INTERMESO
Demi bertahan hidup di Australia, Efi rela mengerjakan pekerjaan kasar apa saja. Ada banyak cerita sedih dan seram.
Foto : dok. pribadi
Rabu, 12 Juni 2019Sebuah mobil bekas Mitsubishi Space Wagon menjadi teman sehidup semati Efi Yanuar selama berbulan-bulan merantau di negeri orang. Ratusan ribu kilometer telah ditempuh mobil berwarna putih itu untuk menelusuri kota-kota di Australia. Menemani Efi yang jadi perantau, dalam senang maupun susah. Tidak hanya berfungsi sebagai kendaraan, dalam kondisi darurat, mobil keluaran tahun 2001 itu juga bisa disulap sebagai rumah berjalan.
Saat memasuki masa liburan Natal dan tahun baru beberapa waktu lalu, saat sebagian besar penduduk Australia bersuka cita merayakan bersama keluarga dengan suka cita, Efi merutuki nasibnya. Dia terkatung-katung di Australia tanpa pekerjaan alias pengangguran. Biasanya Efi bekerja di perkebunan sebagai pemetik aneka buah. Pekerjaannya termasuk menimbang dan membungkus buah hingga siap dijual. Tapi apa boleh buat, saat itu Efi memang sedang sepi panggilan.
Efi hanya hidup mengandalkan uang di tabungan yang makin tipis isinya. Padahal sudah jadi rahasia umum jika biaya hidup di Australia mahal. Untuk keperluan sekali makan sederhana di luar saja misalnya, Efi bisa menghabiskan lebih dari 100 ribu rupiah. Dari pada keluar uang untuk sewa hostel, Efi nekat tinggal di dalam mobil yang ia beli dari hasil kerja dan patungan dengan seorang teman.
“Saya tinggal di mobil selama sebulan. Biasanya saya parkir di area perkemahan. Di sana juga ada fasilitas kamar mandi dan untungnya masih dalam kondisi bagus. Di belakangnya juga ada danau, bisa dipakai untuk keperluan mandi atau cuci baju,” Efi menceritakan pengalamannya.
Baca Juga : Kerja Keras Seperti Kuda Demi Dolar Australia
Efi Yanuar
Foto : dok. pribadi
Selama setahun merantau di Negeri Kanguru, Efi, juga ribuan warga Indonesia lainnya, mengikuti program Working Holiday Visa yang yang dikeluarkan pemerintah Australia sejak 2009. Program ini tidak hanya ditujukan untuk Indonesia tapi juga negara lain di berbagai belahan dunia. Selama menetap di Australia, pemegang WHV bisa berlibur sembari bekerja, juga belajar dalam jangka waktu satu tahun. Tapi pekerjaan ini bukan pekerjaan 'cantik' ala pekerjaan kantoran di Jl. Sudirman, Jakarta, melainkan pekerjaan kasual yang tak butuh sekolah seperti pemetik buah, tukang kebun, tukang cuci piring, bahkan pemberi makan buaya.
Terlahir dari keluarga berdarah Minang, Efi dekat dengan istilah merantau. Sejak usia muda, sang kakek sudah merantau ke Jakarta. Begitu pula Ayah Efi, sempat merantau saat bertugas menjadi abdi negara. Melihat garis keturunan keluarganya, Efi pun ingin menyandang status sebagai perantau. Meski sang ibu sempat menentangnya karena saat itu Efi sudah bekerja menjadi wartawan ekonomi di Investor Daily. Efi memang nekat dan pemberani.
Makanya ibu saya bilang, ‘Masa di sana kamu malah mau jadi tukang kebun dan tukang cuci piring, apa kata orang nanti’
“Di Jakarta kan udah enak kerjanya, bisa di kafe, wawancara narasumber juga bisa lewat telepon. Makanya ibu saya bilang, ‘Masa di sana kamu malah mau jadi tukang kebun dan tukang cuci piring, apa kata orang nanti’,” Efi menirukan kata-kata sang ibu.
Semakin sang ibu menentang, semangat Efi untuk segera angkat kaki malah makin berkobar. Efi pun nekat menjalankan misinya meski harus meminjam modal dari pacarnya. Saat itu dompet Efi cekak karena habis jalan-jalan ke berbagai negara di Asia, seperti Thailand, India dan Malaysia. Efi memang gemar berpetualang.
Sesampainya di kota Sydney, Australia, pada 2014 silam, Efi sudah bertekad untuk bekerja ekstra keras. Salah satu alasannya demi melunasi utang. “Begitu sampai di Sydney ya udah hajar aja. Saya ambil dua kerjaan sekaligus, pagi gardening, sorenya cleaning service,” kata alumnus Universitas Padjajaran, di Jatinangor, Jawa Barat, itu.
