INTERMESO


            Selembar Kertas pun                  Bung Hatta tak Mau Korupsi

"Di situ Ayah menunjukkan bahwa kami harus memisahkan mana milik negara mana milik pribadi, walaupun hanya selembar amplop"

Foto : repro. dari buku Bung Hatta : Pribadinya dalam Kenangan

Sabtu, 18 Agustus 2018

Lukisan "Ngarai Sianok" bertahun 1950 karya Wakidi, seorang pelukis naturalis yang juga dikagumi Bung Karno itu masih tergantung di belakang kursi kerja Mohammad Hatta sampai hari ini. Begitu juga lampu meja dari bahan kayu berbentuk serupa dengan payung tetap setia berada di atas meja kerja Wakil Presiden Republik Indonesia pertama itu.

Susunannya masih persis sama seperti yang ditunjukkan foto-foto puluhan tahun lalu saat Bung Hatta masih hidup. "Di ruang ini Bung Hatta menerima tamu-tamunya dari pejabat sampai masyarakat biasa," ujar putri sulung Bung Hatta, Meutia Farida Hatta, kepada detikX di kediaman keluarga Mohammad Hatta di Jakarta, Selasa lalu.

Dulu, ada seorang perempuan tua dari Bekasi bernama Mak Itik yang sering bertandang ke kediaman Bung Hatta. Kalau berkunjung Mak Itik tak pernah lupa membawa buah tangan berupa beras dari kampungnya. "Kalau Mak Itik datang, ibu (Yuke Rahmi Rachim) juga bergabung. Ruangan ini jadi ramai sekali," ujar guru besar Universitas Indonesia itu. "Bapak mengajarkan untuk berbaur dengan seluruh lapisan masyarakat. Tidak hanya halo-halo dengan pejabat atau keluarga pejabat saja."

Bung Hatta menanamkan prinsip tersebut kepada anak-anaknya sedari kecil. Meutia ingat betul hampir setiap akhir pekan mereka sekeluarga mengunjungi rumah peristirahatan di Megamendung, Bogor, atau pada saat-saat tertentu diajak ikut kunjungan kerja ke sejumlah daerah. Bung Hatta sering membawa Meutia dan adiknya Gemala berjalan kaki melewati perkampungan dan menyapa masyarakat.

"Adik saya Gemala digendong di pundak ayah," kata Meutia. "Bung Hatta menghormati masyarakat kecil. Kami melihat dan mendengar ayah berbicara manis dengan mereka." Namun Bung Hatta tak pernah mau dicium tangannya seusai bersalaman. Kalau ada gelagat orang mau mencium, Hatta buru-buru menarik tangannya. "Ayah tidak mau pengkultusan atas dirinya."

Bung Hatta, istri, dan ketiga putrinya
Foto : repro. dari buku Bung Hatta : Pribadinya dalam Kenangan

Empati itu tak berubah meski sudah tak menyandang jabatan wakil presiden. Putri bungsu Hatta, Halida Nuriah Hatta, menuturkan saat diterima sebagai mahasiswa Universitas Indonesia seharusnya dirinya dibebaskan dari kewajiban membayar uang sumbangan pendidikan sebagai anak perintis kemerdekaan.

Saat itu, Halida mengenang, Hatta tetap memberikan uang Rp 30 ribu per semester untuk disetorkan ke loket administrasi fakultas. "Baru belakangan saya tahu harusnya dapat fasilitas bebas SPP," katanya. Hatta tetap membayarkan SPP anaknya agar jatah tersebut bisa dipakai mahasiswa lain yang diterima di UI namun kondisi keuangannya terbatas. "Bagi ayah tak perlu menunggu jadi konglomerat untuk membantu orang lain."

Bagi ayah tak perlu menunggu jadi konglomerat untuk membantu orang lain'

Tingginya rasa cinta Hatta kepada negara ini, membuatnya enggan untuk membebani keuangan negara. Sekretaris pribadi Hatta, Iding Wangsa Wijaya menuliskan pengalamannya mendampingi proklamator saat perjalanan menunaikan ibadah haji pada Juli 1952 dalam bukunya Mengenang Bung Hatta. Kala itu Bung Hatta mengajak sekretarisnya, istrinya, Rahmi Hatta dan dua saudara perempuannya.

Presiden Sukarno sebenarnya menawarkan rombongan Hatta menggunakan pesawat terbang dengan biaya yang ditanggung pemerintah. Hatta menolak tawaran itu. "Bung Hatta menginginkan agar keberangkatannya menunaikan ibadah haji bukan dalam kedudukannya sebagai wakil presiden, melainkan sebagai rakyat biasa," kata Wangsa.

Wangsa Wijaya menuturkan seluruh biaya berasal dari kantong pribadi Bung Hatta. "Saya masih ingat benar, bahwa kami semua diberangkatkan Bung Hatta dengan uang hasil honorarium buku yang terbit di Belanda," ujar Wangsa. Buku itu berjudul Verspeide Geschriften berisi kumpulan karangan Bung Hatta dalam bahasa Belanda. Bung Hatta juga memperoleh honorarium penerbitan beberapa buku di Indonesia. Honor yang terkumpul terbilang besar untuk untuk ukuran masa itu.

