu itu mengundang kegalauan seorang dokter bernama Edward Jenner. Jenner lahir di Berkeley pada 17 Mei 1749 dan merupakan anak seorang pendeta. Sejak kecil, ia menaruh minat pada sains dan alam. Menginjak dewasa, Jenner mengikuti magang ke berbagai dokter dan rumah sakit termasyhur di Inggris hingga membuatnya menjadi ahli bedah yang mumpuni.

Jenner, yang pernah magang pada seorang ahli bedah dan apoteker di Sodbury, datang kembali ke daerah itu pada Mei 1796. Jenner menemui Sarah Nelmes, seorang perempuan pemerah susu. Sarah memiliki beberapa lesi cacar sapi di tangan dan lengannya. Jenner pun bertanya kepada Sarah tentang cacar sapi yang diidapnya itu. Sarah menyebut tidak akan tertular cacar karena ia pernah mengidap cacar sapi. “Aku tidak akan pernah memiliki wajah bopeng yang jelek,” ucap Sarah.

Edward Jenner
Foto: Getty Images via BBC

Mendengar kesaksian tersebut, Jenner yakin cacar sapi dapat melindungi manusia dari cacar alami yang mematikan. Tidak hanya itu, cacar sapi dapat ditularkan dari satu orang ke orang lainnya sebagai mekanisme perlindungan yang disengaja dari cacar. Maka Jenner pun bersiap melakukan eksperimen sederhana, yang di kemudian hari tercatat sebagai tonggak keberhasilan pembasmian penyakit cacar secara global sekaligus penemuan vaksin pertama di dunia.

Aku tidak akan pernah memiliki wajah bopeng yang jelek."

Seperti ditulis Stefan Riedel dalam artikel jurnal berjudul Edward Jenner and the History of Smallpox and Vaccination (2005), Jenner mengambil lesi cacar sapi dari tangan Sarah pada 14 Mei 1796. Materi tersebut kemudian disuntikkan ke seorang anak laki-laki berusia 8 tahun, James Phipps. Setelah disuntik, bocah itu mengalami demam ringan dan rasa tidak nyaman pada bagian ketiaknya. Sembilan hari berlalu, badan Phipps kedinginan dan ia kehilangan nafsu makan.

Namun, tidak berapa lama, kondisi Phipps membaik. Jenner segera mengambil sampel dari luka cacar baru dan disuntikkan kembali ke tubuh Phipps. Hasilnya, tidak ada penyakit yang berkembang dari eksperimen yang kedua tersebut. Jenner pun menyimpulkan bahwa perlindungannya sudah lengkap.

Menurut Riedel, metode eksperimen Jenner sebetulnya sudah umum dilakukan di Eropa dan benua lainnya. Selama berabad-abad, manusia menanggulangi cacar dengan cara menularkan cacar kepada orang lain supaya kebal. Materi dari cacar seseorang yang telah matang diambil, lalu dimasukkan ke lengan atau kaki orang lain yang belum terinfeksi. Metode ini lazim disebut dengan inokulasi atau variolasi. Variolasi berasal dari kata variola, virus yang menyebabkan cacar.

Penyakit cacar yang pernah menjadi wabah global
Foto: Getty Images via BBC

Namun Jenner membuat temuan baru dengan variolasi memakai bahan dari cacar sapi. Bahan ini sangat efektif menyetop penularan cacar manusia. Berbeda dengan variolasi dengan cacar alami yang, meski masih lebih baik dilakukan dibanding tidak sama sekali pada saat itu, memiliki beberapa risiko. Penerima variolasi masih mungkin menyebarkan cacarnya kepada orang lain. Selain itu, variolasi menyebabkan penularan penyakit lain, seperti sifilis.

