INTERMESO


 BUNG HATTA, PARTAI ISLAM         DAN GEGER MAKAR SAWITO

“Apakah dasar Ketuhanan Yang Maha Esa itu, yang menjiwai seluruh Pancasila, tidak bisa diamalkan menurut paham Islam?”

Foto : KITLV

Senin, 20 Agustus 2018

Mohammad Hatta bukan lah orang dengan nafsu kekuasaan meluap. Itu lah yang membuat dia tanpa ragu meninggalkan jabatan Wakil Presiden pada akhir 1956 karena tak sepaham dengan arah kebijakan pemerintah kala itu. Tapi putusnya dwitunggal Sukarno-Hatta pada akhir 1956 itu tak membuat Hatta meninggalkan gelangggang politik.

Ia masih kerap menyampaikan kritiknya pada pemerintahan Sukarno, baik melalui korenspondensi pribadi maupun secara terbuka lewat artikel opini di media massa. Kediamannya di Megamendung, Bogor, pun sering dijadikan tempat berdiskusi terutama oleh aktivis-aktivis muda.

Deliar Noer, pakar politik Islam, menyebut saat itu para alumni Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), kalangan Pelajar Islam Indonesia (PII), malah juga bekas Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) serta sebagian yang bergabung ke Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), juga Nahdlatul Ulama (NU), sering datang ke kediaman Hatta. "Orang-orang Islam tadi begitu mempercayai Hatta, terutama dalam berpolitik," tulis Deliar dalam “Hatta dan Partai Islam,” dimuat dalam Mengapa Partai Islam Kalah?

Kepercayaan itu muncul kata Deliar karena kaum muda Islam melihat kepribadian Hatta, kecenderungan pada agama Islam, dan ketaatan Hatta beribadah. "Sejak masa demokrasi terpimpin, Hatta sering mengadakan pertemuan dengan mereka (pemuda Islam)," ujar Ketua Umum PB HMI periode 1953-1955 itu. Deliar termasuk para pemuda yang kerap berdiskusi dengan Hatta.

Menurut Deliar pertemuan-pertemuan dengan kalangan muda Islam tadi akhirnya sampai pada pernyataan Hatta bahwa diperlukan partai Islam. Partai ini akan memberi contoh bagaimana menegakkan ajaran Islam dalam berpolitik. Mereka pun bersepakat merancang anggaran dasar partai yang kemudian disebut Partai Demokrasi Islam Indonesia, disingkat PDII. "Tujuan partai ini untuk mendidikkan praktik demokrasi yang bertanggung jawab terutama bagi umat Islam," ujar Hatta dalam wawancaranya dengan Zainul Yasni pada pertengahan 1970-an.

Meutia Hatta, putri sulung Bung Hatta
Foto : Tri Aljumanto/Detik.com

Rancangan partai disusun sendiri oleh Hatta. "Tentu dengan segala masukan dari yang muda. Setelah disusun konsepnya, dibicarakan bersama lagi dengan yang lain. Dan ini dilakukan berkali-kali," tulis Deliar. Deliar juga mengenang Hatta sangat tertib dan jeli dalam mempergunakan kalimat, kata, malah juga titik koma. "Hatta berpikir tentang PDII itu adalah bagaimana menerapkan nilai-nilai Islam yang universal. Kemanusiaannya dan keadilannya," ujar Halida Nuriah Hatta, putri bungsu Bung Hatta.

Sayangnya gagasan partai Islam itu gagal terwujud. Sebagian tokoh Islam tak sepaham dengan ide Hatta. Tokoh-tokoh Masyumi misalnya, lebih memilih menghidupkan kembali partai Islam itu ketimbang menyokong Hatta. Bagi sebagian tokoh Islam, partai Hatta bukan partai Islam, tapi partai Pancasila. Pendapat yang membuat Hatta tak habis pikir.

Bagiku, tak ada jalan lain kecuali menerima keputusan itu'

“Apakah dasar Ketuhanan Yang Maha Esa itu, yang menjiwai seluruh Pancasila, tidak bisa diamalkan menurut paham Islam?” Hatta bertanya seperti dikutip Mavis Rose dalam bukunya, Indonesia Free: A Political Biography of Mohammad Hatta. “Jika Gereja Protestan dan Katholik bisa menerima Pancasila sesuai dengan prinsip keagamaan mereka, mengapa orang-orang muslim tidak bisa menerima?”

