INTERMESO
"Saya katakan sekali lagi, atap stadion kita harus temu gelang. Tidak lain tidak bukan karena saya ingin Indonesia kita ini bisa tampil secara luar biasa"
Foto : repro. dari buku Gelora Bung Karno
Minggu, 5 Agustus 2018“Saya ingin stadion yang sama,” kata Presiden Sukarno spontan, usai melihat sekeliling Stadion Luzhniki di distrik Khamovniki, kota Moskow, pada September 1956. Bersama rombongan, Presiden Sukarno melawat ke Uni Soviet dan sempat mengunjungi sepuluh kota di Negeri Beruang Merah itu sebelum berpidato di depan ribuan orang di Stadion Luzhniki.
“Pidato Presiden Sukarno berkali-kali mendapatkan tepukan tangan berkumandang,” Alexander Ivanov, duta besar Rusia untuk Indonesia menuturkan saat merayakan 60 tahun hubungan kedua negara beberapa tahun lalu. Kala itu, stadion tersebut masih benar-benar baru. Stadion Luzhniki yang dibangun hanya dalam waktu satu setengah tahun tersebut resmi dibuka pada 31 Juli 1956, sebulan sebelum kedatangan Presiden Sukarno.
Wajar jika Presiden Sukarno terpesona melihat Stadion Luzhniki di tepi Sungai Moskva yang gagah dengan kapasitas lebih dari 80.000 penonton itu. Saat itu Jakarta hanya punya Stadion Ikada di depan Istana Merdeka dengan kapasitas kurang dari seperempat Stadion Luzhniki. Perekonomian Indonesia setelah merdeka lebih dari satu dekade masih terseok-seok, tak punya cukup anggaran untuk membangun kompleks sarana olahraga yang lengkap dan mentereng.
Gara-gara fasilitas olahraga yang masih serba pas-pasan ini lah, dua kali dalam sidang Federasi Asian Games (AGF), proposal Indonesia menjadi tuan rumah Asian Games tak diterima negara-negara Asia. Dalam sidang AGF bersamaan dengan Asian Games pertama di New Delhi, India, sebenarnya delegasi Indonesia sudah mengajukan diri sebagai calon tuan rumah untuk Asian Games II pada 1954. Namun negara-negara anggota AGF ragu Jakarta mampu jadi tuan rumah. Mereka lebih memilih Filipina.
Tak patah semangat sempat ditolak, delegasi Indonesia kembali mengajukan diri sebagai tuan rumah untuk Asian Games tahun 1958 saat AGF bersidang di sela-sela Asian Games 1954 di Manila. Senasib dengan sebelumnya, proposal Indonesia ditolak. Sidang AGF menunjuk Tokyo, Jepang, sebagai penyelenggara Asian Games III. Tapi bukan Bung Karno jika dua kali ditolak terus patah arang.
Baca Juga : Bung Karno dan Melati dari Lanny
Pembangunan Stadion Utama Gelora Bung Karno
Foto : dok. ANRI
Sukses sebagai tuan rumah Konferensi Asia-Afrika pada 1955 membuat semangat untuk menjadi tuan rumah pesta olahraga terbesar di Asia itu terus berkobar. Apalagi, kurang lebih sebulan sebelum sidang AGF pada Asian Games ketiga di Tokyo, pemerintah Indonesia bersepakat dengan pemerintah Jepang soal pembayaran pampasan perang. Menurut Amin Rahayu dalam bukunya, Asian Games IV 1962, Motivasi, Capaian, Serta Revolusi Mental dan Keolahragaan di Indonesia, pemerintah Jepang akan mulai mencicil dana pampasan perang senilai US$ 223,4 juta selama 12 tahun hingga berakhir pada tahun 1970.