Namun, lanjut Wangsa, beberapa waktu sebelum keberangkatan masih ada saja kecaman yang datang dari beberapa pihak yang tidak senang kepada Bung Hatta. Mereka menyerang Bung Hatta dengan mengatakan keberangkatan Bung Hatta ke Mekkah dengan menggunakan uang rakyat dan fasilitas pemerintah. "Saya cuma geleng-geleng kepala. Mereka tidak tahu persis duduk soalnya," ujar Wangsa.

Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1975
Foto : IPPHOS

Bagi banyak orang, ‘korupsi’ selembar kertas barangkali hanya satu ‘dosa kecil’ yang gampang saja dimaafkan dan dilupakan. Tapi tidak bagi Bung Hatta. Dia tak hanya perhatian terhadap urusan yang melibatkan uang negara dalam jumlah besar, tapi juga keras memegang prinsip untuk banyak hal yang mungkin dinilai orang lain hanya urusan sepele.

Gemala Rabi'ah Hatta, putri kedua Sang Proklamator, mengisahkan cerita saat menempuh kuliah di School of Medical Record Administration, Australia. Uang saku yang terbatas dari beasiswa Colombo Plan membuat anak kedua Bung Hatta itu mengambil pekerjaan paruh waktu.

Waktu itu Konsulat Jenderal Republik Indonesia di Sydney membutuhkan tambahan tenaga juru ketik. Kebetulan Gemala mahir mengetik dengan 10 jari. Ia pun menyisihkan akhir pekannya untuk bekerja di Kantor Konsulat. Suatu ketika, pada sekitar awal Maret 1975 saat Gemala mau mengeposkan surat ke Bung Hatta ternyata amplop miliknya sudah habis. Tanpa pikir panjang ia memakai amplop milik Konsulat. "Kertas suratnya punya saya, cuma amplop saja punya Konsulat," ujar Gemala.

Akhir bulan datang surat balasan dari Jakarta. Dalam penutup suratnya Bung Hatta berkata dengan nada tegas, "Ada yang satu Ayah mau peringatkan kepada Gemala, kalau menulis surat kepada Ayah dan lain-lainnya, jangan lah dipakai kertas Konsulat Jenderal RI. Surat-surat Gemala kan surat pribadi, bukan surat dinas. Jadinya tidak baik dipakai kertas Konsulat itu."

Bagi Hatta, pemisahan urusan negara dengan urusan pribadi adalah prinsip yang tak bisa ditawar. Dan korupsi yang besar, biasanya bermula dari pembiaran terhadap hal-hal yang kecil. “Di situ Ayah menunjukkan bahwa kami harus memisahkan mana milik negara mana milik pribadi, walaupun hanya selembar amplop" kata Gemala.

Bung Hatta bersama Presiden Soeharto
Foto : repro. dari buku Bung Hatta : Pribadinya dalam Kenangan

Gemala juga mengisahkan tak hanya dirinya yang pernah kena marah karena persoalan serupa. Suatu ketika Wangsa Wijaya meminjam tiga lembar kertas dari kantor Sekretariat Negara di Medan Merdeka Utara. Soalnya kertas di kantor Wakil Presiden di Medan Merdeka Selatan habis. "Pak Wangsa berinisiatif ambil ke seberang untuk mengetik surat-surat balasan," ujar Gemala.

Bung Hatta yang tahu belakangan lantas menegur sekretarisnya, "Kalau suratnya ke Merdeka Utara biarlah itu urusan negara. Tapi kalau ke sini saya harus membalas dengan kertas saya sendiri." Wangsa Wijaya akhirnya membeli kertas baru dengan uang pribadi Bung Hatta dan mengganti surat yang sudah diketiknya.

Politik kooperasi adalah politik meningkatkan ketidakberdayaan!

Sikap tanpa kompromi dan keras sudah ditunjukkan Bung Hatta semasa merintis kemerdekaan. Setelah pulang dari Belanda, Hatta diajak pamannya Ayub Rais pada akhir Februari 1933 untuk urusan bisnis di Jepang. "Aku diajaknya ikut sebagai penasihat," ujar Hatta dalam buku otobiagrafi Mohammad Hatta : Memoir. Hatta memang terbilang dekat dengan pamannya yang dipanggilnya Mak Etek Ayub itu.

Mak Etek Ayub lah yang menanggung uang sekolah dan biaya hidup Hatta semasa bersekolah di Prins Hendrik School di Batavia sejak 1919. Pamannya itu juga yqng menghadiahkan tiga judul buku untuk Hatta yaitu buku ilmu ekonomi, De Staathuishoudkunde karya Nicolaas Gerard Pierson, De Socialisten karangan H.P. Quack, dan Het Jaar 2000 yang ditulis Edward Bellamy.

