Foto: LifeLike Pictures
Minggu, 22 Juli 2018Banyak yang tak percaya saat Sheila Timothy mengutarakan niatnya memproduksi film Wiro Sableng di bawah bendera rumah produksi LifeLike Pictures yang dipimpinnya. Bahkan kawan-kawan terdekat pun mencibir rencana film tentang tokoh silat dalam novel Wiro Sableng: Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 yang sangat fenomenal pada era 1980 itu.
"Apa laku film dengan tema seperti itu?" ujar Sheila menirukan pertanyaan teman-temannya kepada detikX di kantornya pekan lalu. Tawaran membuat film laga itu pertama kali datang ke Sheila sekitar empat tahun lalu. Vino G Bastian, anak Bastian Tito, sang penulis novel silat Wiro Sableng, sekaligus adik iparnya, menyodorkan ide tersebut. "Saya kemudian bikin tim untuk follow up kemungkinan film itu dapat diproduksi."
Sheila atau Lala bersama LifeLike Pictures dikenal sudah menghasilkan beberapa karya berkualitas. Film Pintu Terlarang pada 2009 dikenang sebagai satu karya terbaik sutradara Joko Anwar. Lala juga produser untuk film Tabula Rasa, yang memborong empat Piala Citra di Festival Film Indonesia 2014.
Tim Lala, yang beranggotakan lima orang, bekerja cepat. Mereka berupaya mengumpulkan seluruh novel Wiro Sableng untuk dibaca kembali. Beberapa judul novel buruan mereka sudah susah dicari. Untungnya beberapa waktu lalu penggemar-penggemar berat Wiro Sableng sudah memindai dan mengetik ulang seluruh judul cerita silat itu lalu mengunggahnya ke internet.
Setelah membaca dan tiap minggu rutin berdiskusi, akhirnya mereka berpendapat novel tersebut punya daya tarik luar biasa. Bastian Tito, menurut Lala, punya daya imajinasi yang menembus zamannya. "Kalau dibaca, masih sesuai dengan tren sekarang," ujarnya. "Bahkan ada fanboy komik Dragonball bilang kok mirip-mirip Dragonball, padahal Wiro Sableng jauh keluar duluan."
Baca Juga: Yang Sableng, Yang Edan, dan 212
Vino Bastian bersama pemain-pemain lain di film Wiro Sableng
Foto: Lifelike Pictures
Bastian Tito juga membuat novel Wiro Sableng: Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 dengan unsur-unsur identitas Indonesia yang sangat kuat. Karakter tokoh-tokoh dalam novelnya pun sedemikian unik dan spesifik. "Wiro yang nyeleneh dan bandel ini berbeda dengan hero-hero Indonesia lainnya," ujar produser film Modus Anomali itu.
Dunia yang dibangun Bastian dalam novel itu pun, menurut Lala, tak stereotip dalam menggambarkan tokoh-tokoh baik atau yang batil seperti kebanyakan cerita silat lainnya. Tokoh golongan hitam yang juga salah satu lawan berat Wiro, misalnya Pangeran Matahari, dituliskan penampilannya perlente dan rapi jali.
Studio sebesar mereka harus pastikan filmnya bisa meledak. Pasarnya nggak mau yang kecil-kecil'
Sementara itu, guru Wiro, yang juga penguasa Gunung Gede, Sinto Gendeng, diceritakan sebagai nenek tua keriput dengan tusuk konde menancap di kepala. "Tipikal film-film superhero, tampilan Sinto Gendeng itu pasti salah satu tokoh jahat," kata Lala. "Makanya novel ini sangat menarik dan ketika divisualisasikan pasti akan menjadi cerita yang seru."
Keinginan membuat film laga yang tak biasa-biasa saja membuat produksi tertunda beberapa tahun. Suatu ketika Lala bertemu dengan Michael Werner, seorang konsultan pemasaran kawakan di industri film, dalam sebuah festival film pada 2015. "Saya sudah kenal Werner saat film Pintu Terlarang masuk dalam beberapa festival," ujar kakak kandung aktris Marsha Timothy itu.
Pertemuan itu dimanfaatkan Lala untuk menceritakan soal Wiro Sableng. "Saya punya intellectual property namanya Wiro. Local hero. Ada komedinya dan berantemnya kayak Jackie Chan," kata Lala. Setahun kemudian Werner mengontaknya. Saat itu Fox International Productions (FIP), anak perusahaan 20th Century Fox International, sedang berencana masuk ke industri film di beberapa negara Asia Tenggara. "Werner tanya apa saya masih punya cerita Wiro itu."
Lala diminta membuat proposal lengkap berisi di antaranya konsep cerita serta strategi pemasaran. Proposal itu dipaparkan Lala ketika bertemu dengan Fox International Productions di sela-sela pegelaran Hong Kong International Film Festival 2016. Menurut Lala, tak mudah meyakinkan perusahaan sebesar FIP. "Studio sebesar mereka harus pastikan filmnya bisa meledak. Pasarnya nggak mau yang kecil-kecil," katanya.
Bastian Tito, penulis cerita silat Wiro Sableng
Foto: dok. pribadi
Pasar potensial yang paling dibidik Lala tentunya para maniak film superhero yang biasanya berusia remaja sampai sekitar 25 tahun. "Demi moviegoers ini, kami memperlakukan film ini seolah-olah Wiro itu sosok yang belum dikenal. Proses terciptanya tokoh ini dimunculkan dari awal," ujar Lala.