Selama sebelas tahun tahun pertama, pemerintah Jepang akan membayar US$ 20 juta per tahun dimulai pada 1958. Untuk nilai saat itu, jumlah uang itu besar bukan main. Pembayaran dana pampasan perang itu lah yang membuat Presiden Sukarno makin percaya diri saat mengirim Paku Alam VIII bersama R. Maladi dan Dr. A. Halim ke Sidang AGF pada Mei 1958 di Tokyo, Jepang. Kepada ketua delegasi, Menteri Olahraga R. Maladi dan rombongan, Presiden Sukarno menekankan bahwa target mereka adalah menjadikan Jakarta sebagai tuan rumah Asian Games IV pada 1962.
Buat makan aja susah kok mikirin olahraga. Makanya Bung Hatta suka geli kalau Sukarno lagi ngomongin olahraga'
Ambisi Presiden Sukarno menjadi tuan rumah Asian Games itu disokong oleh Musyawarah Nasional Pembangunan (Munap) yang melibatkan tokoh-tokoh nasional, kepala daerah dan pejabat-pejabat militer pada akhir 1957. Satu orang yang keras menentang rencana ambisius Bung Karno menjadikan Jakarta sebagai penyelenggara Asian Games adalah teman lamanya sendiri, Mohammad Hatta alias Bung Hatta.
Di tengah kemiskinan dan kondisi keuangan negara yang masih compang-camping, menurut Bung Hatta, rencana itu sama sekali tidak bijaksana. Hatta yang seorang ekonom, tentu saja punya alasan kuat. Sejak 1952, anggaran pemerintah selalu mengalami defisit. Bahkan angkanya terus menggelembung setiap tahun.
“Buat makan aja susah kok mikirin olahraga. Makanya Bung Hatta suka geli kalau Sukarno lagi ngomongin olahraga….. Sementara Indonesia harus membangun jalan dan banyak gedung. Semua proyek itu dianggap sebagai proyek mercusuar alias proyek pemborosan,” ujar Amin Rahayu. Namun tekad Presiden Sukarno sudah bulat. Bagi Bung Karno, menurut Amin, demi mengangkat harkat dan derajat Indonesia di mata dunia internasional, ongkos sebesar apa pun tak jadi soal.
17 NEGARA
1545 ATLET
15 CABANG
Dalam sidang AGF di Wasankei, Tokyo, proposal dari Jakarta mendapat saingan berat dari Karachi, Pakistan, dan Taipei, Taiwan. Di mata sebagian anggota AGF, kedua kota itu jauh lebih siap ketimbang Jakarta sebagai tuan rumah Asian Games. Lewat debat sengit dan lobi-lobi intensif, akhirnya proposal Indonesia unggul tipis dari Karachi saat pemungutan suara. Proposal yang dibawa oleh rombongan R. Maladi, mendapat sokongan 22 suara, hanya beda tipis dari dukungan untuk Pakistan, 20 suara. “Goal! Diterima!” Paku Alam memberitahukan kepada anggota rombongan Indonesia.
Wienakto, dalam bukunya, Kisah-kisah Asian Games, menuturkan bagaimana warga Indonesia di Jepang bersuka-cita menyambut kabar tersebut. Wienakto bergegas ke stasiun radio Indonesia di Stadion Utama Meiji Park untuk menyebarkan kabar itu. “Hatiku penuh kegembiraan. Rasanya susah bernafas,” dia menulis. Sidang AGF sudah memilih Jakarta, tinggal pekerjaan sangat besar yang ada di depan mata, yakni membangun semua fasilitas olahraga untuk Asian Games IV yang harus tuntas dalam waktu tak lebih dari empat tahun.
Lantaran ini bukan proyek satu malam ala legenda Roro Jonggrang, pemerintah Indonesia mesti jungkir balik, habis-habisan mencari dana. Selain bersumber dari dana pampasan perang, pemerintah Indonesia kala itu juga berutang kepada Uni Soviet sebesar US$ 12,5 juta. Soviet tak cuma memberikan utang, tapi juga mengirimkan para insinyurnya yang sudah punya pengalaman membangun Stadion Luzhniki beberapa tahun sebelumnya.
