INTERMESO


KERJA KERAS SEPERTI KUDA DEMI DOLAR AUSTRALIA

"Pekerjaan di sini mainnya fisik, literally ngebabu, bersih-bersih, cuci piring"

Adhi Sappareng di Australia

Foto : dok. pribadi

Selasa, 11 Juni 2019

Berdiri di belakang Sydney Opera House, bangunan ikonik di Australia, Adhi Sappareng tampak bahagia. Sesaat sebelum kamera menjepret foto, senyumnya mengembang lebar. Dia tampak begitu sumringah. Bahagia. Adhi berpose sambil mengenakan tuksedo lengkap dengan dasi kupu-kupu berwarna hitam. Ditemani segelas sampanye, Adhi menikmati pemandangan kota Sydney dari atas kapal cruise yang membelah sungai Parramatta.

Tak terasa, sudah hampir genap lima tahun Adhi tinggal di kota terbesar di Negeri Kanguru itu. Kota Sydney sudah seperti rumah kedua setelah kampung halamannya di Makassar, Sulawesi Selatan. Bagi Adhi kehidupan di Sydney kini terasa begitu nyaman dan menyenangkan. Namun bukan berarti Adhi tak pernah merasakan susahnya hidup di negeri orang. Adhi justru mengawali kehidupan di Australia dengan 'berdarah-darah'. Kisahnya ternyata tak seindah foto-fotonya di Instagram.

Demi bertahan hidup dan mengumpulkan dolar Australia, Adhi rela menyiksa tubuhnya, bekerja keras seperti kuda. Seperti lirik lagu Jemu milik Koes Plus, 'Kerja keras bagai kuda dicambuk dan didera. Semua tak kurasakan untuk mencari uang'. Entah sudah berapa kali Adhi menahan sakit di pergelangan kakinya. Meski dalam kondisi tidak fit, saat itu ia tetap menjalankan tugasnya sebagai tukang gosok WC di sebuah hotel berbintang. Saat malam tiba, sambil meringis menahan sakit, Adhi menelepon orang tuanya.

Celotehan sang ibu dari ujung telepon serasa menjadi obat pereda sakit sekaligus penahan rindu. “Pekerjaan di sini mainnya fisik, literally ngebabu, bersih-bersih, cuci piring. Sampai terkadang sambil meratapi nasib saya menyesal, kenapa saya datang ke sini sih,” Adhi menuturkan. Dia pertama kali menginjakkan kaki di Sydney pada Agustus 2015 lalu.

Adhi Sappareng di Australia
Foto : dok. pribadi

Tak heran jika rasa penyesalan itu perlahan hinggap. Adhi telah meninggalkan kehidupan nyaman di Jakarta. Selepas lulus dari Universitas Negeri Makassar (UNM), Adhi mendapatkan pekerjaan di salah satu perusahaan jasa perjalanan wisata. Perlahan namun pasti, alumnus Program Studi Business English ini karirnya terus menanjak. Setelah dipindah tugaskan ke Jakarta, Adhi memperoleh jabatan manajer pemasaran dengan banyak fasilitas.

Adhi disewakan apartemen di kawasan Kelapa Gading, Jakarta Utara. Sebuah mobil lengkap dengan sopirnya pun siap mengantarkan Adhi kemana saja. Selain menjadi manajer pemasaran, Adhi masih rutin menemani tamu berkeliling Asia. Malaysia dan Singapura sudah jadi makanan sehari-hari. Selain gaji, Adhi juga menerima tips lumayan dari tamu peserta perjalanan wisata.

Tapi dengan segala kemudahan yang diterima belum membuat Adhi merasa terpenuhi. Dia bosan dengan kehidupan yang baginya cenderung monoton. “Tapi balik lagi karena terjebak rutinitas itu, saya rasanya ingin mencoba hidup baru di tempat lain. Makanya begitu ada kesempatan kerja di Australia saya langsung mendaftar,” kata Adhi yang dihubungi detikX melalui telepon beberapa waktu lalu.

Hidup saya hedon banget, setiap hari pasti ke mall. Kalau hari Sabtu dan Minggu enggak usah ditanya'

Adhi mengikuti program Working Holiday Visa yang yang dikeluarkan pemerintah Australia sejak 2009. Program ini tidak hanya ditujukan untuk Indonesia tapi juga negara-negara lain di berbagai belahan dunia. Selama menetap di Australia, pemegang WHV bisa berlibur, bekerja, juga belajar dalam jangka waktu satu tahun. Hampir semua pekerjaan bagi pekerja musiman ini merupakan pekerjaan kasual yang tak butuh banyak keterampilan.

