Foto : dok. Kamengski lewat Instagram
Senin, 17 Desember 2018Sebagai calon pewaris konglomerasi Grup Salim yang dibangun kakeknya, apa yang nggak bisa dibeli Axton Salim. Kalau dia mau, barang mewah atau branded apapun, dia bisa dengan gampang membelinya.
Ternyata Axton malah lebih suka memborong kaos oblong yang harganya cuma Rp 140 ribu. Kalau dilihat sekilas bajunya nggak jauh berbeda dengan kaos grosiran di Tanah Abang. Tapi anehnya setiap mengenakan kaos warna hitam itu Axton malah jadi pusat perhatian. Bukan pandangan sinis karena direktur Indofood ketahuan memakai baju yang harganya lebih murah dari tiket masuk Dufan. Justru mereka penasaran dengan logo kotak berwarna merah di depan kaos yang bertuliskan Supermie.
Supermie memang merupakan salah satu produk keluaran Indofood. Tapi bukan itu persoalannya. Logo merah dengan kata Supermie itu sebetulnya merupakan plesetan dari Supreme, merek streetwear asal Amerika Serikat yang kondang di kalangan anak-anak muda hypebeast. Harga satu potong kaus Supreme biasanya jutaan rupiah, lebih dari sepuluh kali harga t-shirt Supermie yang dipakai Axton.
“Wah bagus nih. Giliran saya pakai Supreme yang asli nggak ada yang tanyain. Tapi pas saya pakai Supermie ini orang malah ngeliatin, sampai pada tanya beli di mana,” kata Sulaiman Said, otak dibalik pembuat kaos Supermie, mengutip kata-kata Axton Salim. Sekelas Axton Salim, sama sekali bukan cerita jika dia pakai merek Supreme, Yeezy atau Dior yang paling mahal sekalipun. Tapi lain soal jika dia mengenakan kaus Supermie.
Baca Juga : Seberapa Mahal Harga Outfit Lo?
Urban Dictionary punya definisi untuk para hypebeast ini, yakni anak-anak muda yang terobsesi mengikuti hype fesyen dan mau melakukan apa pun untuk mengejar barang yang dia mau. Tujuan akhirnya, membuat terkesan orang-orang di sekitarnya dengan sepatu, baju, topi, dan segala hal yang menempel di tubuhnya. Biasanya, makin langka sepatu, baju atau hoodie, makin dikejar orang. Sesuai hukum ekonomi, barang langka sudah pasti mahal harganya.
Sebelum kalangan milenial dan anak-anak hypebeast 'diracuni' Supreme, Stussy, Yeezy, dan merek-merek hypebeast lainnya, Said telah membuat clothing line di bawah bendera Kamengski. Bisnis kreatif yang dikembangkan Said bukan sekedar distro. Dengan mengusung tagline In Fun We Trust, Said menggabungkan budaya populer dari barat dengan budaya lokal. Hasilnya parodi dalam bentuk fesyen yang bikin geli.
Misalnya label skater, ‘Thrasher’, dipelesetkan menjadi ‘Therasi Sambal’. Ada juga 'Nike' diubah menjadi nama penyanyi 'Nike Ardilla'. Atau ‘Reebok’ diparodikan jadi ‘Robeek’. Kalau mau lihat yang lebih nyeleneh lagi coba tengok instagram @kamengksi. Dijamin kontennya paling tidak akan membuat kita senyum-senyum sendiri.
Karena ngaco, kami malah jadi alternatif, itu yang jadi pembeda sampai sekarang'
“Kami itu streetart yang gagal. Karena karya kami kan salah semua, nyeleneh semua. Disebut gagal itu karena gambarnya salah terus. Gambarnya apa tulisannya apa, tapi maksud dan tujuannya sih nggak. Karena ngaco, kami malah jadi alternatif, itu yang jadi pembeda sampai sekarang,” kata Said.
Inspirasi untuk membuat Kamengski datang ketika Said masih jadi mahasiswa di Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Minat Said pada hal-hal yang berbau seni sudah muncul sejak SMP. Mulanya dia hobi coret-coret di belakang buku. Beruntung orang tua Said pengertian. Tanpa pakai diminta, Said dikasih kesempatan kursus menggambar sekali seminggu. Tapi ketika Said kepengin kuliah di IKJ, orang tuanya merasa agak berat di ongkos.
Meski akhirnya Said masuk juga ke perguruan tinggi seni itu, sebagai gantinya uang jajan Said dipangkas habis-habisan. Jangankan buat beli streetwear semacam Adidas atau Vans, makan tiga kali sehari saja dia rajin ngutang sana sini. Tapi demi mengejar gebetan Said tetap wajib tampil keren. Solusinya beli baju di Pasar Senen. Tempat yang sudah lama terkenal sebagai gudangnya barang bermerk bekas. Sebelum label Jepang, Uniqlo, masuk ke pasar Indonesia, Said bisa membeli produk bekasnya hanya dengan harga Rp 25 ribu.
Axton Salim mengenakan t-shirt 'Supermie' karya Kamengski
Foto : dok. Axton Salim lewat Instagram
Tapi ketika tugas akhir datang, duit di dompet Said makin tipis. Jalan satu-satunya buat tetap tampil maksimal ya cuma DIY alias Do It Yourself. “Coba lu waktu masih jadi mahasiswa biasa, buat beli sepatu Adidas yang biasa aja dulu deh, mahal nggak? Mahal banget. Sebagai mahasiswa biasa, beli nggak mampu, ya udah bikin aja. Kami bisa menyablon dan desain, kami terapin untuk bikin merchandise,” tutur Said soal usahanya memulai Kamengski pada tahun 2008.