“Masya allah, saudara-saudara….kita sekarang boleh dikatakan tiap-tiap keringat, tiap-tiap tetes daripada kita punya keringat, bahkan mungkin boleh saja katakan tiap-tiap atom kita punya badan dan jiwa ini, kita kerahkan agar selesai membangun untuk Asian Games. Gedung-gedungnya, main stadium-nya, kolam renangnya, dormitory-nya. Sampai-sampai karena kita hendak membela nama Indonesia, minta kredit dari Uni Soviet 12,5 juta dolar, spesial untuk membangun gedung-gedung Asian Games,” kata Presiden Sukarno di depan para atlet nasional di Sasana Gembira, Bandung, setahun sebelum Asian Games 1962.
Pembukaan Asian Games 1962 di Jakarta
Foto : ANRI
Suatu hari pada awal Februari 1959, Bung Karno terbang dengan helikopter dan berputar-putar di atas Jakarta. Dia tak hendak bersantai menikmati panorama Jakarta. Ditemani oleh Friedrich Silaban, arsitek yang akrab dengannya, dan R. Maladi, Menteri Olahraga, Presiden Sukarno terbang berkeliling untuk mencari lokasi lahan untuk dibangun kompleks olahraga yang akan dipakai untuk Asian Games 1962.
Semula, Bung Karno ingin kompleks itu dibangun tak jauh dari Istana dan kawasan Menteng, tak jauh dari Jalan M.H. Thamrin. Calon utamanya adalah kampung Karet dan Pejompongan. Sementara Gubernur Jakarta, Soemarno Sosroatmodjo, lebih memilih daerah Rawa Mangun di sisi timur kota Jakarta saat itu. Di mata Friedrich Silaban, kampung Karet dan Pejompongan kurang cocok untuk kompleks olahraga sebesar itu. Selain bakal menambah kemacetan daerah sekitar, lantaran lokasinya tak jauh dari sungai, maka bakal terus terancam banjir.
Promosinya waktu itu, tanah bagi yang bersedia pindah akan ditambahkan dua kali lipat besarnya
Friedrich mengusulkan kepada pilot terbang ke arah selatan ke daerah Senayan. Melihat hamparan tanah kosong dan perkampungan di Senayan, di benak Bung Karno langsung terbayang rancangan kompleks besar itu. Akhirnya Bung Karno dan Friedrich Silaban sama-sama bersepakat bahwa Senayan lah tempat terbaik untuk kompleks olahraga Asian Games 1962.
Dipimpin oleh Soetikno Loekitodisastro, perwira menengah TNI Angkatan Darat, tim pembebasan tanah bekerja keras memindahkan warga dari empat kampung di kawasan Senayan - Senayan, Patunduan, Pondok Kelapa dan Bendungan Hilir -- ke sejumlah daerah di Jakarta, di antaranya Tebet dan Condet. “Promosinya waktu itu, tanah bagi yang bersedia pindah akan ditambahkan dua kali lipat besarnya. Tapi pada kenyataannya memang ada yang ditambahkan, tapi ada juga yang pas saja,” kata sejarawan Amin Rahayu.
Untuk perhelatan besar Asian Games 1962, Presiden Sukarno menunjuk Maladi sebagai ketuanya. Namun khusus untuk pembangunan kompleks senayan dan fasilitas lain, Bung Karno menunjuk Mayor Jenderal D. Soeprajogi sebagai koordinatornya. Demi mengejar tenggat, Jenderal Soeprajogi mengerahkan lebih dari 12.000 tenaga kerja dan dibantu 40 insinyur. Bung Karno sendiri tak cuma duduk manis di Istana menerima laporan anak buah.