Dengan posisi Adhi yang kala itu bisa dibilang sudah nyaman, tentu orang tuanya menentang niatnya pergi nguli di Australia. Mereka tak rela anaknya yang tiap hari bekerja di ruangan ber-AC malah harus berdiri di dapur sebagai tukang cuci piring. Tapi saat itu Adhi menjanjikan akan memberikan uang sebesar Rp 100 juta selepas ia mendapatkan pekerjaan di sana. Sayangnya mereka tidak tahu, saat itu Adhi sebenarnya sedang terlilit utang.

Penghasilan Adhi selama ini ternyata lebih besar pasak dari pada tiang. “Hidup saya hedon banget, setiap hari pasti ke mal. Kalau hari Sabtu dan Minggu enggak usah ditanya. Pasti saya makan, nongkrong dan belanja. Saya sampai punya empat kartu kredit, totalnya sampai utang Rp 100 juta,” ujar Adhi.

Adhi Sappareng
Foto : dok. pribadi

Sementara dengan bekerja di Australia, Adhi dapat menggandakan angka di rekening tabungannya. Bahkan lebih cepat ketimbang penghasilan yang ia dapat sebagai manajer pemasaran di Jakarta. Duit memang kebanyakan jadi alasan utama mereka bekerja di Australia. Walaupun tujuan awal diciptakannya program ini sebagai upaya pemerintah Australia untuk “memperkenalkan” budaya mereka. Saking kerasnya pemegang WHV mencari uang, mereka suka mempelesetkan Working Holiday Visa menjadi Working Hard Visa.

Bekerja di dua tempat dalam satu hari menjadi hal lumrah bagi para perantau ini. Selama 11 bulan, Adhi serasa tak punya kehidupan. Setiap hari Adhi bekerja selama 14 jam tanpa libur. Dimulai dari pagi hingga tengah malam. Pertama Adhi bekerja sebagai housekeeping di hotel, sedangkan sorenya ia bekerja sebagai tukang cuci piring di restoran Italia. Tiga bulan pertama, timbangan Adhi yang awalnya 69 kilogram  merosot menjadi tinggal 53 kilogram.

“Saya nggak pernah jalan-jalan, sampai ada teman yang bilang, 'Kamu diperbudak sama dolar ya'. Soalnya saya pikir cuma setahun. Target saya buat melunasi utang dan kasih uang ke orang tua harus terpenuhi dulu,” kata dia. Sejak tahun 2016, pemerintah Australia memperpanjang masa tinggal pemegang WHV menjadi dua tahun. Setiap hari Adhi menemukan 'tantangan' baru dalam pekerjaannya. “Kira-kira hari ini bakal ketemu t** macam apa ya. Besok t**-nya model apa,” gurau Adhi kepada sesama pekerja housekeeping.

Berkat kerja banting tulang, Adhi yang juga merupakan salah satu moderator grup Working Holiday Visa di Facebook, bisa melunasi utangnya dalam kurun waktu hanya 2 bulan. Kehidupan keras di Australia perlahan ikut mengubah cara pandang Adhi terhadap uang. Meski di Pitt Street Mall, berjejer ratusan toko barang-barang bermerek, Adhi tak lagi tergoda. Ia justru lebih sering berkunjung ke supermarket murah seperti Coles atau K-Mart. Atau berburu sayur mayur yang dijual banting harga di Paddy's Market menjelang tutup pasar jam 6 sore.

“Godaan di sini sebetulnya lebih banyak, cuma di sini saya sangat respect sama uang yang dicari. Karena di sini kami benar-benar ngucurin keringat. Sampai sekarang saya masih kerja 7 hari dalam seminggu. Kalau libur rasanya sedih, kapan lagi bisa dapat Rp 1,5 juta perhari, makanya saya lebih milih kerja,” Adhi menuturkan. Meski lumayan banyak duit -- tentu untuk ukuran Indonesia -- dia tetap berencana akan meninggalkan Australia dan pulang kembali ke Makassar.

Setelah berkeringat dan berdarah-darah, Adhi sudah sempat menikmati hasil jerih payahnya dengan mewujudkan mimpi keliling Eropa, sebelum akhirnya Adhi memutuskan kembali ke Australia. Dia melanjutkan masa tinggalnya dengan mengajukan visa pelajar. Adhi kembali mendalami ilmu dibidang perjalanan wisata selama dua tahun. Setelah usai, kini Adhi bersekolah lagi di bidang masak.

“Selain sekolah saya baru dapat pekerjaan kantoran pertama jadi Education Consultant . Tapi sorenya saya masih jadi waiter,” tuturnya. Untuk meringankan biaya sekolah sebesar AUD 2200 per tiga bulan ini, Adhi juga masih mendapatkan penghasilan dari menyewakan kamar apartemen dan berjualan makanan Indonesia.


Reporter/Penulis: MELISA MAILOA
Editor: Sapto

[Widget:Baca Juga]
SHARE