Pada 11 Januari 1967, Hatta menyampaikan surat kepada Jenderal Soeharto yang saat itu memegang kekuasaan setelah kekuasaan Presiden Sukarno dilucuti. Hatta menjelaskan maksudnya untuk mendirikan PDII. Soeharto, kata Hatta, tak tampak antusias, tapi juga tak menyatakan keberatan. Beberapa bulan ditunggu, lantaran tak ada jawaban dari Soeharto, Hatta kembali mengirim surat. Jawaban dari Soeharto itu datang pada 17 Mei 1967. Dengan alasan PDII tak mendapatkan dukungan bulat dari kalangan Islam, Jenderal Soeharto menolak rencana pendirian partai tersebut.

Hatta kecewa namun berusaha legawa. “Bagiku, tak ada jalan lain kecuali menerima keputusan itu,” kata Hatta. Marvis Rose, penulis biografi Hatta, menyebut Soeharto menilai PDII berpeluang menjadi oposisi yang sangat berbahaya. Belakangan, Soeharto merestui Djarnawi Hadikusuma membentuk Partai Muslimin Indonesia.

Jika Gereja Protestan dan Katholik bisa menerima Pancasila sesuai dengan prinsip keagamaan mereka, mengapa orang-orang muslim tidak bisa menerima?

Bung Hatta

Bung Hatta dan keluarganya
Foto : Hasan Alhabsyi/Detik.com

Sepanjang hidupnya, meski kemudian tak lagi menjabat Wakil Presiden, Mohammad Hatta tak pernah berhenti memikirkan apa yang terbaik untuk bangsa ini. Hatta orang yang jujur, jauh dari korupsi dan muslim yang taat. Tapi orang hebat seperti Bung Hatta sekali pun, ada kalanya ‘tersandung’ juga.

Pada 11 Juli 2000, Presiden Abdurrahman Wahid menandatangani Keputusan Presiden nomor 93 tahun 2000 tentang pemberian abolisi dan rehabilitasi kepada sdr. R. Sawito Kartowibowo. Siapa Sawito Kartowibowo ini? Kasus Sawito sebenarnya sudah lama sekali terkubur dan dilupakan orang. Tapi 40 tahun silam, kasus Sawito membuat Jakarta panas oleh kasak-kusuk dan desas-desus.

Pada Juni 1978, hakim pengadilan memutus Sawito, kala itu 45 tahun, bersalah dalam perkara subversi. Mantan pegawai Departemen Pertanian itu dihukum 8 tahun penjara. Selain Sawito, ada belasan orang lagi yang ditangkap terkait kasus itu, di antaranya mantan Pangdam Sriwijaya dan Duta Besar di Kamboja, Mayor Jenderal (purn.) Ishak Djuarsa, mantan aktivis perjuangan Kemerdekaan, Singgih, Karna Radjasa, putra mantan Perdana Menteri Ali Sastroamidjodjo, dan Sudjono, mantan diplomat.

Bukan nama Sawito yang bikin heboh, sampai membuat Istana dan sejumlah pejabat tinggi negara kalang kabut, tapi beberapa nama yang ikut terseret kasus itu. Di antaranya mantan Wakil Presiden Mohammad Hatta, mantan Kepala Polri Jenderal (purn.) Said Soekanto Tjokrodiatmodjo, Letnan Jenderal (purn.) T.B. Simatupang, ulama kondang Hamka, dan Kardinal Yustinus Darmoyuwono.

Tanda tangan nama-nama besar itu ada dalam dokumen yang dibuat Sawito. Hakim pengadilan menilai, isi dokumen Sawito yang mengkritik Presiden Soeharto dan memintanya menyerahkan kekuasaan kepada Bung Hatta sebagai tindak subversi. Yang membuat orang bertanya-tanya, bagaimana seorang Sawito bisa mendekati Bung Hatta, Hamka, Jenderal Simatupang, Jenderal Said, dan sebagainya?

Halida Hatta, putri bungsu Bung Hatta
Foto : Tri Aljumanto/Detik.com

Bertahun-tahun setelah bebas dari penjara, Sawito, seperti dikutip dalam buku Hatta, Jejak yang Melampaui Zaman, mengaku kenal Hatta sudah lama, saat Sang Proklamator masih menjabat Wakil Presiden. Hatta mengundurkan diri sebagai Wakil Presiden RI pada Desember 1956. “Saya bertemu dengan Bung Hatta minimum seminggu tiga kali, atau bahkan tiap hari, sampai saya ditangkap,” Sawito menuturkan.