11 medali emas
12 medali perak
28 medali perunggu
“Demi menyiapkan Asian Games ini, Bung Karno sering sakit maag karena beliau benar-benar kerja nyata,” kata Amin. Lanny Gumulya, kini 73 tahun, salah satu peraih medali emas di Asian Games 1962, menuturkan bagaimana Bung Karno beberapa kali menyambangi tempat dia dan teman-temannya berlatih di Karang Setra, Bandung.
Bung Karno memang tak mau serba tanggung, baik untuk pembangunan kompleks olahraga maupun prestasi atlet-atlet Indonesia. Dia menghendaki Stadion Utama Senayan yang hendak dibangun benar-benar gagah dan layak dibanggakan. “Saya memerintahkan kepada arsitek-arsitek Uni Soviet, bikinkan atap temu gelang daripada main stadium yang tidak ada di tempat lain di seluruh dunia. Bikin seperti itu. Meskipun mereka berkata, ‘Yah tidak mungkin, pak. Tidak lazim, tidak galib, di mana-mana stadion atapnya cuma sebagian saja’ Tidak. Saya katakan sekali lagi, atap stadion kita harus temu gelang. Tidak lain tidak bukan karena saya ingin Indonesia kita ini bisa tampil secara luar biasa,” Presiden Sukarno menuturkan kepada para atlet Indonesia pada 22 Agustus 1962.
Saya juga masih heran sampai sekarang, kok bisa menang ya..hahaha
Meski sempat terbakar saat pembangunan, kompleks olahraga di Senayan itu, juga fasilitas pelengkap seperti Hotel Indonesia, pusat perbelanjaan Sarinah, jembatan lingkar Semanggi, pelebaran Jalan Jenderal Sudirman dan Gatot Subroto, dan tugu Selamat Datang di depan Hotel Indonesia, tuntas sesuai tenggat. Satu bulan sebelum Asian Games IV dibuka, Presiden Sukarno meresmikan pembukaan kompleks olahraga Senayan.
Pada sore itu, Bung Karno bungah dan bangga luar biasa. Dia sempat bercanda sebelum sebelum berpidato layaknya Bung Karno. “Lha wong hendak menyatakan Stadion dibuka saja kok disuruh bicara 23 menit. Mestinya satu-dua menit sudah cukup …potong pita menyatakan Stadion terbuka,“ kata Bung Karno dengan riang. Dia tentu saja pantas bergembira karena megaproyek itu tuntas kurang dari tiga tahun. “Aku sekarang bertanya kepada saudara-saudara sekalian, apakah engkau tidak bangga punya stadion seperti ini? Apakah engkau tidak bangga bahwa stadion yang hebat ini milik bangsa Indonesia?”
Apalagi kemudian, di Asian Games yang dibuka pada 24 Agustus 1962, atlet-atlet Indonesia bertarung dengan semangat luar biasa. Atlet-atlet Indonesia merebut 11 medali emas, 12 perak, dan 28 medali perunggu, menempati peringkat ke-2 setelah Jepang. Ini lah prestasi tertinggi Indonesia sepanjang sejarah Asian Games. Meski mereka tak dijanjikan hadiah dan tak mndapatkan hadiah apapun usai Asian Games, menurut Lanny Gumulya, para atlet bertanding dengan semangat tinggi untuk merah putih.
“Bung Karno yang membuat kami bersemangat….. Bung Karno itu caranya memberikan nasihat enak sekali. ‘Indonesia pasti bisa,’” Lanny menirukan kata-kata penyemangat dari Bung Karno. Lanny, juga Mohammad Sarengat, yang tak diunggulkan mampu merebut medali emas. Bahkan Sarengat tak cuma merebut dua medali emas, tapi juga memecahkan rekor Asian Games. Sementara Lanny yang saat itu baru 17 tahun, meraih dua medali yakni emas di papan 3 meter dan medali perunggu di papan 10 meter. “Saya juga masih heran sampai sekarang, kok bisa menang ya..hahaha.”
Reporter/Penulis: Melisa Mailoa, Pasti Liberti
Editor: Sapto Pradityo