Efi menyewa sebuah kamar hostel berukuran 3x3 meter yang bisa diisi empat orang. Harganya AU$ 100 per minggu atau sekitar Rp 1 juta. Hostel atau apartemen yang disewakan untuk pekerja semacam Efi ini memang begitu padat. Bahkan kadang penyewa kamar juga mengalihfungsikan ruang tamu menjadi kamar bersekat.
Efi Yanuar
Foto : dok. pribadi
Di Sydney, Efi hanya bertahan selama tiga minggu. Ia pindah ke sebuah kota bernama Young di selatan New South Wales. Di sana Efi mendapatkan pekerjaan sebagai pemetik buah cherry. Dengan pindah ke daerah pinggiran yang penduduknya lebih sedikit, Efi bisa menekan biaya hidup. Ia bisa menyewa sebuah kamar seharga AU$ 20 atau sekitar Rp 200 ribu per malam tanpa perlu berhimpitan dengan penghuni lain.
Tapi konsekuensinya, Efi mendapat tantangan bekerja yang jauh lebih berat ketimbang di Sydney. “Upahnya dibayar berdasarkan berapa banyak cherry yang bisa dikumpulkan. Waktu itu saya kerja pas awal November, jam 8 pagi aja udah terasa panas banget. Tangan nggak bisa bergerak, punggung sakit ,aduh rasanya mau udahan, 3 hari pertama berat banget, kerjaannya kok berasa kayak slave banget,” tuturnya. Karena Efi tidak bisa bekerja cepat, ia hanya menerima sedikit bayaran, jauh di bawah ekspektasinya. “Saya cuma dapat 80 dolar per hari, padahal ekspektasi bisa sampai 120 dolar per hari. Kapan kelarnya nih bayar utang.”
Bekerja di bidang pertanian dan perkebunan menurut pengalaman Efi memang rentan menjadi korban eksploitasi. Terutama sejak akhir tahun 2016, ketika pemerintah Australia mengeluarkan peraturan baru dan mengijinkan pemegang visa ini untuk memperpanjang masa kerja hingga dua tahun.
Syaratnya mereka harus bekerja selama 88 hari di Australia bagian utara. Untuk memenuhi persyaratan ini, pemegang WHV banyak yang terjebak di tangan mafia perkebunan. Banyak diantara mereka yang rela dibayar murah asalkan dapat memenuhi syarat perpanjangan visa. Efi pun pernah menerima upah hanya AU$ 40 atau Rp 400 ribu per hari. Jika diubah ke dalam bentuk rupiah, angka itu memang masih menarik. Tapi untuk standar upah di Australia, jumlah tersebut bisa dibilang sangat kecil.
“Jangan sampai kita jadi korban perbudakan modern. Apalagi tempat kerjanya rata-rata di pedalaman. Jangan main pergi ke sana. Kita harus cek pemberi kerja atau agennya reputasinya bagaimana. Karena kalau ada apa-apa di sana, siapa yang mau nolongin,” tutur Efi yang pernah bekerja sebagai pemetik ceri, ubi, jeruk dan bawang ini.
Setelah setahun mengisi waktu dengan bekerja di Australia, angka di tabungan Efi memang meningkat pesat. Tak heran jika orang Indonesia berlomba-lomba untuk mendapatkan visa yang sama. Saat pendaftaran Surat Rekomendasi Pemerintah Indonesia atau SRPI sebagai salah satu syarat pengajuan WHV tahun lalu, sebanyak 1000 kuota habis hanya dalam waktu beberapa jam. Namun Efi memperingatkan agar mereka tidak hanya terlena dengan lembaran-lembaran dolar dan cerita-cerita indah tentang WHV. Ada lumayan banyak tindak kriminal yang dialami perantau di Australia yang dia dengar setelah ia bergabung di berbagai grup seperti Australia Backpackers dan Backpackers Jobs in Australia.
“Saya pernah dapat informasi ada pekerja yang jadi korban eksploitasi seksual. Makanya jangan asal percaya sama orang, walaupun sama orang Indonesia sekali pun. Serem sih walaupun Australia menyenangkan, orang gilanya cukup banyak,” kata Efi.. “Masih banyak pekerjaan dengan upah dan sistem pekerjaan serta bos yang baik. Kalau tempat kerja kita sudah menjurus ke arah kriminalitas, mending langsung cut aja,” Efi mewanti-wanti.
Reporter/Penulis: MELISA MAILOA
Editor: Sapto