INTERMESO


      BUNG KARNO DAN MELATI                                   DARI LANNY

      "Tak lain tak bukan kita harus mengangkat kita punya nama. Nama kita yang tiga setengah abad tenggelam dalam kegelapan."

Lanny Gumulya, peraih medali emas di Asian Games 1962, Foto : Agung Pambudhy/Detik.com

Senin, 6 Agustus 2018

Hanya foto-foto dan kliping koran yang menjadi pengingat semua prestasi Lanny Gumulya di kolam renang lebih dari setengah abad silam. Padahal prestasi Lanny tak main-main. Dia adalah peloncat indah pertama dan satu-satunya dari Indonesia yang pernah meraih medali emas di ajang Asian Games.

Di Asian Games IV tahun 1962 di Jakarta, Lanny, kala itu baru 17 tahun, meraih medali emas di nomor loncat indah papan 3 meter dan mendapatkan medali perunggu di papan 10 meter. Bahkan setahun kemudian, Lanny kembali mendapat medali emas di Pesta Olahraga Negara-negara Berkembang (Ganefo) yang juga digelar di Jakarta.

Tapi sayang, semua medali itu hilang. Lanny menitipkan semua medali itu di rumah orang tuanya di Solo, Jawa Tengah. “Semua medali saya hanyut saat Sungai Bengawan Solo banjir besar pada tahun 1966….Keluarga saya sibuk menyelamatkan barang-barang lain,” Lanny menuturkan, pekan lalu. Sekarang, menjelang Asian Games 2018 di Jakarta-Palembang, Lanny yang akhir tahun nanti genap 74 tahun berharap, ada peloncat indah yuniornya bisa merebut medali emas dan ‘menggantikan’ medali-medalinya yang hilang.

Meski sudah setengah abad tak bertanding, Lanny masih terus mengikuti berita-berita olahraga, terutama dari cabang loncat indah. Kadang dia juga masih datang ke kolam renang di Senayan untuk menonton. “Saya selalu berusaha menonton jika ada pertandingan,” kata dia. Lanny paham betul, persaingan makin ketat dan lawan-lawan atlet Indonesia di kolam renang makin berat. Tapi walaupun peluang menang sangat tipis, apa pun bisa terjadi di papan loncat.

Pada Asian Games 1962 pun, Lanny sama sekali tak diunggulkan mendapatkan medali emas. “Di atas kertas saya nggak mungkin menang,” kata Lanny. Lawan-lawannya, terutama dari Jepang, jauh lebih diunggulkan. “Mereka sudah berlatih paling tidak lima tahun, bahkan sepuluh tahun.” Sementara Lanny, bisa dibilang masih agak ‘hijau’ di papan loncat indah. Dia baru serius berlatih loncat indah saat dipilih masuk pemusatan latihan nasional di Bandung pada tahun 1959.

Lanny Gumulya, peraih medali emas pada Asian Games 1962 di Jakarta
Video : Muhammad Abdurrosyid/20Detik

Lahir di tengah keluarga yang gemar berolahraga di kota Solo, Lanny justru menekuni judo sebelum jadi atlet loncat indah. Tapi olahraga air bukan hal asing baginya. Ayahnya merupakan pengurus Bengawan Solo Swimming Club. Saat umurnya baru sekitar 10 tahun, ada peloncat indah dari Amerika Serikat datang ke Solo dan mempertunjukkan kelihaiannya bersalto di atas papan kolam renang. Itu lah kali pertama Lanny terpesona dengan loncat indah. Makanya dia tak pikir panjang lagi saat ayahnya menawarinya bergabung dengan pemusatan latihan nasional untuk Asian Games 1962 di Bandung untuk nomor loncat indah.

Cabang loncat indah, menurut Lanny, saat itu bukan cabang olahraga yang populer di Indonesia. Tak seperti perenang, sulit sekali mencari atlet loncat indah. Lanny sendiri bukan atlet loncat indah. “Saya mulai dari nol. Modalnya hanya keberanian dan bisa salto,” dia menuturkan. Saat masuk pemusatan latihan, dia baru 15 tahun. Untuk menemani Lanny, orang tuanya meminta adiknya, Billy, menemani masuk pemusatan latihan. “Dia tiga tahun lebih muda dari saya.” Jadi lah Lanny dan Billy seorang peloncat indah.

Saya mulai dari nol. Modalnya hanya keberanian dan bisa salto'

Semula Lanny, Billy, dan para peloncat indah berlatih di kolam renang Centrum. Lantaran dianggap kurang memadai, pemusatan latihan dipindahkan ke kolam renang Karang Setra. Selama hampir tiga tahun, hidup Lanny habis untuk berlatih loncat indah dan bersekolah di Bandung. Semula, ada tiga peloncat indah perempuan untuk Asian Games 1962 yakni Lanny, Mien Brodjo, dan Siti Mahmudah. “Tapi Siti Mahmudah meninggal saat dalam pemusatan latihan,” kata Lanny. Walhasil tinggal Mien dan Lanny.

Dengan fasilitas serba pas-pasan, kemampuan Mien dan Lanny digenjot setiap hari. “Papan loncatannya masih pakai papan kayu. Karena kayu, kena air jadi licin, kami sering terpeleset ,” kata Lanny. Pelatihnya didatangkan dari Hungaria. Saat itu, demi mengejar prestasi di Asian Games, ada belasan pelatih asing didatangkan untuk memoles kemampuan atlet-atlet Indonesia. Sebagian besar berasal dari negara-negara Eropa Timur.

