INTERMESO

Demi Pendekar 212

Begitu cintanya pada Pendekar 212, mereka membentuk tim penulis untuk melanjutkan kisahnya yang terputus. Sayang, kandas di tengah jalan.

Foto: Lifelike Pictures

Senin, 23 Juli 2018

Alkisah, setelah kepergian Wiro Sableng, Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212, ke Mataram Kuno, negeri delapan ratus tahun silam, banyak terjadi perubahan di tanah Jawa. Tokoh-tokoh berkepandaian tinggi dan berkelakuan ganjil bermunculan. Berbagai peristiwa dan kejadian-kejadian aneh dibarengi kasus-kasus penculikan terjadi di seantero negeri.

Tapi sayang, kisah petualangan pendekar bandel Wiro Sableng ‘tamat’ sebelum ceritanya tuntas bersamaan dengan meninggalnya sang penulis, Bastian Tito, pada Januari 2006. Setelah 185 seri, kisah Wiro Sableng ‘tamat’ di buku terakhir, Jabang Bayi dalam Guci. Seri terakhir Wiro Sableng yang ditulis Bastian Tito itu ditutup seperti ini.

Tiba-tiba suara langkah-langkah aneh yang membuat bangunan bergoyang muncul kembali. Di lobang di atas atap muncul satu kepala luar biasa besar berkepala botak. Kepala raksasa. Di kening ada tanduk memancarkan cahaya merah. Sepasang mata besar menjorok keluar, bagian putihnya hanya memiliki satu titik hitam kecil, melirik berputar. Lalu terdengar suara seperti orang mengorok.

Ketika dua lobang hidung menghembuskan nafas, baik si nenek maupun sang Resi merasa mata mereka menjadi perih. Lalu terdengar si pemilik kepala di lobang berucap. "Jika tidak ada yang mau ketitipan guci putih berisi jabang bayi Itu, berikan padaku!" Resi Kali Jagat dan Ning Rakanini sama-sama terkejut. "Ada lagi yang mau membuat onar dan menerobos masuk ke dalam tempat kediamanku!" kata si nenek. Dua tangan diangkat dan serta merta menjadi hitam berkilat. "Tahan! Jangan!" Resi Kali Jagat cepat berteriak.

Kerinduan akan pengembaraan Wiro Sableng di dunia persilatan beberapa tahun setelah Bastian Tito meningal membuat para penggemarnya berinisatif melanjutkan sendiri cerita itu. Termasuk Mike Simons, pemuda asal Sulawesi Utara yang memakai nama pena Mike Hazeman, menulis cerita kelanjutan Wiro Sableng dengan judul Jenazah Simpanan.

Bastian Tito
Foto: dok. pribadi

Beberapa penggemar dengan sukarela mengetik kembali bab demi bab supaya fans lainnya terobati rasa kangennya dan agar karya Wiro tak hilang begitu saja."

Agus Yuda, Koordinator Padepokan 212

"Waktu itu Mike menulis belum atas nama komunitas penggemar Wiro," kata Agus Yuda, salah satu Ketua Padepokan 212, komunitas penggemar Wiro Sableng, yang kemudian berubah nama menjadi Padepokan Jagat Satria. Baru setelah muncul aspirasi yang masif dari para anggota untuk membuat cerita kelanjutan Wiro Sableng, para pengurus Padepokan 212 menghubungi salah satu anak Bastian Tito.

Pada satu hajatan salah satu anak Bastian pada 2010, pengurus Padepokan turut diundang. Kesempatan itu mereka pakai untuk mengutarakan niat membuat kelanjutan kisah pendekar sableng yang terhenti pada judul ke-185, Jabang Bayi dalam Guci. "Secara lisan saat itu keluarga mau menerima," Yuda menuturkan.

Beberapa pengurus inti Padepokan 212 segera menindaklanjuti dengan membentuk tim penulis beranggotakan delapan orang. Tim penulis itu kemudian dibagi lagi jadi tim konseptor yang menggarap ide-ide cerita dan tim penulis. Yuda  sendiri masuk dalam tim konseptor. "Konseptor mengerjakan garis besar cerita per bab," kata Yuda, yang lebih sering disapa Danu oleh rekan-rekan sepadepokannya.

Diskusi dari tim konseptor memutuskan, kisah Wiro akan dibagi dalam dua judul. Judul pertama kemudian disepakati Prahara Bhumi Mataram. Dalam judul pertama ini, dikisahkan Wiro Sableng pulang kembali ke Bhumi Mataram. Dalam judul terakhir yang sudah dicetak versi Bastian Tito, Wiro masih bertualang di Mataram Kuno.

Garis besar cerita yang sudah dikerjakan tersebut kemudian dilemparkan ke tim penulis. Anggota tim penulis ini beragam dan berada di berbagai kota. Termasuk Mike Simons dan Triwahyu Haryono alias Adeck dari Kendal, Jawa Tengah. Para penulis diberi keleluasaan menuliskan cerita dalam batas konsep yang sudah dibuat. "Para penulis dipersilakan mengembangkan cerita menurut imajinasi mereka masing-masing," kata Yuda.

Rifki, kolektor cerita silat Wiro Sableng
Foto: dok. pribadi

Tiap penulis punya kelebihan dan kekurangan sendiri. Ada yang kuat menggambarkan pertarungan tapi lemah saat mendeskripsikan karakter tiap-tiap tokoh dalam cerita. Akhirnya, menurut Yuda, diputuskan jalan tengah terbaik, yakni dengan mengkompilasi tulisan yang masuk. Ada bagian pertarungan diambil dari penulis A, ada bagian tulisan soal interaksi antartokoh diambil dari penulis B. Yuda mengakui tak mungkin mereka bisa menyamai imajinasi Bastian Tito memilih ide cerita dan diksi. "Minimal taste-nya Bastian Tito masih terasa," kata Yuda. "Setelah dilempar ke anggota juga dapat respons positif."