Tapi lain cerita Meutia Farida, anak sulung Bung Hatta. Ayahnya, kata Meutia, kenal Sawito lewat Olahraga Hidup Baru (Orhiba). Jenderal Said Soekanto juga ikut dalam Orhiba. Hatta belajar Orhiba pada Syofyan K.S. yang tinggal di Bogor. Dia berlatih Orhiba di Megamendung dan Jakarta. Tapi karena Syofyan tinggal di Bogor, maka Vila Megamendung milik keluarga Hatta menjadi pilihan utama latihan di hari Minggu. Semua berjalan rutin hingga tiba-tiba suatu hari ada seorang sarjana lulusan Institut Pertanian Bogor bernama Sawito Kartowibowo datang bersama Syofyan. Sawito mengaku ingin berkenalan dengan Hatta.

Saya bertemu dengan Bung Hatta minimum seminggu tiga kali, atau bahkan tiap hari

Semula Sawito datang bersama Syofyan. Namun belakangan ia sering nyelonong datang sendiri saat keluarga Hatta sedang makan siang di Megamendung. Sesekali ia mengajak istrinya. "Dia tahu betul kami sekeluarga punya jam makan yang tetap. Pada saat itu lah ia datang berkunjung dan ikut nimbrung dan mengobrol di meja makan. Padahal semua tamu harus lewat prosedur protokoler lewat pak Wangsa bila ingin berjumpa Ayah," kata Meutia. Wangsa adalah sekretaris pribadi Hatta.

Sawito yang lahir di Blitar, Jawa Timur, suka bicara. Lewat ayahnya, dia punya hubungan kerabat dengan Presiden Sukarno. Meutia sendiri merasa dia orang yang "tidak biasa". Namun Hatta dan istrinya tetap menerimanya dan tak mau mengusirnya demi sopan santun. Suatu hari Sawito membawa makalah yang katanya ditulis sebagai bahan pemikiran mengenai kemajuan bangsa. Ia ingin karya tulisnya itu dibubuhi tanda tangan Hatta sebagai dukungan atas karyanya agar lebih membanggakan.

Lantaran sudah terbiasa dengan sikap aneh Sawito yang suka dengan hal-hal berbau klenik itu, Hatta tak curiga dan tak keberatan membubuhkan tanda tangan. "Ayah sudah membaca isinya dan menganggap tak ada hal-hal yang patut dipertanyakan atau dicurigai maupun membahayakan pemerintah," kata Meutia.

Prinsip Bung Hatta dalam berpolitik
Video : Tri Aljumanto/20Detik

Beberapa waktu setelah Hatta menjalani operasi berat, tiba-tiba datang undangan dari Presiden Soeharto untuk datang ke Bina Graha. Tujuannya ingin berbincang mengenai keadaan negara. "Ayah, Ibu, Pak Wangsa, dan Halida yang berada di rumah heran, apa gerangan yang akan dibicarakan Pak Harto?Kok mendadak sekali?" ujar Meutia.

Ketika di Bina Graha, setelah basa basi, Soeharto bertanya kepada Hatta tentang Sawito. Hatta membenarkan dirinya mengenali Sawito. Soeharto wanti-wanti Bung Hatta agar berhati-hati pada Sawito karena dinilai ingin memanfaatkan Hatta untuk tujuan tertentu. "Singkatnya ada kesepakatan antara pak Harto dan Ayah bahwa tidak ada sesuatu hal yang perlu dikhawatirkan dari hubungan antara Ayah dan Sawito terhadap Pak Harto dan negara," kata Meutia.

Rupanya masalah belum selesai. Menteri Sekretaris Negara Sudharmono masih membesar-besarkan hubungan Hatta dan Sawito. Sudharmono didampingi Jaksa Agung Ali Said dan Emil Salim datang menemui Hatta di kediamannnya pada 1 Desember 1976. Pertemuan itu membahas soal Sawito yang katanya membawa surat untuk Presiden Soeharto berisi amanah dari Bung Hatta. Amanah itu disebutkan menggulingkan Soeharto sebagai kepala negara.

"Orang yang tidak berpendidikan tinggi pun tahu hal tersebut tak logis," kata Meutia. Rupanya bukan hanya Hatta yang terimbas masalah tersebut. Ada pula Jenderal Soekanto, Letjen T.B. Simatupang, Buya Hamka, Kardinal Yustinus, juga terseret-seret. Menurut Meutia semua tokoh tersebut menandatangani lembar terakhir dari makalah Sawito. "Sepertinya halaman teks awal sebelum lembar tanda tangan sudah diganti."

Meski tanda tangannya ada dalam dokumen Sawito, Hatta tak pernah dimintai kesaksiannya sepanjang persidangan kasus itu.


Reporter/Penulis: Pasti Liberti
Editor: Sapto Pradityo

[Widget:Baca Juga]
SHARE