Wiro Sableng, tokoh utama yang dilahirkan pada akhir 1960-an, pun harus 'dipermak' agar cocok dengan mata dan selera anak sekarang. Ikat kepalanya dibikin lebih kasual dan potongan rambut gondrong yang gaul. Celananya dibuat serupa dengan celana olahraga merek terkenal yang lagi populer. Hanya warna putih yang tetap dipertahankan sebagai ciri khas Wiro. "Selain itu, fans berat Wiro baik novelnya maupun versi sinetron juga captive market yang besar."
Lala juga menyodorkan rencananya kepada FIP bahwa film tersebut akan dibuat dengan potensi-potensi lokal Indonesia. Bela diri yang dipakai pencak silat, bukan wushu atau yang lainnya. Budaya dan arsitektur bangunan Nusantara pun ditampilkan. "Kita punya bela diri sendiri yang kalau ditajamkan akan menjadi kekuatan. Mereka (FIP) justru sangat tertarik akan kekuatan lokalitas semacam ini," kata Lala.
Benar saja, dua bulan setelah pertemuan di Hong Kong itu, FIP menyatakan tertarik menjalin kerja sama produksi. Proses negosiasi sebelum kesepakatan kontrak berlangsung berbulan-bulan. “Wiro Sableng menjadi kerja sama pertama film Fox di Asia Tenggara,” katanya. FIP membantu separuh dari total biaya produksi. Namun Lala masih enggan membuka berapa besar dana yang dihabiskan LifeLike Pictures. "Kalau ukurannya film nasional termasuk mahal. Tapi jauh lebih murah dibanding film Hollywood."
Selain pendanaan, FIP memberi bantuan teknis saat penyusunan naskah. "Ada masukan untuk struktur penulisan. Jangan sampai film tidak enak dinikmati. Kami sadar Fox memiliki pengalaman sangat banyak di industri film," kata Lala. Dalam film ini, selain menjadi produser, Lala menulis naskah bersama Tumpal Tampubolon dan Seno Gumira Ajidarma.
Saya punya intellectual property namanya Wiro. Local hero. Ada komedinya dan berantemnya kayak Jackie Chan."
Sheila Timothy, produser film Wiro SablengVino Bastian, pemeran Wiro Sableng, berlatih jurus bersama Yayan Ruhian
Foto: LifeLike Pictures
Lala juga merekrut beberapa figur berpengalaman di industri film nasional untuk merealisasikan film laga, fantasi, sekaligus komedi itu, seperti Angga Dwimas Sasongko sebagai sutradara dan sinematografer senior Ipung Rachmat Syaiful. Chan Man Ching, anggota Jackie Chan Stunt Team dan berpengalaman 18 tahun di film laga, diambil sebagai fighting director. Sementara Chris Lie diminta membantu visualisasi adegan-adegan kunci.
Beberapa aktor dan aktris berpengalaman juga memperkuat film Wiro. Semua pemeran hampir lengkap menjelang batas akhir, kecuali yang memerankan Wiro Sableng. "Beberapa aktor sudah di-casting tapi belum ada yang cocok," kata Lala. Vino sejak menyodorkan ide membuat film sudah mewanti-wanti Lala tak meminta dirinya ikut main. "Ini kan novel karya bapaknya. Nanti orang bilang KKN."
Semakin mepetnya waktu membuat Lala kelimpungan. Solusi paling cepat akhirnya membujuk Vino agar luluh. "Vino lahir dan besar bersama Wiro Sableng. Dia juga total saat memerankan sebuah figur," kata Lala. "Setelah pikir-pikir melihat kerja keras tim mewujudkan film ini, masak saya sebagai anak Bastian Tito tidak mau ikut bantu. Masak saya hanya jual saja tanpa ikut andil. Mungkin ini salah satu cara saya untuk berterima kasih kepada Ayah," kata Vino.
Tak pernah bermain dalam film laga, Vino diberi pelatih khusus. Aktor laga Yayan Ruhian, yang juga pelatih pencak silat, menggembleng Vino secara intensif selama enam bulan. Yayan juga bermain dalam film itu sebagai Mahesa Birawa atau Suranyali, pembunuh orang tua Wiro Sableng. "Karena Wiro karakternya nyeleneh, silatnya bukan silat yang kaku," ujar Vino. Syuting akhirnya berjalan Agustus 2017 di kawasan Bandung Barat dan Bandung Selatan selama kurang-lebih tiga setengah bulan.
Chris Lie dan Caravan Studio, yang memiliki pengalaman membuat desain dan ilustrasi untuk Marvel Comics, Capcom, dan sejumlah perusahaan internasional lainnya, mengatakan dirinya membuat visual dari karakter yang akan ditampilkan mulai tokoh utama, prajurit, sampai penduduk desa. "Begitu juga senjata dan pakaiannya," ujarnya kepada detikX. "Tim saya juga memvisualisasikan adegan-adegan kunci, seperti pertarungan kemudian story board film ini."
Pelibatan Chris dari awal 2017 juga membawa perubahan bagi logo 212. Konsep logo baru itu harus sederhana dan mudah ditiru. "Agar anak-anak kecil yang mau jadi Wiro bisa dengan gampang gambarnya. Saya modifikasi angka dua itu lalu di-mirror. Angka itu kan tidak hanya di kapak, tapi juga di dada Wiro serta tangannya. Ketika dia memukul cap 212 itu harus sama persis."
Penulis: Pasti Liberti
Editor: Sapto Pradityo