Novel Wiro Sableng versi fans ini juga dirancang berbeda dengan aslinya, baik dari segi ukuran kertas maupun banyaknya halaman. Versi kekiniaannya itu memakai kertas lebih besar dan jumlah halamannya dua kali lipat lebih banyak dari sebelumnya. "Sudah siap naik cetak. Judul buku kedua versi padepokan memang belum ada, tapi naskahnya sudah siap," ujar Yuda.

Tapi, sebelum buku dicetak dan dipasarkan, penerbit memberi syarat harus ada persetujuan dari pihak keluarga Bastian Tito selaku pemegang hak cipta novel Wiro Sableng: Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 secara tertulis. "Setelah kami kembali menemui keluarga, mereka meminta tidak dikomersialkan dengan alasan menjaga orisinalitas," kata Yuda. Rencana para peggemar tersebut akhirnya kandas.

Tak mendapat izin dari pihak keluarga membuat para penggemar fanatik novel Wiro Sableng mengubah nama perkumpulan menjadi Padepokan Jagat Satria. Visinya pun dilebarkan menjadi upaya pelestarian cerita silat Nusantara lainnya. "Supaya kami tidak terkendala hak cipta," ujar Yuda.

Padepokan 212 sendiri digagas sekitar 2006. Awalnya mereka hanya forum diskusi di forum komunitas Kaskus yang memfasilitasi para penggemar Wiro Sableng yang ingin membaca kembali cerita Wiro Sableng tapi tak memiliki novelnya. "Beberapa penggemar dengan sukarela mengetik kembali bab demi bab supaya fans lainnya terobati rasa kangennya dan juga agar karya Wiro tak hilang begitu saja," ujar Yuda.

Sering tergusur di forum Kaskus, mereka merancang situs sendiri dengan nama padepokan212.com. Semua diskusi dipindahkan ke situs tersebut. Struktur pengurus penggemar juga dibentuk. "Jabatan pengurusnya pakai nama-nama kerajaan, kalau saya Sri Maharaja Mitreka'satata. Setiap anggota ada julukan sendiri. Kadang-kadang juga ada acara kopi darat," kata Yuda.

Novel Wiro Sableng cetakan lama
Foto: dok. pribadi Rifki

Saking cintanya pada Pendekar Kapak 212, salah seorang penggemar Wiro Sableng, Rifki, sampai mengoleksi novel-novel mulai judul pertama sampai terakhir. Perkenalan Rifki dengan Wiro Sableng terjadi di tempat penyewaan buku sekitar 25 tahun yang lalu. Saat itu pria asal Malang, Jawa Timur, tersebut masih duduk di bangku sekolah menengah pertama. "Saya memang suka cerita-cerita silat. Biasanya baca Kho Ping Hoo," katanya kepada detikX.

Suatu ketika, saat berada di tempat penyewaan buku langganannya, matanya terantuk pada buku dengan sampul seoarang pemuda berbaju putih memegang kapak. "Cerita silat yang saya baca biasanya kecil tapi kok ini sedikit lebih besar. Sampulnya pun menarik," ujarnya. "Saya baca rupanya menarik dan ada kocaknya. Tiap buku pun bersambung, jadi bikin penasaran." Rasa penasaran itu membuat Rifki ketagihan mengikuti terus cerita Wiro Sableng sampai hari ini.

Namun Rifki baru mulai mengoleksi setelah bekerja dan menetap di Jakarta pada 2008. Dia berburu semua buku Wiro Sableng dari buku pertama, Empat Berewok dari Goa Sanggreng, yang terbit pertama kali pada 1967 hingga novel ke-185. Dia mencari pertama kali buku-buku bekas Wiro Sableng di pasar buku dekat Terminal Senen, Jakarta Pusat. Karena terbitan lama sudah ludes, demi melengkapi koleksinya, Rifki rela mencari sampai ke Cirebon dan Yogyakarta. "Saya datangi toko-toko buku bekas di kota-kota itu," katanya.

Lazimnya novel lawas, judul-judul terakhir relatif mudah didapatkan. Sedangkan judul awal sudah sangat jarang. Kalaupun ada, kondisinya sudah tak begitu bagus. Ada sobekan pada sampul atau buku yang sudah dijilid ulang. "Saya tetap beli. Sekalian cari yang lebih bagus, yang jelek dioper ke teman kolektor lainnya kalau mereka butuh," ujarnya.

Tak hanya 185 judul itu yang didapatkan Rifki. Ia juga menemukan novel Wiro Sableng yang dicetak sebelum novel berjudul Empat Berewok dari Goa Sanggreng, seperti Dua Keparat dari Timur. "Sampulnya masih nama Bastian saja, belum pakai Tito," kata Rifki. Novel Wiro Sableng terbilang murah dibandingkan buku komik. "Paling mahal Rp 5.000. Kalau di online Rp 10 ribu, cetakan awal bisa Rp 30 ribu. Saya koleksi bukan untuk dijual. Biar, kalau kangen, saya bisa pegang dan baca lagi."


Reporter/Penulis: Pasti Liberti
Editor: Sapto Pradityo
Desainer: Fuad Hasim

[Widget:Baca Juga]
SHARE