Tumbuh besar di tengah lingkungan serba pas-pasan, Said benar-benar heran dengan gaya hidup anak muda jaman now. Mereka mampu membeli barang-barang hypebeast yang harganya bikin melongo. “Gua juga nggak ngerti, bagaimana anak muda sekarang kaya-kaya. Bapaknya setajir apa?” tuturnya. Said justru merasa bersyukur berasal dari latar belakang keluarga sederhana, sehingga mau nggak mau ia dipaksa menjadi kreatif. “Kalau gua dulu kayak anak-anak itu mungkin Kamengski nggak bakalan ada. Semakin lu miskin, lu akan makin kreatif. . Mentalnya jadi mental ngebikin, bukan mental beli.”
Meski sudah punya semangat untuk membangun merk clothing sendiri, Said sadar betul modal paham seni saja tak cukup. Makanya ketika kuliah, dia menyambi kerja di salah satu distro di daerah Tebet, Jakarta Selatan. Selain cari duit, Said juga 'nyolong' ilmu. Bermodalkan teman yang punya usaha konveksi dan sisa tabungan Rp 300 ribu, Said memulai bisnis Kamengski. Hasilnya lumayan, duitnya cukup dipakai buat bikin kaos selusin. Karena pesanan terus mengalir, Said mulai memproduksi barang fesyen lain seperti topi, tas, sweater, tas pinggang, jaket dan sebagainya.
Said juga sempat buka toko kecil di Lenteng Agung, Jakarta Selatan. Nggak lama buka tokonya terpaksa tutup. Said akhirnya menyewa kamar kosan sebagai kantor dadakan. Di situ dia bekerja dibantu satu orang temannya untuk membuat pesanan. Sekarang Said pindah kantor ke sebuah rumah di Tanjung Barat yang ukurannya lebih lega. Cukup buat dijadikan kantor tempat tujuh orang bekerja plus gudang. Di sini Said dan teman-temannya mengerjakan proyek pesanan dari Axton Salim dan The Good Depts. Selain itu Kamengski juga bermitra dengan beberapa usaha konveksi.
Sulaiman Said, pendiri Kamengski
Foto : Melisa Mailoa/detik.com
Proses desain clothing line Kamengksi sebenarnya tak ribet-ribet amat. Tantangannya justru bagaimana membuat parodi lucu yang cerdas. Ide seperti ini biasanya tak bisa tuntas dalam semalam. Terkadang butuh perenungan yang panjang dan pengamatan yang jeli. Setelah itu barulah lahir parodi semacam Stussy Susanti. Gabungan antara logo Stussy dan nama pemain bulu tangkis legendaris Indonesia Susi Susanti. Desain ini meledak dan terjual habis hanya dalam waktu dua hari.
Juga desain spanduk pecel lele Lamongan yang rasanya lokal banget. “Kita pasti pernah makan di situ atau setidaknya pernah lihat lah di jalan. Jadi inspirasi bisa datang dari mana aja. Cuma mengolahnya dan pengaplikasiannya kadang kita nggak kepikiran. Kalau kepikiran pun belum tentu dikerjain,” kata anak bungsu dari tiga bersaudara ini.
Kalau sekarang wah.... dari pada terjadi hal-hal yang tidak diinginkan
Dulu sebelum sosial media masih sepi dari hantu bernama buzzer, Said juga pernah bikin parodi-parodi politik. Seperti ketika dia menggabungkan logo tim basket asal Amerika Serikat, Chicago Bulls, dengan lambang Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Kebetulan keduanya sama-sama berlambang banteng. Lebih kocak lagi Said juga mengawinkan logo Ayam Goreng Ny. Suharti dengan Presiden Indonesia yang kedua, Soeharto. Wajah Ny. Suharti diganti menjadi muka Soeharto, ditambah slogan dibawahnya 'Piye rasane? Sih penak ayam goreng ku toh?'
“Dulu gua berani pas masih awal tahun 2010 karena sosial media belum banyak orang. Kalau sekarang wah.... dari pada terjadi hal-hal yang tidak diinginkan," kata Said. Jika bikin parodi 'sensitif' seperti, dia khawatir ada orang-orang yang tidak paham dengan visi yang dibawa Kamengssi dan malah jadi baper. Padahal Said ingin karyanya selalu menyenangkan. Sama seperti topik bercandaan ketika nongkrong sambil menyeruput kopi bersama teman-teman. Tak ada hal yang serius. Asalkan bisa bikin ketawa, paling tidak tersenyum atau nyegir, Said sudah cukup puas.
Makanya ketika ditanya soal hasil penjualan dan cuan dari Kamengski, Said enggan buka-bukaan. “Pencapaian itu nggak usah disebut lah. Malah bikin malu karena masih banyak yang pencapaiannya lebih gila. Gua kan nggak jual massal tapi gua jual konten. Apa yang kami buat, selama masih dapat apresiasi, udah bersyukur banget,” ujar Said. Buktinya bukan cuma clothing line, Kamengksi kini melebarkan sayap dengan mendirikan studio rekaman Kamengski Record. “Kami bikin juga acara band, bikin album rekaman juga. Udah jauh melenceng dari sekedar industri distro. Zona kami jadi meluas. Kami udah bikin 8 album.”
Reporter/Penulis: MELISA MAILOA
Editor: Sapto Pradityo