Jenner lalu melaporkan hasil eksperimen serta pengamatannya itu kepada Royal Society di London pada 1797. Sayang, makalahnya ditolak. Setelah menambahkan beberapa percobaan lagi, Jenner menerbitkan sendiri buklet kecil untuk mempublikasikan hasil temuannya setahun kemudian. Ia menyebut prosedur baru yang diciptakannya itu dengan istilah vaksinasi. Istilah itu adalah gabungan dari bahasa Latin sapi (vacca) dan cacar sapi (vacinia).

Jenner lantas pergi ke London untuk mencari sukarelawan vaksinasi. Namun, setelah tiga bulan, ia belum juga menemukan. Di sisi lain, vaksinasi oleh ahli bedah Henry Cline, yang diberi inokulan oleh Jenner, menjadi sangat populer. Setelah itu, vaksinasi mendapat dukungan dari sejumlah dokter di London. Jenner membuat survei untuk mencari bukti resistensi terhadap cacar dari pengidap cacar sapi. Hasilnya makin menguatkan teorinya. Singkat cerita, dengan kontroversi yang menyertai, vaksinasi menyebar cepat di Inggris dan mencapai mayoritas negara-negara di Eropa pada 1800.

"Meskipun kadang-kadang ia merasa malu dengan kekurangan pasokan, Jenner mengirim vaksin ke kenalan medisnya dan siapa pun yang memintanya," kata Riedel.

Situs BBC menulis, Jenner juga mendapat ledekan secara luas dari temuannya itu. Para kritikus, terutama dari kalangan agamawan, mengatakan menyuntikkan materi dari hewan sakit kepada manusia adalah tindakan yang menjijikkan sekaligus kurang berakhlak. Pada 1802, muncul kartun menggambarkan orang-orang yang tumbuh kepala sapi setelah divaksin. Kartun itu jelas untuk menyindir Jenner.

'Kuil vaksin' tempat Edward Jenner memberikan vaksin secara gratis kepada masyarakat miskin.
Foto: dok. CNN

Namun, seperti termuat dalam artikel Translational Mini-Review Series on Vaccines: The Edward Jenner Museum and the History of Vaccination (2007), AJ Morgan dan S Parker menyebut metode vaksinasi Jenner makin menyebar hingga ke Amerika Utara pada 1800. Vaksinasi lalu menjadi wajib di Inggris pada 1853. Vaksinasi menggantikan variolasi, yang secara resmi telah dilarang di negara pada 1845. Negara-negara lainnya pun mengikuti langkah Inggris tersebut. Sekitar 150 tahun kemudian, vaksinasi telah berhasil membersihkan dunia dari cacar.

Riedel mengatakan, meski Jenner menerima pengakuan dunia dan penghargaan, ia tak berusaha memperkaya diri sendiri. Pada 1802, parlemen Inggris memberi uang 10 ribu poundsterling dan 20 ribu poundsterling lagi lima tahun setelahnya. Uang itu digunakan Jenner untuk program vaksinasi, terutama bagi kaum miskin. Jenner membuat satu bangunan kecil di taman rumahnya di Berkeley, yang ia sebut 'Kuil Vaksin'. Di situ ia memvaksinasi kaum miskin secara gratis. Rumah Jenner pun kini diabadikan menjadi museum.

Jenner memang memilih menarik diri dari kehidupan publik dan kembali ke praktik kedokteran di kampung halamannya di Berkeley setelah selama satu dekade mendapat penghormatan sekaligus caci maki. Ia menikah pada 1788 dan mempunyai empat anak. Pada 1810, anak tertuanya meninggal karena tuberkulosis, begitu juga istrinya lima tahun kemudian. Pada Minggu, 26 Januari 1823 dini hari, Jenner ditemukan meninggal dunia setelah mengalami stroke parah. "Dia dimakamkan bersama orang tuanya, istrinya, dan anaknya di dekat altar gereja di Berkeley," pungkas Riedel.


Penulis: Irwan Nugroho

***Komentar***
[Widget:Baca Juga]
SHARE