Mien dan Lanny baru merasakan papan loncat indah yang sesungguhnya beberapa hari sebelum bertanding di Asian Games 1962.

Lanny Gumulya saat  meraih emas di Ganefo 1963
Foto : repro. dok. pribadi

Saat mendengar kabar Bung Karno wafat pada 21 Juni 1970, Lanny menitikkan air mata untuk Presiden Indonesia pertama itu. Saat itu Lanny sudah berkeluarga dan punya anak. Kendati hanya beberapa kali bertemu, dia merasa ‘dekat’ dengan Bung Karno.

Gumulya, nama yang dia pakai sampai sekarang, juga dipakai oleh adiknya, Billy, menurut Lanny, merupakan nama pemberian Bung Karno. Ketika itu, Presiden Sukarno mengunjungi pemusatan latihan di Bandung. Saat berbincang dengan para atlet, Bung Karno memberikan nama Gumulya untuk Lanny. Bung Karno, Lanny menduga, hanya ‘iseng’ saja. “Saya bertanya kepada orang tua apakah boleh memakai nama Gumulya, mereka tak keberatan,” kata Lanny.

Bung Karno pula yang terus memberikan semangat kepada atlet-atlet Indonesia selama di pemusatan latihan. Berkali-kali dia datang berkunjung ke Bandung. “Bung Karno yang membuat kami bersemangat….. Bung Karno itu caranya memberikan nasihat enak sekali. ‘Indonesia pasti bisa,’” Lanny menirukan kata-kata penyemangat dari Bung Karno. Meski mereka tak dijanjikan hadiah dan tak mendapatkan hadiah apapun usai Asian Games, menurut Lanny Gumulya, para atlet bertanding dengan semangat tinggi untuk merah putih.

Di depan para atlet nasional di Sasana Gembira, Bandung, setahun sebelum Asian Games 1962, Presiden Soekarno menjelaskan mengapa Indonesia mesti bersusah-susah menjadi tuan rumah dan bertarung di Asian Games. “Saudara-saudara, buat apa sebetulnya kita ikut-ikut Asian Games? Buat apa, jikalau kita berpikir picik, biar negara-negara lain, bangsa-bangsa lain di Asia bertempur, bertanding olahraga. Biar Filipina, biar Malaysia, biar India, biar Pakistan, biar mereka, kita tak perlu ikut membanting tulang……Tak lain tak bukan kita harus mengangkat kita punya nama. Nama kita yang tiga setengah abad tenggelam dalam kegelapan. Nama kita yang tadinya gilang gemilang,” kata Bung Karno.

Lanny Gumulya

Semangat tinggi demi merah putih itu lah yang memacu atlet-atlet Indonesia bertarung sepenuh hati. Selama tiga kali ikut Asian Games, belum satu medali emas pun pernah dibawa pulang ke Indonesia. Di Jakarta, atlet-atlet Indonesia menyodok dan merebut 11 medali emas, menempatkan Indonesia di urutan kedua setelah Jepang. Ini lah prestasi tertinggi Indonesia sepanjang sejarah Asian Games.

Tim bulutangkis menyabet lima medali emas. Mohammad Sarengat yang tak diunggulkan meraih dua medali emas dari cabang atletik. Bahkan, jika di nomor lari estafet 4 x 100 meter tak didiskualifikasi, Sarengat bisa merebut tiga medali emas. Bagi Lanny, posisi tak diunggulkan justru memberinya keuntungan. Dia jadi lebih rileks saat meloncat dari papan. Kesalahan yang dibuat peloncat indah Jepang, membuat angka Lanny menyalip mereka dan memberinya medali emas.

Lanny, saya bangga, kamu telah mempersuntingkan bunga melati di sanggul ibu pertiwi

Untuk kali pertama, lagu Indonesia Raya berkumandang di kolam renang Senayan. “Saya juga masih heran sampai sekarang, kok bisa menang ya..hahaha,” Lanny bercerita diiringi derai tawanya. Di Asian Games 1962, Lanny mendapat satu medali emas dan medali perunggu. Sementara adiknya, Billy Gumulya, meraih medali perunggu.

Asian Games usai, para atlet diterima Presiden Sukarno di Istana Merdeka. Bung Karno memanggil Lanny dan menyampaikan ucapan yang tak pernah dilupakannya. “Lanny, saya bangga, kamu telah mempersuntingkan bunga melati di sanggul ibu pertiwi,” Lanny menirukan kata-kata Presiden Sukarno.

Setelah Asian Games, Lanny masih menyumbang satu medali emas di Ganefo. Pada 1964, dia bersama kontingen Indonesia sudah terbang ke Tokyo dan bersiap mengikuti Olimpiade. Namun mereka pulang kembali lantaran Komite Olimpiade Internasional (IOC) tak mengizinkan Indonesia mengikuti Olimpiade 1964 sebagai buntut ‘ribut-ribut’ Asian Games 1962. Setelah pulang dari Tokyo, Lanny pensiun dari kolam renang.Dia berkuliah dan kemudian menikah.


Reporter/Penulis: Melisa Mailoa, Pasti Liberti
Editor: Sapto Pradityo

[Widget:Baca Juga]
SHARE