Rombongan Hatta berangkat menumpang kapal Jepang Djohor Maru. Mereka ditemani orang Jepang partner dagang Ayub di Batavia bernama Ando. Kapal tak langsung menuju Jepang namun mampir di Singapura untuk mengambil bijih besi. Baru di awal Maret 1933 kapal yang membawa Hatta bersandar di Kobe. Hatta terkejut ketika banyak wartawan yang menghampirinya ke atas kapal yang baru saja membuang sauh itu. Hatta pun mendapat panggilan baru "Gandhi dari Jawa".

Perpustakaan Mohammad Hatta di Bukit Tinggi, Sumatera Barat
Foto : repro. dari buku Bung Hatta : Pribadinya dalam Kenangan

Hatta bertanya pada Ando apakah dia yang memberitahukan hal tersebut. Ando membantahnya. Para wartawan mendesak Ando supaya diberi kesempatan mewawancara Hatta di atas kapal. Hatta hanya menjawab tiga pertanyaan. Maksud kedatangannya ke Jepang, keadaan rakyat di tanah air, dan penggantian kabinet di Belanda. "Ada yang bertanya, apakah aku akan bertemu dengan pemerintah Jepang? Pertanyaan itu tidak kujawab, aku duga itu merupakan satu pancingan," tulis Hatta.

Dua minggu pertama di Jepang lebih banyak dihabiskan di kota Osaka untuk urusan bisnis. Baru pada minggu ketiga rombongan itu mengunjungi beberapa kota bersejarah seperti Kyoto, Nara, dan Nagoya. Lalu dilanjutkan ke Tokyo pada minggu kelima menggunakan kereta api dari Osaka. Hatta duduk berseberangan dengan sepasang orang muda Jepang dalam perjalanan tersebut. Setelah setengah jam bercakap-cakap, perempuan Jepang itu bertanya dalam bahasa Inggris, "Are you 'the Gandhi of Java?'"

Rupanya pasangan ini membaca artikel yang dibuat ketika Hatta baru saja tiba di Kobe. Hatta menjawab pers Jepang menyebutnya Gandhi karena gerakan perjuangan di tanah air berdasarkan prinsip non-kooperasi yang hampir serupa dengan gerakan Gandhi di India. "Non-kooperasi di India banyak terpengaruh agama Hindu yang disebut ahimsa. Non-kooperasi di Indonesia dasarnya semata-mata politik," kata Hatta menjelaskan.

Hatta dalam otobiografinya mengaku sudah menganjurkan politik non-kooperasi sejak tahun 1922 semasa berkuliah di Belanda. Dalam tulisannya di koran Indonesia Merdeka pada Juli 1930, Hatta menyebut gerakan non-kooperasi merupakan senjata yang paling ampuh bagi setiap rakyat tertindas dalam usaha pembebasan menghadapi kekuatan besar api dan baja kaum penjajah kulit putih. "Non-kooperasi untuk menarik garis antara sana dan sini, antara Hindia Belanda dan Indonesia, antara masyarakat orang sana dan masyarakat kita. Dipakai untuk membangkitkan semangat rakyat kita supaya tahu dan sanggup membangun masyarakat sendiri."

Hatta pun dengan keras mengecam politik kooperasi. Menurutnya politik kooperasi tidak menumbuhkan kepercayaan diri, tetapi hanya keraguan dan perasaan tidak berdaya dari rakyat terjajah. "Politik kooperasi adalah politik meningkatkan ketidakberdayaan!" tulisnya dalam koran yang diterbitkan Perhimpunan Indonesia. Sikap keras dan teguh memegang prinsip itu pula yang membuat Hatta memutuskan mengundurkan diri sebagai Wakil Presiden pada Desember 1956 lantaran tak setuju dengan sikap politik Bung Karno dan kebijakan pemerintah kala itu. Padahal, keputusan mundur itu membuat Hatta mesti pontang-panting menghidupi keluarganya.

Penulis buku Demokrasi Untuk Indonesia : Pemikiran Politik Bung Hatta, Zulfikri Suleman menyebut Bung Hatta dididik dalam lingkungan agama yang kuat. Kakek dari ayahnya Syekh Arsyad merupakan seorang guru agama dan pemimpin Tariqat Naqsyabandiyah. "Itu menjadi bekal bagi Hatta memegang teguh prinsip kejujuran dan menjadi sosok petarung pada masa kolonial Belanda," ujar Zulfikri yang juga dosen ilmu politik di Universitas Sriwijaya, Palembang.

Kepedulian Hatta pada masyarakat kecil juga selalu tampak pada pemikiran yang dituangkan dalam pidato-pidatonya. Memang menurut Zulfikri pidato tersebut sulit dipahami oleh rakyat kecil karena pemilihan bahasa Hatta yang sangat ilmiah dan mendalam. Namun itu lah ide yang terus diperjuangkan Hatta demi kesejahteraan dan keadilan untuk masyarakat kecil. "Ide koperasi, pencerdasan politik rakyat itu untuk rakyat kecil," kata Zulfikri.


Reporter/Penulis: Pasti Liberti
Editor: Sapto Pradityo

[Widget:Baca Juga]
SHARE